"Lo udah ngirim puisinya, Qil?"
Sepulang dari kantin, Devina yang tengah memutar posisi kursi ke arahnya langsung bertanya demikian. Setelah kemunculan Qila sebagai murid baru, kedua orang tersebut—Laras dan Devina—seolah sudah terlatih untuk membungkus makanan yang dibeli dari kantin dan dinikmati di kelas. Alasannya sederhana, mereka—atau mungkin bisa dikatakan Laras—tak tega meninggalkan ia sendiri di kelas.
"Belum. Agak mepet aja nanti. Mungkin rabu atau kamis sekalian." Qila menjawab seraya menguyah jamur krispi yang dibuatkan Mama pagi tadi. Sempat ia menawari kedua temannya, tetapi mereka menolak.
"Sefrekuensi kalo gitu." Devina tertawa pelan, tetap dengan khasnya yang selalu memancarkan aura jahat.
Laras yang baru selesai menata kursinya di meja Qila, lantas menggeleng pelan. "Kan tadi amanat upacara bilang buat jangan terlalu mepet-mepet ngirimnya." Remaja kalem itu berkata seraya mengambil posisi duduk. "Dasar kalian."
"Paling juga masih belum ada dua puluh persen yang ngirim puisinya, Ras. Lo aja yang terlalu rajin ngirim puisinya." Devina menjawab. Ia lantas menyuapkan sesendok nasi goreng yang ia beli.
"Ngomong-ngomong soal buat puisi ini ... aku ngerasa nggak terlalu setuju, sih."
"Gue juga." Devina menjawab sembari menguyah. "Kasihan para kaum mageran."
"Cuma gue ya yang setuju?" Laras menatap ia dan Devina bergantian. "Ini program yang diusung Duta Perpustakaan tahun ini, kan? Setahu gue, OSIS aja langsung kasih saran bla-bla-bla waktu pengurus inti minta pendapat soal ini."
"Lo mau bicarin soal kreativitas, Ras?" Devina menyela pembicaraan Laras. "Nggak semua murid di sini paham soal puisi, cerpen, atau apapun itu. Terus Duta Perpustakaan bilang apa? ‘Mencari kreativitas tersembunyi di antara murid-murid’. Tujuannya emang baik sih, diterbitin terus dipajang di perpus, tapi yang ada makin banyak yang nggak suka sama nih ekstra."
"Mungkin ya gue mau bicarain soal kreativitas." Laras menjawab kalem, tidak seperti Devina yang selalu menggebu-gebu. "Gue nggak bisa buat karya sastra, Dev. Lo tau itu, kan? Cuma ... kayanya lo harus liat ini dari sisi positifnya juga."
Kala kedua orang yang ada dalam satu mejanya tengah mendebatkan sesuatu yang bermula darinya, membuat Qila terdiam memperhatikan. Benaknya masih memikirkan mengenai bagaimana puisi yang nanti akan ia tulis.
"Lo, Qil." Ketika Devina tiba-tiba memanggilnya, spontan apa yang ia pikirkan buyar. "Apa alasan lo nggak setuju?"
Dituding pertanyaan itu, membuat Qila langsung gelagapan. Tentu ia punya alasan tersendiri mengapa tak menyukai dengan kegiatan yang dibuat salah satu ekstrakurikuler sekolah tersebut, tetapi dengan mengungkapkannya secara langsung dihadapan kedua temannya terasa tidak mengenakkan.
"Nggak enak sama yang punya masalah soal orang tua, atau mereka yang nggak punya orang tua." Qila menjawab setelah dua detik menyiapkan kalimatnya. Menyadari ada garis-garis halus muncul di dahi Devina, ia melanjutkan, "Mungkin aku bakal setuju kalo temanya bukan ini."
"Jadi lo setuju sama kegiatan anak duta?"
Devina yang menyela demikian membuat Qila meringis tertahankan. Dalam posisi ini, ia setuju apabila ekstrakurikuler membuat kegiatan besar yang melibatkan seluruh anggota sekolah. Namun tema yang diusungnya membuat ia merasa setengah-setengah dalam mendukung kegiatan ini.
"Ya setengah-setengah," jawabnya setelah beberapa saat.
"Gue pikir lo dipihak gue." Devina mendengus kesal sebelum kembali lanjut memakan nasi gorengnya.
"Kenapa lo ada pikiran kaya gitu, Qil?" Pertanyaan Laras lantas menarik perhatian Qila untuk mengalihkan pandang terhadap gadis itu. "Gue aja nggak sampai kepikiran ke situ."
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Fiksi RemajaJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...