7. Sosok yang Dikagumi

153 20 10
                                    

"Kalo sampai abang aku kenapa-napa, awas aja kamu." Kalimat itu Qila lontarkan pada Raka saat perjalanan. Tak peduli dengan apa yang dipikirkan Raka kala mendengar ucapannya, satu-satunya hal yang memenuhi benaknya adalah Arsya.

Apakah abangnya baik-baik saja? Apakah ada luka parah yang menyentuh tubuh pemuda itu?

Harapan baik soal abangnya langsung membuncah begitu sampai di tempat kejadian perkara. Ketika Raka menghentikannya di jalanan sepi dengan beberapa orang yang berhenti, Qila langsung menyimpulkan jika tak ada luka serius yang dialami abangnya, mengingat pemuda itu tak langsung dibawa ke rumah sakit. Segera turun dari mobil, didesaknya kerumunan untuk mencari si korban kecelakaan.

Abangnya ada di sana. Duduk di trotoar, luka pemuda itu sedang dirawat oleh seorang wanita paruh baya dengan alkohol dan obat merah.

"Bang," panggilnya.

Tak hanya Arsya, tetapi juga dengan si ibu-ibu yang merawat luka abangnya, juga ikut menoleh. Berjalan mendekat Qila menjatuhkan diri di sisi pemuda itu. "Kenapa nggak nelepon atau bilang apa gitu sih sama aku? Kan aku khawatir waktu Abang nggak muncul-muncul."

Arsya tertawa pelan. "Maaf ya jadi nggak bisa jemput kamu ke sekolah. Udah satu jam lebih ya kamu nunggu?" Tangannya tergerak menyentuh pipi kiri Qila dan mengelusnya pelan.

Sungguh, Arsya menyebalkan. Sudah jelas-jelas keadaan pemuda itu lebih memprihatinkan daripada dirinya, tetapi kepedulian akan ia yang sendirian di sekolah malah menjadi sorotannya.

"Kenapa bisa kaya gini, sih? Untung nggak digilas sama mobilnya waktu ketabrak dari belakang." Qila nyaris menangis ketika membayangkan apabila peristiwa itu menimpa abangnya. Belasan tahun hidup bersama dengan pemuda itu membuat ia tahu jika banyak hal ia taruh di bahu abangnya. Akan jadi apa dirinya apabila ditinggalkan?

Tak banyak sebenarnya luka yang didapat Arsya. Luka di lutut, jari-jari, serta siku menjadi luka paling terlihat menyakitkan dibanding yang lain. Hal itu juga terbukti dengan ringisan yang ditampilkan kala kapas alkohol menyentuh lukanya.

"Abang nggak pa-pa, Qil." Arsya menyentuh punggung tangan Qila. "Tadi waktu Abang ditabrak, jatuhnya ke kiri terus agak kelempar gitu. Beruntungnya mobil yang nabrak langsung banting setir ke kanan."

Qila menatap motor matic abangnya yang diparkiran tak jauh dari tempat keduanya berbincang. Kendaraan itu kehilangan spion kiri akibat benturan, serta terdapat beberapa lecet pada beberapa sisi.

"Mana sih yang nabrak Abang? Nggak tanggung jawab dianya?"

Seolah teringat dengan jawaban Raka yang menyatakan bahwa pelaku penabrakan ini adalah kakak ipar pemuda itu, spontan amarah langsung menyelimuti dadanya. Seperti apa pria itu sampai-sampai berkendara hingga menimbulkan orang lain terluka?

"Beliau tanggung jawab, Qil. Sekarang lagi teleponan sama orang, makanya minggir dulu. Beliau bahkan minta adeknya buat bawa kamu ke sini, kan?"

Qila cemberut ketika Arsya menyentuh pipi kirinya, mencoba menenangkan. Terkadang ia berpikir bahwa abangnya terlalu baik dan selalu percaya pada orang lain. Bahkan di saat-saat seperti ini pun, pemuda itu masih saja mencoba memahami pelaku yang membuatnya menjadi demikian.

Luka Arsya yang diobati ibu-ibu selesai beberapa saat kemudian. Wanita itu juga menutup area luka dengan plester, sehingga tak perih ketika nantinya terkena air.

Orang-orang secara bertahap membubarkan diri tak lama setelahnya, sehingga menyisakan tiga orang; ia sendiri, Arsya, serta Raka yang masih setia berhenti di mobilnya. Ketika keadaan sepi tersebut, baru Qila sadari jika ada sebuah mobil yang penyok di bagian depan. Bisa disimpulkan bahwa kendaraan itu adalah yang menabrak abangnya. Ke mana pula si pelakunya pergi? Dengan siapa saja ia melangsungkan sambungan telepon sehingga lama sekali?

HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang