BAB 22 | Kasih

34 3 8
                                    

BAB 22 | Kasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB 22 | Kasih

Hidup memang tidak ada yang berjalan lurus begitu saja. Jalannya mungkin ada yang berliku, ada yang penuh rintangan, ada pula yang naik turun seperti jalan pegunungan. Masalah-masalah datang membentuk manusia menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya. Semakin dewasa terpaan angin masalah pun semakin kencang. Artinya manusia dituntut semakin kuat dalam menghadapi kehidupan.

Bahagia hanya penghias dalam cerita kehidupan. Datangnya kadang hanya sekejap, menghibur duka yang saban hari datang. Namun, bahagia dan duka adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya saling bergantian pun juga saling melengkapi satu sama lain. Hidup bahagia saja terasa datar dan hambar, sedangkan hidup duka saja akan terasa sangat menyakitkan. Jadi keduanya datang secara bergantian.

Hidup Aurora sejak dulu jauh dari kata bahagia. Tapi dia bersyukur masih dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dengannya. Ketika orang tuanya sama sekali tidak peduli dan tidak menganggapnya ada, pembantu di rumahnya justru seperti Ibunya sendiri. Ketika pembantunya tersebut harus pulang ke kampung halaman dan Aurora tinggal di kontrakan, Ibu pemilik kontrakan dan tetangganya baik kepadanya. Lalu sahabat-sahabatnya yang selalu membagi tawa sehingga dia lupa dengan segala permasalahan yang ada.

Dan kini ada Saka. Arsaka Dwi Atharwa, seorang dokter muda yang dikenalnya karena pernah berpacaran sama Denaya, sahabatnya. Laki-laki sederhana yang berhasil mencuri perhatiannya. Kenyamanan yang selalu dia dapatkan ketika di dekatnya, serta berbagai rasa yang belum dia rasakan sebelumnya. Entah apa alasan Aurora begitu percaya berbagi cerita kepada Saka.

Saka melepaskan dekapannya, lalu mengusap sisa-sisa air mata Aurora. "Sudah lebih baik?"

"Sudah," jawab Aurora dengan menganggukkan kepala. Rasanya lebih lega bisa bercerita. Padahal sebelumnya rasa sesak selalu menyelimutinya. "Boleh lanjut cerita lagi gak?"

Saka tersenyum. "Boleh dong."

"Mas ingat waktu kita ketemu di rumah Eyang?" tanya Aurora dan Saka pun menganggukan kepalanya. "Waktu itu Mama minta saya pulang. Dan hari ini Mama menagih karena aku waktu itu saya mengiyakan. Mama tadi masakin aku sambel terong sama mendoan, padahal Mama gak bisa masak sejak dulu. Katanya Mama belajar demi saya."

Aurora menatap Saka dengan mata yang berbinar. "Setelah bertahun-tahun akhirnya saya merasakan rasanya punya Mama, Mas.".

"Saya kira setelah itu kita baikan, tapi setelah saya ke kamar saya melihat foto keluarga. Ingatan saya tentang semua hal yang menyakitkan menghantui. Lalu saya mempertanyakan perihal Ayah lagi," lanjut Aurora.

Air mata perempuan itu kembali menetes namun dengan cepat dia hapus lagi. Saka memandang Aurora sayu. "Kamu sudah mencoba mencari tahu sendiri?"

"Belum, saya ingin tahu langsung dari Mama beserta alasan kenapa semua disembunyikan. Hanya Mama dan Papa yang tahu siapa ayah kandung saya. Sedangkan Papa sudah meninggal delapan tahun yang lalu."

Jumpa Rasa [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang