Minggu malam, Qila berharap agar hari tak segera berganti. Ia merapal doa supaya waktu berjalan dengan sangat lambat, sehingga ia dapat menemukan cara tepat untuk melakukan sesuatu esok.
Gila. Itu yang ada di pikiran Qila mengenai Raka.
Jumat lalu, setelah Raka mengajaknya menjalin hubungan dengan cara tidak lazim, pemuda itu langsung menyimpulkan ‘iya’ bahkan sebelum dirinya menjawab. Sempat menolak ajakan tersebut, otak Qila seketika gagal berfungsi begitu lawan bicaranya tersebut tiba-tiba tersenyum.
Mungkin memang benar salahnya juga karena melakukan hal-hal yang tak masuk akal pada Raka, yang kemudian berakhir dengan kesimpulan yang salah dari pemuda itu. Namun mengapa harus ia? Kenapa tidak dengan salah satu siswi yang pernah berusaha memanah hatinya?
Sedang malam ini, Qila ingin meremukkan seluruh tulang Raka begitu menyadari fotonya tiba-tiba diposting di sosial media milik pemuda itu. Ingat di saat Arsya mengirimkan fotonya pada Arka, dan berakhir dengan Raka yang menjemputnya? Iya, foto itu.
Fotonya memang tidak memalukan, mengingat potret itu diambil saat akan berangkat di hari pertama ia pindah sekolah. Namun yang membuat Qila tak suka adalah apa yang dilakukan pemuda itu terhadap fotonya.
Lebih dari empat puluh delapan jam ‘hubungan’ mereka berlangsung dengan damai dan tak ada yang tahu. Sayang, begitu foto itu diposting, mendadak banyak berita bermunculan tak lama kemudian, yang kemudian berimbas dengan ramainya sosial media Qila yang pengikutnya tidak seberapa.
Dalam detik tertentu, Qila benar-benar merasa ingin menangis begitu menemukan beberapa kata kasar yang ia terima melalui komentar atau mungkin direct message. Ini semua merupakan akibat perbuatan tanpa perhitungan dari Raka.
Qila sudah menghubungi Raka melalui Instagram—mengingat ia sendiri tak punya nomor ponsel pemuda itu—tetapi tak ada respon, yang kemungkinan besar tertimbun dengan notifikasi lain. Maka dari itu, malam ini ia benar-benar ingin mengurung diri.
Iya memang Qila terlihat pemberani jika dihadapkan dengan orang yang ia lawan, tetapi di balik itu semua ia hanyalah seorang yang berpura-pura. Rasanya tetap menyakitkan apabila diserang.
"Kamu nggak pa-pa, Qil?"
Kala suara itu memasuki pendengarannya, seketika ia terkejut bukan main. Merubah posisinya menjadi duduk, ditemukannya sosok Arsya yang berhenti di ambang pintu. Air muka pemuda itu tampak keheranan dengan posisinya—telungkup dengan tertindih bantal—yang memang tidak normal.
"Nggak pa-pa." Qila menjawab disertai senyuman, yang ia sadari jika hal tersebut malah terlihat aneh.
Arsya mengangguk-angguk, meskipun terlihat tidak yakin dengan keadaannya. "Mama udah selesai tuh masaknya. Nggak mau makan?"
"Aku lagi diet. Besok aja makannya." Bukan tanpa alasan Qila menyebut alibi ini. Beberapa kali memang ia mengatakan bahwa ia memang ingin mengurangi berat badan, meski selalu berakhir dengan kegagalan.
Begitu pintu kamarnya kembali tertutup, Qila mengembuskan napas lega. Setidaknya, sampai ia siap menyatakan apa yang disembunyikannya pada Raka, Arsya tak boleh tahu mengenai apa yang ia tengah lakukan pada masa SMA-nya.
Melirik ponsel yang tergeletak di dekat bantal, ia tentu masih mengingat saat ia memutuskan untuk mematikan benda pipih itu. Hujatan yang semakin memprihatinkan serta panggilan dari teman-teman sekelasnya membuat ia menyadari jika pikirannya akan semakin buntu apabila banyak notifikasi yang masuk.
Tak ada foto spesial, keterangan spesifik, atau mungkin emoji yang menyatakan segalanya dalam postingan Raka; tetapi efeknya sudah mampu membuat yang demikian. Sungguh, Qila tak mampu membayangkan apabila lebih daripada itu dalam foto yang diposting. Esok, ia yakin jika dirinya akan menjadi orang yang tersudutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Ficção AdolescenteJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...