9. Tipisnya Jarak

174 23 12
                                    

Sedari kemarin, Qila sudah mencoba mengerahkan segala pikiran untuk membuat selarik puisi agar lekas dikumpulkan. Namun berulang kali mencoba, nyatanya untaian puisi yang ia buat hanyalah berakhir dihapus kembali.

Qila mengetiknya di ponsel, sehingga ketika ditemukannya kata-kata indah yang melintas, dapat ia tulis saat itu juga. Sayang, ketika ia menemukan kata yang tepat, tak juga ditemukan cara merangkai kesemuanya. Alhasil, semua ide itu hanya berakhir dengan tulisan rancu di catatan yang tanpa tujuan.

Berbicara mengenai hal ini, Qila sebenarnya juga belum yakin akan keputusannya mengenai hanya membuat puisi yang berkisah akan Ayah. Mama—yang memang menyarankan hal tersebut—tentu tak akan tertulis di sana; tentang kebaikannya, tentang seberapa cantiknya ia, atau bahkan seberapa bersinarnya wanita itu. Mama seolah-olah terlupakan secara perlahan.

Entahlah, Qila merasa hubungan mereka sudah sedari lama memang hanya berjalan di tempat. Sulit untuk mengubah agar ikatan ini dapat berlangsung seperti seharusnya. Sekat itu sepertinya malah semakin menguat dari hari ke hari, hingga sukar dihancurkan.

Mengembuskan napas berat, Qila merasa jika pikirannya semakin buntu. Entah soal Mama atau mungkin tugas sekolah yang juga termasuk membuat puisi. Semuanya membebani pikiran, yang kemudian berakhir dengan menjadi benang yang sulit diurai.

Satu per satu, Qila mencoba untuk menyederhanakan. Pertama, ia memilih untuk mengurusi pekerjaan rumah yang memang selalu ada setiap harinya. Kedua, sudah seperti keharusan ia tak memilih untuk menyelesaikan apa yang terjadi padanya dengan Mama, karena pada nyatanya ia menghindari hal tersebut.

Maka, di sinilah ia sekarang; perpustakaan. Qila memutuskan untuk menyelesaikan puisi yang dibebantugaskan oleh OSIS yang bekerja sama dengan Duta Perpustakaan.

Buku kumpulan puisi yang kemarin dipinjamnya sudah ia baca hingga habis. Namun entah mengapa tak ada satupun puisi yang mampu membuatnya mempunyai semangat untuk menulis, atau mungkin sekadar menemukan ide yang bisa ia sebut fantastis.

Baru selesai mengusap rambutnya berulangkali hingga acak-acakan, Qila terkejut bukan main kala sebuah buku secara tiba-tiba diletakkan di mejanya. Spontan ia mengangkat wajah untuk melihat siapa yang melakukan hal tersebut; rupanya pengawas perpustakaan.

Mengulas senyum hangat, wanita itu lantas berkata, "Kamu kemarin rebutan buku kumpulan puisi sama Raka, kan? Ini ada lagi. Bisa kamu jadiin referensi."

Seolah melihat secercah harapan baru, Qila segera meraih buku yang baru saja diserahkan. Ia memang begitu aneh. Di internet, ada begitu banyak contoh yang dapat ia jadikan referensi, tapi tak dilakukannya. Entah bagaimana jalan ceritanya, tiba-tiba ia memikirkan mungkin jika akan ada banyak murid lain yang mungkin juga akan membuka laman yang sama, sehingga puisi yang mereka buat hanya memiliki sedikit perbedaan. Lain lagi dengan buku kumpulan puisi, kemungkinan puisi yang dibuat bisa saja sedikit berbeda meski meminjam buku yang sama. Terdengar tak masuk akal, tapi Qila sangat memegang teguh hal tersebut.

"Ada yang udah ngembaliin buku-bukunya ke perpus ya, Bu? Makanya ada sisa kaya gini." Qila menatap sang lawan bicara.

"Ada yang balikin. Tapi sekalinya dibalikin, langsung dipinjam lagi. Jadi nggak ada yang kesisa di perpustakaan."

Mengernyit tak mengerti, Qila lantas mengangkat buku yang dipegangnya agar dapat ditangkap mata dengan jelas oleh wanita tersebut. "Ini kok sisa?"

"Dari Raka."

Tepat setelah mengucapkan hal tersebut, sang lawan bicara memilih untuk beranjak pergi. Spontan saja fokus Qila langsung tertuju pada Raka yang kini tengah membaca buku di sudut ruangan. Tak sampai di sana yang dilihatnya, tetapi juga setumpuk buku lain yang ia perkirakan adalah kumpulan puisi.

HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang