"Jadi Cecil beneran yang itu?" Gadis kalem itu bertanya.
Qila mengangguk. Lagi dan lagi, cerita tersebut disampaikan kepada Laras dan Devina. Semuanya bermula ketika pulang sekolah, Laras dan Devina-yang kebetulan baru saja mengikuti pertemuan PMR-kemudian tanpa sengaja berpapasan dengannya di depan gerbang. Mata yang memerah kemudian memancing kedua gadis itu untuk mengantarkannya pulang dibanding membiarkan ia menunggu Arsya yang sampai pada saat itu belum juga tiba.
Qila rasanya benci pada saat-saat seperti ini; apa yang ia rasakan diketahui oleh orang lain. Namun pada keadaan yang sama pula, rasa lega cukup menyelimuti perasaannya. Semua hal itu bercampur menjadi satu.
"Nyaris banget Devina waktu itu mau lanjut cerita sama Cecil." Laras tersenyum. "Untung gue hentiin sebelum lanjut disebut semua." Gadis itu menatapnya dengan lembut. "Karena gue tau kalo lo lagi sembunyiin sesuatu sama kita."
Laras ini kenapa baik sekali, sih? Perbuatan ini tentu saja membuat Qila mengingat akan sosok Cecil. Sifat mereka sangat mirip. Bedanya, jika Laras adalah sosok yang dewasa, maka gadis 'sempurna' satu itu, akan sedikit kekanakan, sama sepertinya.
"Jadi, beneran suka sama Raka, nih?" Devina kini mengambil alih. Posisinya yang berada di seberang meja membuat si Maleficent dapat dengan mudah mengamatinya. "Nggak nyangka gue," lanjutnya dengan sebuah senyuman meledek.
Nyatanya, pikiran Qila sangat ingin menolak bahwa perasaan yang sedang dialaminya adalah rasa suka sama halnya seperti yang dinyatakan temannya tersebut. Namun, bagaimana ia bisa menyangkal, sedangkan rasa tak nyaman itu terus saja menyerbu hatinya.
"Udahlah, Qil. Nyerah aja udah." Devina tertawa pelan. "Raka tuh cari cewek baik-baik, bukan cari cewek yang nyebelin kaya lo. Ibu tiri yang baik aja lo jahatin sampai segitunya."
Tepat setelah kedatangan ketiganya tadi, kebetulan orang yang sedang berada di rumah adalah Mama dan Reza. Alhasil, wanita tersebut tentu menjadi satu-satunya orang rumah yang akan membuatkan minuman serta mengantar makanan ringan selama mereka berbincang di teras. Perbuatan kecil itu pulalah yang membuat Maleficent mengetahui sikap baik Mama.
"Dev .... " Laras kembali mengingatkan.
"Lagian, Ras. Ini orang kaga ada bakat kaga ada apa, tapi ada niatan buat ngalahin tuh ratu kesempurnaan. Kaga ada kesempatan udah."
"Jahat banget ngomongnya, ih." Qila mendengus pelan. Kenapa dalam pertemanan ini harus ia yang terus-menerus menjadi korbannya? "Aku ada menang lomba, ya."
"Apa coba?" Lawan bicaranya tersebut menantang.
"Juara satu lomba bakat terpendam." Bangkit, Qila dengan segera menarik lengan Devina. "Udah pulang sana. Bikin darah tinggi doang bisanya."
Devina mendelik, tampak sekali tidak menyukai pernyataannya barusan. "Udah, Ras. Kita pulang." Maleficent itu kemudian bangkit setelah mencomot satu makanan ringan.
Tanpa dipaksa pun, Laras hanya bisa menyetujui apa yang diminta Devina. Gadis itu menggeleng pelan. "Kalian tuh bisanya debat mulu. Kayanya besok gue mengundurkan diri jadi moderator."
Qila yang mendengarnya hanya bisa cengar-cengir. Sudah tentu hal normal tersebut bisa terjadi kepada Laras yang memang terlihat sangat menyukai perdamaian, tipikal orang yang selagi suaminya tengah menjabat sebagai gubernur, ia akan menjadi volunteer.
Tak lama setelahnya, Laras dan Devina meninggalkan rumahnya. Tentu saja, beberapa pesan ala keduanya pasal hubungan merah muda yang tengah ia jalani, dilontarkan sebelum benar-benar pergi. Yah, setidaknya ia masih memiliki mereka yang sedikit-banyak tahu permasalahan yang tengah ia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Ficção AdolescenteJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...