BAB 34 | Satu Harapan

41 2 0
                                    

BAB 34 | Satu Harapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB 34 | Satu Harapan

Eyang Rumi memaksa Aurora untuk datang ke rumahnya. Sejak tadi Aurora terus memberontak ketika orang suruhan eyangnya memaksanya. Tangannya yang sejak tadi dicekal berulang kali ditepisnya. "Gue bisa jalan sendiri anjing. Sabar."

"Selamat datang Aurora," sambut Eyang Rumi ketika Aurora sudah berada di hadapannya.

"Eyang mau apa lagi sih?"

"Kamu mau menikah? Itu artinya warisan Papa kamu bisa kamu kuasai. Eyang hanya minta warisan itu dikembalikan. Karena kamu gak berhak mendapatkan warisan itu. Ingat ya, Ra! Kamu itu hanya anak hasil selingkuh Mama kamu."

"Cukup, Eyang! Aurora juga gak sudi menerima harta Papa apalagi harta Eyang. Eyang tenang saja, Aurora sama sekali tidak tertarik dengan harta itu. Asal eyang tahu, Aurora sudah menolak warisan itu sejak Aurora tahu alasan eyang masih mengusik kehidupan Aurora hanya karena harta. Aurora sudah menemui pengacara Papa, tapi prosesnya gak sesingkat itu Eyang. Coba Eyang tanya sama pengacara Papa dulu, jangan asal apa-apa nyalahin Aurora. Capek, Eyang, Aurora capek dari dulu selalu dipandang salah terus sama keluarga kalian."

"Kalau kelahiran aurora membuat masalah, Aurora gak ingin dilahirkan di dunia ini," lanjut Aurora.

Kemudian perempuan tersebut berjalan meninggalkan Eyangnya yang masih diam. Namun beru beberapa langkah dia membalikkan badannya. "Dan satu lagi, cukup salahkan Aurora jangan salahkan Mama. Seburuk apapun masa lalu Mama, Mama tetap Mama yang baik buat Aurora."

♥♥♥

Ziya memijat pelipisnya akibat pusing melihat pertengkaran karena hal yang sama untuk ketiga kalinya. Denaya, Aurora, dan Winny kini di rumah Ziya untuk menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan. Denaya yang terlihat habis menangis. Winny yang terlihat menenangkan Denaya. Aurora yang menyandarkan tubuhnya di sofa dan menyilangkan kedua tangannya serta menatap kosong ke depan. Lalu Ziya yang mencoba menjadi penengah di antara mereka.

"Oke, gue di sini gak mau bela siapa-siapa," ucap Ziya sambil menaikkan kedua tangannya. Kemudian dia mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. "Soal perjanjian dalam persahabatan kita ini kalau menurut gue lebih baik dihapus. Ki-"

"Kalau lo ngomong gitu, lo belain Aurora, Zi," potong Denaya dengan cepat.

"Bentar elah, gue belum selesai ngomong." Ziya berdecak kesal. "Kita gak tau takdir yang akan kita dapatkan seperti apa. Apalagi perkara jodoh, emang kita bisa milih? Emang kita bisa tahu dulu? Emang kita bisa nolak? Jodoh gak ada yang tahu, guys."

"Tapi kita sudah janji, Zi. Hal ini bisa menghancurkan persahabatan kita!"

"Sahabat, ya Win? Apa sih arti sahabat buat lo?" sahut Aurora dengan suara lemah dan posisi duduk serta pandangan mata yang sama.

"Sahabat ya kita harus mendukung satu sama lain, gak boleh nusuk dari belakang."

"Betul, lalu kalau gue sama Saka bisa bahagia. Lo gak ngedukung gue? Apa karena gue jadian sama Saka yang notabennya mantanya Denaya, gue bisa dianggap sebagai teman yang menusuk dari belakang?" Aurora menegakkan tubuhnya lalu menatap datar ke arah Denaya dan Winny.

"Gue juga berhak bahagiakan, Win?" tanya Aurora dengan nada serak menahan tangis. "Sampai kapan harus mementingkan Denaya terus? Denaya bahkan sekarang sudah bertunangan jugakan? Lalu, kalau gue sama Mas Saka... Apa itu salah? Gue capek dari dulu harus ngalah sama Denaya, kalian jugakan? Semua perjanjian ini karena siapa? Denaya. Semua perintah, semua larangan, semua keputusan, atas dasar perintah siapa? Denayakan? Kalian apa pernah ngertiin perasaan gue?"

"Gue akui gue salah, gue tahu Denaya masih suka sama Saka gue justru jadian sama dia. Kalau gue bisa milih, gue juga gak mau orangnya Saka, Na," lanjut Aurora sambil menghapus air matanya.

Denaya berdiri dan menatap Aurora. "Lo sama Mama lo itu sama, Ra. Sama-sama penghancur kebahagiaan orang. Belum puas lo ngehancurin keluarga gue, sekarang lo ngerebut Saka dari gue."

"Permasalah keluarga alangkah lebih baik kita bicarakan dengan keluarga kita, Na. Di sini kita membahasas persahabatan kita, bukan keluarga," Jawab Aurora dengan tersenyum tipis.

"Keluarga? Ada apalagi sih sebenernya?" tanya Winny.

"Dia." Denaya menujuk ke arah Aurora lalu tertawa sinis. "Mamanya adalah selingkuhan Papa gue. Samakan Ibu sama anak, sama-sama tukang rebut. Murahan..."

Plak...

Amarah Aurora memuncak. Tangannya sebelah kirinya mengepal erat, sedangkan sebelah kanannya masih diposisi yang sama setelah menampar Denaya. "Jaga mulut kamu, ya Na. Lo boleh ngerendahin gue, lo boleh caci maki gue, tapi lo jangan sekali-kali ngerendahin Mama gue. Camkan itu!"

"Loh? Gue gak salahkan? Lo ngapain belain Mama lo yang gak pernah ngurusin lo dari kecil," ucap Denaya penuh penekanan dengan nada sinis. Aurora akan meledakak amarah lagi namun ditahan oleh Ziya.

"Denaya... Aurora cukup!" Ziya menengahi. "Kita di sini kumpul buat menyelesaikan masalah secara kepala dingin. Bukan seperti ini."

Aurora menghela nafas dan memejamkan matanya. Lalu duduk di tempat semula. Pikirannya kacau, hatinya sesak, dadanya seolah ada ribuan jarum yang menyerbunya. "Gue minta maaf, Na. Soal semuanya."

"Mau lo minta maaf, lo gak bisa ngembaliin semuanya," sahut Denaya diakhiri dengan berdecak kesal.

"Iya." Aurora tersenyum. "Gue gak bisa mengembalikan semuanya. Tapi, gue saat ini cuma punya satu harapan, Na. Kalau gue bisa milih, gue milih buat gak lahir di dunia ini. Karena kelahiran gue, membuat permasalahan buat keluarga Mama, Papa, dan Ayah lo."

Setelah itu Aurora mengambil tasnya. Namun ketika mau pergi, Ziya menahannya. "Lo mau kemana, Ra?"

"Gak tahu, Zi. Semua tempat menolak kehadiran gue. Yang pasti saat ini gue cuma butuh waktu sendiri, tenang, dan gue mohon kalian jangan ganggu gue lagi."

Ziya melepaskan tangan Aurora yang tadinya ditahan. Senyuman Aurora membuat dada Ziya terasa sesak. Aurora menyimpan sedih dibalik senyuman setiap hari. Perempuan itu selalu berusaha tegar, berusaha kuat, berusaha tetap baik-baik saja padahal ada ribuan luka yang tak pernah Ziya ketahui.

Setiap langkah Aurora keluar dari apartemennya, ada rasa terbesit untuk berlari dan memeluknya, ada rasa ingin menahan kepergian sahabatnya. Tepat ketika Aurora memegang handel pintu, Ziya berlari dan memeluknya lalu membisikkan, "lo kuat, Ra."

Aurora melepaskan pelukan Ziya. Lalu menatap Ziya dengan tersenyum, setelah itu melirik ke arah Denaya yang menangis dipelukan Winny. "Denaya yang perlu kamu kuatkan, Zi. Gue gakpapa, udah biasa."

"Jangan pulang dulu, ya Ra! Atau gue panggilkan Saka dulu deh, lo jangan pulang sendirian."

Dipegangnya pundah Ziya dengan kedua tangan Aurora. "Gue gakpapa, Ziya. Gue butuh waktu sendiri, lo pasti paham guekan? Dan... jangan bilang Mas Saka dulu ya, dia lagi ada pekerjaan penting, gue gak mau ganggu konsentrasinya."

"Udah, gue mau pulang. Tenangkan Denaya, dia bisa nangis terus kalau gak ditenangkan sahabatnya,"

♥♥♥

Ditulis, Exsalind
5 Agustus 2022

Jumpa Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang