BAB 3 | Orang Berbaju Hitam

57 5 0
                                    

BAB 3 | Orang Berbaju Hitam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB 3 | Orang Berbaju Hitam

Terik matahari di pukul 11.00 menyilaukan mata. Apalagi cuaca sedang cerah-cerahnya, langit pun terlihat menampakkan warna biru segar. Sudah lima belas menit perempuan bernama Aurora menelpon sahabat-sahabatnya, namun tidak ada satu pun yang aktif. Dan akhirnya dia pasrah menyuruh Pak Polisi mengangkut motornya.

"Saya antar pulang, Mbak," tawar Polisi yang menilang Aurora.

Aurora terlanjur kesal. "Enggak usah, Pak. Saya jalan kaki aja, itung-itung olahraga."

Setelah hanya dia sendiri di sana, perempuan itu mencoba menghubungi sahabatnya lagi sambil berjalan. Wajahnya tampak muram, tangannya tak berhenti menekan tombol panggilan. Pasti teman-temannya sedang bekerja, karena ini hari senin. Di saat menekan tombol panggilan atas nama Denaya tersambung. Senyum lega kemudian tergambarkan di wajahnya.

"Lo kemana aja sih, Na?"

"Lo kenapa telfon sebanyak ini?" tanya Denaya balik membuat Aurora mendengus kesal. "Gue ada jadwal operasi, Ra."

Suara dentuman kencang terdengar di telinga Aurora. Kepalanya pun reflek menoleh ke belakang. Sebuah mobil membentur pembatas jalan hingga bagian depan mobil rusak. Perempuan tersebut terdiam, bahkan mengabaikan suara Denaya yang terus memanggilnya. "Aurora Swastika lo masih hidup kan?"

"Bentar, Na. Ada kecelakaan, nanti gue telpon lagi." Setelah itu, Aurora lantas memutuskan sambungan teleponnya dan berlari ke arah mobil yang sudah dikerubungi orang itu.

Seseorang yang berada di dalam mobil berhasil di keluarkan ketika Aurora sudah sampai di sana. "Permisi," ucap Aurora mencoba melihat orang yang berada di dalam mobil.

Darah segar mengalir di pelipis seseorang yang kecelakaan tersebut. Luka hanya di kepalanya, dan kini seseorang itu tak sadarkan diri. Aurora menutup kedua mulutnya ketika melihat orang yang terbaring di jalan itu. Dengan cepat Aurora mendekatinya dan duduk di sampingnya. "Cepat panggil ambulan!"

"Sudah mbak, tadi saya sudah telfon ambulan."

"Darahnya harus dihentikan," gumam Aurora sambil berfikir cara apa yang digunakan agar darah itu bisa dihentikan. Perempuan tersebut mencari-cari barang yang bisa dia gunakan. Hingga dia sadar bahwa tadi dia mengenakan scarf di lehernya. Dengan terburu-buru dia melepaskan scraf yang melilit lehernya lalu digunakan untuk menutup luka dengan cara mengikat scraf tersebut di kepala seseorang itu.

♥♥♥

Aroma medis yang khas selalu membuat Aurora pusing. Sejak tadi dia terus menyenderkan kepalanya pada dinding bercat putih. Matanya menatap ruang IGD dengan cemas. Sudah hampir 30 menit dia menunggu pemeriksaan pada korban kecelakaan tadi. Perempuan itu tak habis pikir, dia baru sadar dirinya takut dengan darah bahkan tidak suka dengan rumah sakit. Tapi mengingat kejadian tadi sungguh diluar kendalinya. Bagaimana bisa dia kuat melihat darah segar mengalir di pelipis seseorang tadi? Bahkan dia mencoba menghentikan pendarahan tersebut.

Pintu ruang IGD terbuka, seorang dokter keluar dari sana. Aurora segera mendekatinya, dan bertanya, "Bagaimana keadannya, dok?"

"Alhamdulillah tidak ada luka yang serius, mbak. Untungnya segera dihentikan pendaharannya, karena bisa berakibat fatal jika terlambat penangannya."

Aurora bernafas lega. "Saya sudah menghubungi keluarganya, dok. Mungkin sebentar lagi akan datang, saya permisi pulang dulu. Terima kasih, dok."

Dokter tersebut pun mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Aurora langsung permisi untuk pulang dan menitipkan seseorang tadi kepada perawat di sana. Bukan karena dia tidak suka rumah sakit, tapi dia tidak ingin seseorang yang dibantunya tadi tahu dirinya. Aurora kenal dengan orang itu, namun bertemu dengannya akan menimbulkan kesalahpahaman walaupun sebenarnya hanya memberikan bantuan.

