BAB 18 | Siap Pak Dokter
"Aku ingin duduk di sampingmu. Bercerita sampai lupa waktu. Tertawa karena cerita lucu, sendu karena cerita pilu, dan tersenyum karena semua cerita sudah berlalu."
Saka dan Aurora menikmati berwisata di Kota Tua. Mereka juga mencoba berbagai kuliner di sana. Hingga waktu menunjukan pukul tiga sore, mereka baru meninggalkan Kota Tua. Setelah ini Saka akan mengajak Aurora makan malam terlebih dahulu.
Aurora yang ditanya mau makan di mana menjawab terserah. Sehingga tanpa memberitahu tujuan Saka melajukan mobilnya. Membuat Aurora kepo sepanjang jalan mempertanyakan ke mana mereka akan makan siang. Dan Saka hanya menjawab, "tadi katanya terserah."
Hal tersebut jelas membuat Aurora semakin kepo karena Saka memasang wajah usil ketika setiap kali perempuan itu bertanya. Aurora lantas menyilangkan lengannya, memasang wajah melas dan memalingkan wajahnya ke arah jendela. Saka melirik dan melihat tingkah Aurora pun terkekeh. Kemudian laki-laki itu mengacak-acak rambut Aurora. "Ke resto malam itu."
"Ih... Kenapa sih suka banget ngacak rambut," ucap Aurora sambil merapikan rambutnya.
Saka tertawa. "Kamu menggemaskan kalau marah."
Pukul empat sore akhirnya mereka sampai di restoran tempat pertama kali Aurora memperlihatkan tangisnya malam itu setelah terjebak macet hampir 1 jam. Saka berjalan dulu, dan Aurora mengekori di belakangannya. Kemudian setelah mereka sampai di dalam, Saka berbicara dengan resepsionis. "Reservasi atas nama Saka Atharwa."
"Iya mas Saka, sudah disiapkan di atas."
"Terima kasih, " ucap Saka sambil tersenyum. Kemudian menatap Aurora. "Ayo."
Aurora menganggukkan kepala kemudian mengikuti laki-laki tersebut naik ke lantai tiga, yaitu rooftop dari restoran ini. Rooftop yang sangat asri karena dihiasi oleh tanaman-tanaman hijau dan bunga-bunga yang indah. Bahkan ini selayaknya taman di lantai atas. Meski tempatnya tidak terlalu luas, namun rooftop ini sangat nyaman. Ada dua tempat yang bisa dijadikan tempat duduk. Pertama tempat duduk yang menyatu dengan dinding pembatas, kedua tempat makan yang berada di sisi kanan tempat duduk tadi.
Tempat makannya bertemakan lesehan dengan duduk di bean bag. Serta terdapat meja berbentuk bulat. Lantainya berupa kayu dan sekelilingnya berlantai rumput sintetis, dengan atap kaca yang di sangga 4 pilar yang mampu melindungi dari hujan. Ke empat pilar terdapat kain putih melilit sebagian atasnya.
Saka duduk di tempat duduk yang menyatu dengan tembok. Posisinya sama seperti malam itu yaitu duduk miring. Kakinya sebelahnya tertekuk di kursi, dan sebelah kanannya dibiarkan menggantung. Sedangkan Aurora duduk di samping kanannya, dengan posisi bersandar pada tembok.
"Kamu suka senja gak?" tanya Saka. Tangan kirinya menompang pada dinding pembatas dan matanya menatap Aurora.
Aurora mengayun-ngayunkan kakinya. Kemudian menoleh ke arah Saka. "Suka, siapa sih yang gak suka senja. Indah banget, punya makna lagi."
"Apa makna senja buat kamu, Ra?"
"Hmm..." Aurora memiringkan tubuhnya, sehingga kini mereka saling berhadapan. "Senja mengajarkan saya tentang rela."
"Keindahan warna jingga senja yang ditelan gelapnya malam membuat saya belajar, kadang kita harus merelakan keindahan untuk menemukan keindahan lagi meski harus melewati kegelapan. Kamu tahu keindahan laginya itu apa?" lanjutnya.
Saka tampak berfikir. "Matahari terbit?"
"Betul," ucap Aurora sambil tersenyum. "Senja pergi ditelan gelap malam yang datang, namun setelahnya fajar datang dengan keindahannya."
Saka ikut tersenyum. "Lihat sebentar lagi senja akan datang."
"Pemilik restoran ini pasti penyuka senja, ya," ucap Aurora ketika matanya sudah mengikuti arah pandangan Saka. "Buat rooftop yang bisa lihat pemandangan secantik ini."
Saka mengangguk setuju kemudian menanggapi ucapan Aurora dengan tertawa "Pemiliknya emang anak senja banget."
"Kamu kenal?"
"Kenal," Saka menatap Aurora. "Temen sendiri. Kapan-kapan aku kenalin."
Aurora mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian dia menyangga dagunya dengan tangan sebelah kanannya, arah pandangannya kini ke arah Saka. Sehingga mereka saling berpandangan. "Bagaimana rasanya jadi dokter, mas?"
"Seneng dan sedih," jawab Saka. "Seneng kalau bisa membantu mereka sembuh, sedih kalau saya tidak bisa berhasil menyelamatkan mereka."
"Mas gak takut gitu?"
Saka terkekeh. "Takut apa, Ra?"
"Ya... takut setiap nanganin orang. Apalagi yang sampai meninggal gitu. Aku kok bayanginnya tuh gak tega banget, pasti kepikiran terus."
"Kepikiran sih, tapi saya kemudian ingat. Yang penting kita sudah berusaha, untuk urusan sembuh atau tidak adalah kehendak Tuhan."
"Iya sih betul," sahut Aurora sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Mas Saka ada rencana mau ngambil spesialis gak??"
"Ada, tapi masih belum tahu mau ambil spesialis apa," jawab Saka.
"Tapi kemungkinan mau ambil bedah kalau gak jantung," lanjutnya.
Kemudian mereka melanjutkan ngobrol seputar kedokteran. Aurora yang tidak suka dengan dunia kedokteran mendadak penasaran dan terus menggali informasi kepada Saka. Dan laki-laki itu pun dengan senang hati menjawab semua pertanyaan Aurora.
Mentari mulai tenggelam. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Sepuluh menit yang lalu makan malam pesanan mereka datang. Saka pun mengajak Aurora untuk duduk di tempat makan dan mereka duduk berhadapan.
"Dijaga pola makannya, Ra. Jangan sakit lagi."
"Siap pak dokter," jawab Aurora dengan tertawa dan mengangkat tangannya membentuk sikap hormat.
Saka tersenyum. "Jangan sering-sering minum kopinya, jangan sering-sering makan pedas juga."
"Yah... enak loh padahal."
"Iya enak, tapi gak baik buat lambung. Apalagi kamu sudah sampai infeksi. Saya gak mau kamu kenapa-kenapa."
"Saya suka gitu, mas." Aurora meletakkan sendoknya lalu menatap Saka yang juga ikut menghentikan makanannya. Kemudian perempuan itu tersenyum miris. "Gak sadar nyiksa diri kalau pikiran lagi kacau. Mau cerita bingung ke cerita ke siapa. Akhirnya saya pendam sendiri sambil nyiksa diri aja gitu biar puas."
Saka memejamkan matanya lalu menghela nafas. Kemudian menggenggam tangan Aurora. "Jangan lagi, ya. Saya siap mendengarkan semua cerita kamu."
"Saya benar-benar takut kamu kenapa-kenapa. Jangan lagi, ya," lanjut Saka sambil mengusap-usap tangan Aurora yang dia genggam.
Aurora tersenyum dengan mata berkaca-kaca lalu menangggukan kepalanya. "Terima kasih, mas."
Saka lalu berpindah di samping Aurora dan mendekap perempuan itu. Seketika tangis Aurora pecah. Saka pun mengusap lengan Aurora menenangkan perempuan tersebut. Sedangkan Aurora membalas dekapan Saka dan masih menangis.
"Menangislah. Jangan terus ditahan, nanti kamu tambah merasakan sakit."
Setelah beberapa saat tangis Aurora mereda. Saka merenggangkan sedikit dekapannya agar melihat wajah Aurora. "Udah?"
"Belum," jawab Aurora dengan suara parau.
Saka pun terkekeh pelan. "Lanjutkan lagi, sampai puas nangisnya."
❤️❤️❤️
ditulis Exsalind,
28 Mei 2022Abcdgsjsjshushsgfwumshsh dapat laki-laki semanis Saka di mana sih?😭😭😭😂
Adanya cuma di wattpad kali yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Rasa [Selesai]
РазноеJomlo tidak ada dalam kamus Aurora. Perempuan tersebut anti dengan kesendirian tanpa kekasih. Rekor terlama dia menjomlo adalah tiga hari saja. Baginya pacar adalah asupan vitamin untuk dirinya. Meskipun tak jarang terkhianati, namun Aurora gampang...