Qila melihat wanita itu sewaktu pulang sekolah. Masih dengan bayi yang ia gendong, Raka dengan mesra memeluknya. Jika ada orang yang baru mengenal dan melihat peristiwa itu, mereka tentu tampak seperti pasangan kekasih dibanding kakak-beradik yang berjarak umur sepuluh tahun. Bahkan bayi itu—yang ia tahu bernama Bayu—langsung meminta gendong kala bertemu Raka.
Sosok Raka yang dikenal sering berucap tajam pada orang yang dirasanya mengganggu, seketika menguap kala dipertemukan dengan Bayu. Ada senyuman yang terulas manis di bibirnya. Seolah, tak pernah ada Raka yang dikenal jahat oleh orang-orang di sekolah.
"Nama kakaknya Rara."
Begitu kata Laras sekembalinya ia dari perpustakaan. Penjelasan singkat itu lantas dilanjutkan dengan cerita mengenai keluarga Raka yang dikenal sebagai orang terpandang. Berbeda dengan yang pernah dikatakan Devina—tentang keuntungan yang didapat pemuda itu sehingga membuatnya bersikap sedemikian kasar—Laras malah memandang apa yang dipunyai Raka sebagai tekanan.
Tekanan yang dimaksud adalah tuntutan untuk dapat lebih daripada orang tuanya dulu. Mungkin ya, semua pasangan menginginkan untuk sang anak dapat lebih daripada mereka, tetapi kadang hal itu pulalah yang memberatkan.
Ayah dulu sempat berkata padanya, "Biarin Ayah kaya gini. Tapi kamu jangan lakuin hal yang sama. Anak-anak Ayah harus lebih daripada Ayah." Namun Qila tentu menyadari jika apa yang dikatakan padanya tersebut, bukanlah tuntutan melainkan sebuah harapan.
Qila pikir, sejahat apa orang tua Raka hingga membuat pemuda itu tertekan dengan keadaan. Sayangnya, begitu pertanyaan itu ia lontarkan pada Laras, sebuah jawaban mengejutkanlah yang ternyata ia dapat.
"Raka itu yatim-piatu. Dia tinggal bareng sama kakeknya. Tapi kadang, kakaknya dateng ngunjungin sama suaminya."
Qila tak segera menampakkan diri di gerbang seperti ia yang pulang sekolah pada umumnya. Ia berhenti di sisi gerbang bersama beberapa siswi—sehingga posisinya tak terlalu kentara untuk dapat dilihat Arsya dari luar—untuk menonton Raka yang tengah tertawa begitu mendengar celotehan Bayu yang tak dapat ia dengar dengan jelas.
Puas menatap Raka dari kejauhan, Qila berserta siswi-siswi yang lain langsung membubarkan diri begitu Raka beserta kakaknya memasuki mobil dan meninggalkan area sekolah. Pembicaraan tentang pemuda itu yang semakin terlihat tampan begitu tertawa, menjadi topik yang dibicarakan para remaja putri itu seraya beranjak dari tempatnya.
Arsya sudah berada di depan gerbang dengan motor kesayangannya ketika Qila sampai di tempat itu. Menyapa abangnya disertai seulas senyum, ia lantas meraih helm dan mengenakannya.
"Abang tadi liat cewek-cewek kumpul di deket gerbang ngeliatin cowok yang lagi dijemput. Heran, apa gunanya juga ngelakuin itu?"
Gerakan Qila yang hendak menaiki motor, spontan terhenti begitu mendengar perkataan abangnya. Dari posisi belakang, ia menatap raut wajah Arsya melalui kaca spion. Pemuda itu rupanya memperlihatkan air muka yang biasa. Mengembuskan napas lega, disimpulkannya jika si abang tak melihat ia termasuk di antara para gadis itu.
"Jadi penggemar mungkin." Qila menjawab sembari mengambil posisi. Berpegangan pada tas yang dipakai Arsya, motor mulai melaju meninggalkan area sekolah.
"Kamu kalo punya pacar yang penggemarnya banyak kaya gitu, kayanya yang ada kamu bakalan gampang cemburu deh, Qil."
Ini abangnya memang benar-benar tidak mengenal Raka atau hanya berakting, sih? Foto-foto Raka yang ia simpan di rumah ia letakkan di laci, tempat yang memang jarang disinggahi Arsya. Namun, beberapa kali pemuda itu memperhatikan foto yang disimpannya kala ia mengeluarkan benda itu, akan sangat aneh apabila tidak mengenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Roman pour AdolescentsJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...