Setelah keluar dari area rumah sakit, perempuan tersebut langsung menuju taksi yang sudah ia pesan saat menunggu korban kecelakan di IGD tadi. Kepalanya benar-benar pusing karena tidak tawar dengan aroma medis yang baru saja tercium indra penciumannya. Dalam perjalanan pulang, tangannya terus memijat pelipisnya. Berharap, rasa pusing itu segera pergi dari kepalanya.

Dering ponsel membuatnya berhenti memijat pelipisnya. "Halo, Na? Sorry, tadi ada hal urgent."

"Tadi ada apa, lo telfon gue?"

"Gue ketilang, anjir. Gak bawa STNK, dibawa deh motor gue sama Pak Polisi. Makanya tadi gue telfon lo, gue kira lo free." Aurora menatap keluar, taksi yang dia tumpangi sudah memasuki gang menuju kontrakannya. "Tapi gue udah pulang kok, pakai taksi."

"Sorry, ya..."

"Santai aja kali, Na. Yaudah lo lanjut kerja lagi. Thanks, Na!"

Setelah membayar ongkos taksi online, Aurora berjalan menuju kontrakan mini miliknya. Dari depan sekilas mirip rumah pada umumnya, ada pagar yang hanya bisa dilalui motor, teras, sebuah kursi dan meja kecil, serta bunga-bunga cantik yang berada di pot gantung. Kontrakan di sini berderet, memanjang ke samping. Ada beberapa type, mulai dari type A, B, dan C. Perempuan itu memilih type C, dengan harga sewa paling murah dibandingkan type A, dan B. Kontrakannya berada paling ujung, dekat dengan jalan. Dekat dengan pintu masuk area kontrakan milik Bu Rosolia ini, membuat tempat tinggalnya ini mudah dijangkau teman-temannya.

"Motor lu di mana, Ra?" tanya penghuni kontrakan samping miliknya Aurora.

Aurora duduk di kursi, kemudian melepas sepatu converse-nya. "Ketilang gue."

"Kok bisa ketilang? Yang nilang siapa, Ra? Jangan-jangan mantan lo, lo punya mantan yang sekarang jadi polisi gak?" tanya tetangganya lagi dengan tertawa.

"Ya bisalah, namanya juga manusia pasti pernah salah. Daripada lo nanya-nanya gajelas, mending lanjut siram-siram aja deh. Tanaman lo mati, nangis lagi entar."

"Yaelah, tanya doang kali, Ra. Btw tadi ada orang ke sini."

Aurora langsung menoleh. "Siapa?"

"Gak kenallah gue, pakaiannya item-item gitu. Jangan-jangan lo punya utang, ya? Terus tadi renternir yang datang, serem gitu mukanya."

"Terus lo bilang apa?" Wajah Aurora langsung menegang, tanpa tetangganya tersebut menjelaskan detail, perempuan itu tahu siapa yang baru saja datang.

"Gue bilang lo gak ada, siapa sih? Bikin kepo gue aja, lo. Mantan? Renternir? Atau jangan-jangan polisi yang nyelidikin lo?"

Aurora memutar bola matanya jengah, lalu berdiri. "Mbak Kiki, tetangga gue yang paling kepo. Lama-lama lo gue nobatkan sebagai tetangga terkepo sekomplek perkontrakaan Bu Rosalia, gak capek apa ngepoin orang. Dan, jangan jadikan gue bahan gosip lo sama mak-mak kompleks."

"Yah gak asik, lo, Ra."

Aurora melambaikan tangannya lalu menutup pintu kontrakannya. Kemudian menghempaskan dirinya di sebuah single sofa. "Kurang ajar, gue masih aja dicari."

Dering telfon kemudian menggema di bangunan kecil itu. Aurora mengabaikan panggilan itu ketika melihat nama si penelfon. Namun, karena si penelpon tidak kunjung menyerah akhirnya perempuan itu mengangkatnya.

"Halo, jangan menyuruh orang datang ke kontrakan saya lagi. Saya tidak lupa, saya akan datang," ucap Aurora ketika panggilannya tersambung. Namun, belum sempat di balas langsung dimatikan lagi.

♥♥♥

Lanjut gak ya cerita ini?🙃

Exsalind

11 Juli 2021

Jumpa Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang