"Dek." Suara Ayah terdengar dari luar kamar, yang kemudian disusul dengan ketukan pelan di pintu. "Qila? Ada pacar kamu dateng itu. Keluar, gih."
Selesai makan malam, Qila memutuskan untuk mengunci diri di kamar. Sendirian mungkin membosankan, tetapi itu pula yang ia pilih untuk mengisi malam hari ini. Sayangnya, pernyataan Ayah tersebut membuat ia segera bangkit kemudian berjalan cepat menuju pintu.
Pada detik setelah ia membuka pintu, Qila mendapati Ayah menarik sudut bibirnya karena respon yang ia beri sangat cepat. Laki-laki paruh baya itu lantas berkata, "Walaupun malem-malem ke sini, Ayah nggak ijinin kalian keluar, ya. Di rumah aja. Jangan macem-macem."
"Ayahhh." Qila menjawab godaan itu dengan nada setengah kesal. Lagipula, ia juga tidak yakin apabila orang yang dimaksud akan mengajaknya keluar. Segera saja ia berjalan melewati Ayah kemudian menuju ruang tamu, tempat ‘pacarnya’ mungkin berada.
Tidak menemukan sang tamu di sana, Qila pindah ke teras. Benar saja, ‘pacarnya’ ada di sana; berdiri tegak dengan posisi membelakanginya.
Seolah menyadari akan kedatangannya, Raka—orang yang dimaksud—kemudian memutar tubuh. Pemuda itu menatapnya sejenak sebelum berjalan mendekat.
"Tumben ke sini?" sambutnya. Bukan tanpa alasan ia melontarkan pertanyaan itu, mengingat terakhir kali Raka datang ke rumahnya adalah ketika menjemputnya ke sekolah. Pada hari yang sama, pemuda itu juga akrab berbincang dengan Ayah, sehingga membuatnya juga yakin sebelum berbicara empat mata seperti sekarang, laki-laki lintas generasi itu juga sudah menyempatkan diri mengobrol sebentar.
"Ngomongin Cecil?" tebaknya setelah Raka tak juga menjawab. Begitu mendapati respon yang ia perkirakan, Qila melanjutkan, "Ternyata bener." Ia menunduk, menatap kaki telanjangnya yang bersentuhan langsung dengan keramik.
"Lo apain dia?"
Mendengar suara berat lawan bicaranya, Qila tahu jika pemuda itu tengah menahan amarah. "Nggak ada."
"Terus kenapa dia nangis waktu istirahat?"
"Kamu nyebelin ya waktu banyak ngomong." Jawabannya tersebut mendapat respon raut wajah tak menyenangkan dari Raka. Menyadari hal tersebut, Qila mengembuskan napas berat. "Aku juga nggak tau. Anak-anak katanya ngasih tatapan nggak suka ke dia sambil nyindir."
"Kenapa lo ngelakuin ini?"
Pertanyaan Raka yang terus berlanjut membuat Qila ikut memasang wajah masam. Ia tahu jika pemuda itu tengah menaruh curiga terhadapnya. Merasa tak tahan lagi, ia menyentak kaki ke lantai.
"Aku nggak tau apa-apa ya, Ka. Nggak usah nuduh tanpa bukti yang jelas."
"Gue nggak nud—"
"Nggak nuduh tapi nanyanya udah macem-macem, itu apa coba?" Qila tak kuasa untuk tak menjawab dengan nada yang ketus. Ia mengalihkan pandang seraya tangan yang menggenggam jemari dengan erat, menahan emosi di dada yang siap untuk meledak.
"Lo bilang hal aneh ke anak-anak."
Qila memutar kepala kembali, bersitatap dengan Raka yang berdiri menjulang di hadapannya. "Kan nuduh. Udah dibilang aku nggak tau apa-apa. Plis deh, Ka. Kalo kamu dateng cuma mau ngajak debat, mending pulang aja." Ia sudah lelah dengan drama sekolah yang berlanjut sampai ke rumah.
"Gue salah?"
Cukup sudah. Emosi Qila tak dapat dibendung lagi sekarang.
"Raka!" teriaknya, tak peduli jika mungkin tetangganya akan terganggu, atau mungkin situasi terburuknya, Ayah akan mendatanginya dan bertanya macam-macam. "Temen aku bilang, pelakor tuh di mana-mana namanya jelek. Cecil nggak akan ada tempat di sekolah."
![](https://img.wattpad.com/cover/202401157-288-k260897.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Novela JuvenilJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...