20. Kepingan Masalah

47 12 9
                                    

Perkenalkan, namanya Cecil, seseorang yang bahkan dari arti namanya sudah terlihat baik, melambangkan orang yang terampil, ulet, dan kompeten. Bagi Qila, arti nama tersebut tak sepenuhnya menggambarkan kesuluruhan diri remaja putri itu.

Cecil punya semuanya yang dibutuhkan seorang wanita; cantik, pintar, serta punya keluarga yang berkecukupan. Sangat sempurna. Sebagai pelengkap, gadis itu memiliki kelemahan dalam olahraga, khas sekali pemeran utama dalam cerita sekolah. Bukankah dapat dilihat jika sosok seperti ini akan dengan mudahnya mengalihkan dunia seorang laki-laki?

"Raka!"

Tidak butuh waktu lama untuk teriakan keras tersebut mampu menarik perhatian siswa-siswi yang melintas. Orang yang memanggil tampaknya tidak lagi malu-malu menjadi sorotan dengan berjalan cepat ke arah seseorang yang kini berdiri di sisi mobil.

Qila melihatnya semuanya; tentang bagaimana keterkejutan pemuda itu serta si gadis yang tampak ceria dan mengajaknya mengobrol. Dari tempatnya sekarang, ia tak dapat mendengar keseluruhan obrolan itu, tetapi benaknya mengetahui jika mereka mungkin membicarakan diri masing-masing. Remaja putra itu tampak seperti es yang mendapat kehangatan, secara perlahan meleleh dan menunjukkan jati dirinya yang asli.

Bukankah memang seharusnya demikian? Seseorang sepertinya memang tidak punya tempat sedari awal. Cecil, gadis itu adalah si pemeran utama yang sejak pertama kali cerita dimulai telah digantikan olehnya, tokoh antagonis yang menyelinap masuk ke dalam jalan cerita yang disediakan.

Qila rasanya ingin menangis. Skenario yang ia tentukan sedari awal rupanya berakhir dengan cara lain, sesuatu yang bahkan tak sempat terlintas di pikirannya.

Maka, begitu ia berhenti di depan gerbang, menghadap sang kakak yang menjemputnya, tangisan itu pada akhirnya tumpah tanpa mampu ia kendalikan. Qila membenci ini. Tempo hari, ia sudah menunjukkan sisi lemahnya pada Arsya, tetapi hari ini kembali terulang, bahkan di depan umum.

"Kenapa nangis?" Arsya menyamakan tinggi dengannya. Pemuda itu mengusap sisi wajahnya lembut kemudian menyisihkan beberapa anak rambut. "Ada yang jahatin kamu?"

Qila menggeleng. Ia mengibas-ngibaskan tangan pada wajah, berusaha untuk menghentikan tangis. Sayangnya, upaya tersebut terasa sia-sia. Cairan bening itu tetap tak ingin berhenti mengalir.

"Diliatin anak-anak, tuh. Berhenti ya nangisnya. Malu-maluin banget." Arsya mengatakan hal tersebut dengan lembut.

"Kenapa sih aku sukanya nggak sama cowok yang kaya Abang aja? Yang simpel, terus sefrekuensi. Gini ya rasanya jadi saudara tiri Cinderella yang maksa jadi istrinya pangeran."

"Mending kamu juga berhenti ngomong kaya gitu. Abang nggak paham."

Qila pada akhirnya menghentikan tangisnya dan merespon pernyataan tersebut dengan tawa kecil. Ia meraih tas abangnya, mencoba mencari tisu yang kadang disiapkan oleh sang kakak ketika bepergian. Ketemu. Beruntung sekali ia kali ini.

Mengusap wajahnya—yang ia yakini sudah sembab—dengan beberapa lembaran tisu, Qila berharap tangisannya kali ini tak akan menimbulkan berita hangat keesokan paginya. Ia merasa lelah menjadi sorotan murid terus-menerus.

"Nggak pengen cerita nih sekarang? Kan udah selesai nangisnya?" Arsya lantas bertanya begitu Qila mengembalikan sisa tisu yang tak digunakannya pada tempat semula.

Qila cemberut. "Nggak dulu."

Tidak ingin memaksa, Arsya hanya mengangguk tanpa menuntutnya macam-macam. Pemuda itu dengan segera menyerahkan helm kepadanya lalu mulai mempersiapkan diri untuk mengemudi.

Menaiki motor Arsya, Qila mulai terdiam selama perjalanan. Berbagai memori kini bertabrakan dalam benaknya. Akankah semuanya sudah berakhir?

***

HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang