3. Jalinan Hubungan

176 25 11
                                    

Jangan bayangkan Qila akan segera mengejar-ngejar Raka seperti halnya yang dikatakan Laras di saat jam kosong tadi. Karena pada nyatanya, Qila memilih menjalani hari seperti kemarin; makan di kelas saat istirahat—meski kali ini tak ditemani Laras dan Devina—yang kemudian dilanjutkan dengan menuju kamar mandi tepat setelah makan. Ia masih memikirkan mengenai metode lain yang kemungkinan hasilnya cukup besar.

Ada banyak ide dalam benak Qila tentang apa saja yang perlu ia lakukan guna menarik perhatian Raka. Namun, dari sekian banyak jalan cerita yang disiapkannya, masih belum ada yang mampu membuat ia yakin jika itu akan berhasil. Masih ada banyak hal yang perlu ia sempurnakan, tetapi belum ditemukan titik temunya.

"Kenapa ngeliatin gerbang terus, Qil?"

Suara Arsya membuat Qila spontan mengalihkan pandang terhadap pemuda itu. Segera saja ia menggeleng. "Nggak pa-pa." Ia berjalan mendekati motor matic Arsya. Diraihnya helm yang diserahkan abangnya.

"Kenapa banyak yang ngeliatin kamu, Qil?"

Qila yang baru saja selesai memakai helmnya, kini kembali menitikfokuskan pandang pada Arsya. Menoleh ke sekeliling, ia dapati memang banyak yang tengah melihatnya. Beberapa dari mereka bahkan tertawa sambil menunjuk-nunjuk ia.

Memejamkan mata karena malu, kini Qila menyadari sesuatu. Sudah tentu peristiwa pagi tadi akan diceritakan dari mulut ke mulut sehingga menjadi gosip hangat yang indah untuk dinikmati. Jadi, meski penonton pagi tadi tak terlalu banyak, tetapi orang yang mengetahui sudah tentu satu sekolah.

"Wajah kamu merah." Arsya menyentuh pipi Qila. "Kamu nggak pa-pa?" tanyanya.

Qila menggeleng. "Nggak pa-pa." Ia memberi cengiran—seperti yang biasa ia lakukan—tetapi mungkin abangnya akan melihat jika raut itu tengah dipaksakan.

"Kamu nggak ngelakuin aneh-aneh kan Qil waktu minta dianterin ke sekolah pagi-pagi banget tadi?" Arsya kembali bertanya. Terdengar nada curiga dalam pertanyaan yang diajukan.

Qila menggeleng. "Nggak, Bang," sanggahnya, "Qila nggak ngelakuin apa-apa tadi pagi."

"Abang tau kamu boong." Arsya berkata sembari mulai menaiki motornya dan menyalakan mesin. Ditatapnya ia yang hanya terdiam tak berkata-kata ketika kebohongan sederhananya dengan mudah dilihat. "Kalo nggak mau cerita, ya udah. Tapi nanti kalo ada apa-apa soal ini, jangan minta tolong Abang. Kan kamu sendiri yang nggak mau cerita."

Ini kenapa laki-laki di hadapannya begitu menohok dalam berkata? Bukannya Qila tak mau jujur, hanya saja pada obrolan mereka yang lalu, pemuda itu bahkan langsung menasihati panjang lebar kala bercerita tentang beberapa hal pasal keinginannya. Sedang sekarang, ia enggan mendengar cerita panjang lebar itu.

Qila mungkin pendengar yang baik bagi beberapa orang yang pernah dekat dengannya. Namun dalam beberapa hal, ia juga enggan mendengar celotehan orang lain yang merasa perbuatan atau pilihannya salah. Ia punya kehidupan sendiri, tetapi kenapa harus benar-benar mengikuti pandangan orang lain?

Sayangnya, selama perjalanan Arsya tak mengajak berbicara. Pemuda itu membisu selayaknya ada sekat tak kasat mata yang ada di antara keduanya.

Qila bingung. Jika ia jujur mengenai apa yang tengah dilakukannya, sudah barang pasti abangnya akan memberikan ketidaksetujuannya. Namun apabila ia juga ikut berdiam diri, tak akan ada yang tahu kapan obrolan selanjutnya akan berlangsung.

Qila tak ingin berdiam diri selama di rumah. Ayah dan Mama sedang tak ada di rumah. Hanya ada ia dan Arsya yang menghuni bangunan itu. Jika mereka saling tak terlibat obrolan, sudah tentu suasana akan menjadi sangat canggung.

"Bang." Qila pada akhirnya membuat keputusan dengan memanggil terlebih dahulu ketika motor sudah berhenti di garasi. Ia memegang lengan Arsya dan menggelayutinya, mencoba menarik perhatian pemuda itu. "Jangan marah, dong."

HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang