Terakhir kali Qila mengunjungi minimarket, pertemuan tak terduga membuatnya bertemu dengan Raka serta Rara. Ingatannya tentu masih merekam dengan jelas kesalahpahaman yang timbul akibat pertemuan tersebut.
Lalu hari ini—pada beberapa hari minggu setelahnya—Qila pergi ke tempat itu lagi. Minimarket masih sama, wanita paruh baya beserta putra-putrinya adalah pengunjung yang mendominasi. Keramaian itu pulalah yang kemudian membuatnya menghindar dan memilih jajaran rak yang terbilang sepi pengunjung.
Usai mengunjungi rak bagian wanita, Qila memutuskan untuk berbelanja di produk makanan instan. Butuh beberapa saat untuk ia memilih makanan apa yang diinginkannya, karena dapat ditebak bahwa hampir keseluruhan produk sangat menggodanya.
"Pilih apa aja yang kamu. Nanti saya beliin semua."
Qila terkejut bukan main kala suara tersebut memasuki indera pendengarannya. Menoleh, segera saja ia dapati seorang pria matang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya. Ketika orang tersebut berjalan mendekat, otaknya dengan cepat mencoba mengingat siapa dan di mana mereka pernah bertemu.
"Nggak ingat nih sama saya?"
Seolah bisa membaca dari raut muka yang ditujukannya, tebakan itu menembak dengan tepat. Sungguh dalam keadaan seperti ini, Qila menyalahkan dirinya yang kesulitan dalam mengingat orang lain.
"Kenalin, saya Dion."
Saat uluran tangan beserta pernyataan disebut, otaknya dengan mudah menemukan memori hari itu bersamanya. Dengan sumringah, ia menyambut uluran tangan lawan bicaranya.
"Hehe, maaf lupa." Maka, yang bisa ia lakukan hanyalah cengar-cengir karena perbuatannya barusan.
Dion tersenyum, tampak memaklumi dengan cara kerja otaknya yang cukup lelet. "Kamu mau beli apa? Saya bayarin aja."
Qila menggeleng. "Nggak usah, nggak usah. Biar saya beli sendiri aja."
"Saya yakin kamu mau. Nggak usah malu-malu." Dion tersenyum kemudian berjalan lebih mendekat ke arah rak. "Mau beli yang mana?"
Ragu-ragu Qila menunjuk salah satu produk yang ada di depannya. Sebagai salah seorang remaja normal yang uang jajannya terbatas, ia sebenarnya mau-mau saja dibelikan makanan ringan. Hanya saja gengsi harus dijunjung terlebih dahulu sebelum menerima sesuatu dari orang lain, apalagi jika orang tersebut baru dikenalnya.
Benar saja, Dion membayarkan apa saja yang ia mau. Dari barang keperluan wanita, makanan ringan, mie goreng, es krim, bahkan keperluan lain seperti halnya lotion. Qila benar-benar kalap karena katanya akan dibayari.
"Kamu nih tipikal orang yang gampang diculik, ya."
Celetukan itu terlontar ketika keduanya berada dalam mobil yang melaju pulang. Dion yang berkata demikian, spontan membuat Qila memutar kepala sembilan puluh derajat. Dikatai demikian, ia hanya bisa cengengesan.
"Padahal baru kenal, tapi waktu ditawarin buat dibayarin mau, dianterin pulang juga mau."
"Emang Bapak mau jahatin saya?" tantang Qila pada akhirnya. Sifat ala Devina pada akhirnya juga berlaku pada saat bersama Dion.
"Kan waktu itu udah saya bilangin jangan panggil saya Bapak." Dion menjawab seraya fokus dengan jalanan. "Orang saya sama Arka itu umurnya sama. Masa kamu panggil dia ‘Mas’ tapi saya ‘Bapak’? Nggak adil, dong."
Dion yang berkata demikian membuat memori dalam pikirannya mencuat dengan cepat. Pada pertemuan sebelumnya, Dion dengan gamblang menyebutkan jika Raka sering bercerita pasal dirinya. Tentu saja tempo hari ia ingin menanyakan kebenarannya. Namun Raka yang dengan jelas menyebut dirinya sebagai orang jahat membuat pria itu dengan mudah mengalihkan pembicaraan sehingga ia tidak sempat melempar tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HE (DOESN'T) LOVE(S) ME[2]
Novela JuvenilJadi begini, Qila itu dianggap aneh karena mengejar hati Raka yang dikenal sebagai sosok yang ketus. Sedang Raka, cowok ganteng yang digilai banyak perempuan tersebut, tak pernah membuka hati. Maka jadilah relasi di antara mereka terasa aneh. Sampa...