13. Rasa Satu Sama Lain

82 20 10
                                    

Mari kita revisi tentang apa sebenarnya tujuan Raka melakukan hal ini kepadanya. Mendengar jawaban yang dilontarkan pemuda itu kepada Rara, rasanya tidak mungkin apabila hanya sekadar menjatuhkan dirinya melalui para penggemar yang ia miliki. Mungkin ada tujuan lain.

Sedikit banyak, Qila tahu pasal keluarga Raka yang memang cenderung runyam apabila ditilik lebih lanjut. Statusnya yang yatim piatu sedari kecil, menjadikannya sebagai sosok yang sangat dekat dengan sang kakak. Keadaan memaksa keduanya untuk dapat merangkul satu sama lain.

Pertanyaan yang dilontarkan Rara kamis lalu terdengar begitu tulus, seolah tak memiliki makna lain yang rancu seperti halnya yang ada dalam benaknya. Wanita itu tak ubahnya seperti ia, pihak yang tak tahu-menahu mengenai persoalan apa yang tengah berlangsung.

Berbeda dengan Raka yang punya rencana diam-diam dalam otaknya, maka Qila adalah orang yang tak punya hal demikian. Ia benar-benar menyerahkan semuanya pada waktu yang terus mengalir. Tugas sekolah yang membludak, membuatnya nyaris tak memikirkan mengenai bagian ini sepenuhnya.

Beberapa kali kepercayaan diri Qila tumbuh. Berbagai pertanyaan pun muncul dalam otaknya. Apakah Raka sungguh menyukainya? Sayangnya sesaat setelah memikirkan perkara ini, kesadaran diri Qila langsung menampik semua itu.

Devina pernah bercerita tentang bagaimana saja sosok yang mengejar hati Raka. Bukan satu-dua yang dikenal sebagai sosok yang cantik lagi berprestasi. Namun tak ada satupun dari mereka yang kemudian berhasil dilirik Raka. Ya memang ia masih mempunyai kemungkinan tidak dilirik. Hanya saja, teman sekelasnya itu berkata bahwa ia satu-satunya perempuan yang berhasil pada titik ini.

Lalu, apa sebenarnya yang diinginkan pangeran sekolah itu? Sungguh, Qila ingin tahu semuanya.

Berhenti mengacak-acak rambutnya sendiri, Qila mengembuskan napas berat. Ditatapnya tumpukan buku yang ada di sisi lengan kirinya. Benda-benda itu spontan mengingatkannya pada perpustakaan yang sering ia kunjungi ketika menyadari pemuda itu ada di sana.

Jika diingat-ingat, tempo hari Raka pernah berbuat baik. Sudah semestinya perlakuan baik terhadap sesama adalah hal yang normal. Namun rasanya berbeda jika Raka yang melakukannya. Perbuatannya tersebut malah mengundang curiga yang berlebihan.

Di perpustakaan hari itu, Raka secara tiba-tiba meminjaminya buku kumpulan puisi. Sungguh terasa tidak mungkin. Pemuda itu adalah manusia paling mati rasa yang pernah Qila lihat seumur hidupnya. Tak ada angin tak ada hujan, kebaikan itu muncul.

Pada saat itu, apakah Raka memang mulai mencoba menaruh hati terhadapnya? Cukup menyenangkan sebenarnya apabila dipikir-pikir, karena ia bisa disukai orang lain. Namun jika mengetahui Raka yang menyukainya, terasa menyeramkan. Apabila ia salah sedikit, bukan tak mungkin ilmu hitam yang datang. Sangat tak lucu apabila hal tersebut benar-benar terjadi.

"Qil."

Suara panggilan disusul pintu yang terbuka, spontan mengalihkan fokus Qila secepatnya. Menoleh, ia dapati Arsya tengah berdiri di ambang pintu.

"Boleh masuk, kan?" Arsya bertanya, yang kemudian dijawab anggukan oleh Qila. Lalu, begitu sudah mendapat persetujuan, pemuda itu kemudian berjalan memasuki kamar dan mengambil tempat di sisi ranjang. "Kamu lagi belajar, ya? Abang ganggu?"

Qila yang sudah merubah posisi menghadap sang abang, lantas menggeleng. "Nggak, sih. Belajarnya udah selesai. Cuma ngulang materi yang lalu aja tadi."

Arsya mengangguk-angguk. "Abang tadi ngerasa bosen aja. Pengen nonton TV, tapi dikuasain Reza. Buka hape, cuma itu-itu aja. Ya udah ke sini."

Qila mengangguk-angguk paham. Bukan sekali dua kali Arsya melakukan hal tersebut. Mereka sudah terbiasa melakukan hal ini sedari kecil. Sehingga sudah saling mengerti.

HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang