4. Ragam Imajinasi

150 21 9
                                    

Berselancar di dunia maya, Qila mencari banyak hal yang mungkin masih ia lewatkan mengenai fakta atau bahkan gosip mengenai sekolah yang kini menjadi tempatnya menimba ilmu. Setiap ekstrakurikuler, program sekolah, tiap kelas, bahkan paguyuban wali murid, punya media sosial masing-masing. Entah memang sekolahnya ini yang terlalu narsis—atau memang ini normal—tapi Qila yakin jika sekolah lamanya tak melakukan hal yang sama.

Namun, Qila harus mengakui jika dengan metode ini, sekolah secara tak langsung mempromosikan peran mereka dalam mendampingi anak didiknya untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan. Mungkin, bisa saja ia bersekolah di tempat yang sekarang, karena Ayah tak sengaja menemukannya di YouTube, mengingat laki-laki paruh baya itu hanya mencari hiburan melalui aplikasi video itu.

Berkutat bermenit-menit pada YouTube serta Instagram milik salah satu ekstrakurikuler sekolah, jemarinya lantas berhenti pada akun kepunyaan PIK-R. Pada ratusan pengikut yang ada, ia menemukan akun dengan username yang membuat ia spontan mengekliknya.

Itu akun Instagram milik Raka. Akhirnya setelah sekian purnama ia berselancar di media sosial untuk mencari sosok tersebut, baru kali ini akun Raka ia temukan. Rasanya lega sekaligus kesal.

Tak banyak yang diposting Raka, malah bisa dikatakan sangat sedikit. Postingan pertama adalah foto pemuda itu bersama seorang laki-laki tua di depan gerbang, yang ia ketahui adalah gerbang sekolah. Di foto, Raka menggunakan seragam SMP, mungkin foto ini diambil pada saat MPLS. Postingan kedua, adalah foto pelantikan PIK-R yang disertai keterangan promosi sekolah. Sedang postingan ketiga, adalah foto buku yang dipajang pada dua rak.

Meskipun hanya memiliki tiga postingan, nyatanya Raka punya puluhan ribu pengikut. Dapat Qila tangkap jika tujuh puluh lima persen pengikutnya didominasi perempuan.

Tak ingin ketinggalan, Qila lantas segera memencet tombol mengikuti pada layar ponselnya. Tentu ia tak menggunakan akun Instagram miliknya sendiri. Untuk apa ia melakukan hal tersebut, jika ia punya banyak akun rahasia demi melanjutkan misi?

Qila tak bermaksud apa-apa ketika memilih untuk mengabdikan diri sebagai pengikut Raka. Ia hanya tak ingin kehilangan kabar pemuda itu. Jika ia tak punya nomor ponselnya, ia bisa memulai dengan menjadi orang yang tak punya banyak arti di media sosial. Lagipula, orang bijak pernah berkata jika semuanya dapat dimulai dari nol.

"Kamu ngapain, Qil?"

Qila terkejut bukan main kala suara Arsya tiba-tiba muncul dari arah pintu. Dengan panik, segera ia mengembalikan ponselnya pada layar utama kemudian merubah posisinya menjadi duduk. Mencoba bersikap biasa, ia menghadap sang kakak yang kini memasuki kamar.

"Ikut Abang, yuk. Abang mau ke minimarket depan beli sesuatu." Arsya yang tak curiga dengan apa yang baru saja ia lakukan, lantas melayangkan ajakan.

"Asal beliin mie goreng," jawabnya. Qila sebenarnya juga suka es krim, hanya saja ia lebih berpikir realistis. Es krim lebih cepat habis dan tak terlalu mengenyangkan dibanding mie goreng. Sedang apabila ia membeli dua-duanya, ia tak tega pada Arsya. Uang saku pemuda itu tentu banyak digunakan untuk berbagai hal. Sampai Ayah dan Mama pulang, pemuda itu harus banyak menghemat.

Maka, atas dasar syarat yang mudah, Arsya lantas menyetujui permintaannya. Dengan motor matic, pemuda itu membawanya menuju minimarket yang sebenarnya juga tak terlalu jauh.

Minggu pagi, minimarket rupanya sudah cukup ramai. Ibu-ibu beserta putra-putrinya adalah pengunjung yang banyak berdatangan. Mendadak, Qila merasa mengecil menjadi anak perempuan umur enam tahun yang tengah memaksa sang ayah untuk membeli jajan.

Membayangkan hal itu saja membuat Qila ingin tertawa. Apakah abangnya mirip dengan bapak-bapak berperut buncit yang pekerjaannya hanyalah mengajak berbicara burung peliharaan di akhir pekan? Ya, sepertinya tak mirip.

HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang