BAB 32 | Akhir PenantianSetelah menghabiskan waktu seharian dengan berbincang-bincang bersama Ibunya Saka, Aurora pulang menunggu Saka pulang kerja dan makan malam bersama. Perempuan itu sangat nyaman dan betah bersama keluarga Atharwa. Kehangatan dan kebersamaan dari keluarga tersebut membuat Aurora nyaman. Apalagi sikap Rahayu yang sangat ramah dan baik kepadanya, membuat perempuan itu lupa waktu ketika mengobrol dengannya.
Kini Aurora sudah bersama Saka. Setelah kepulangan Saka dari rumah sakit, laki-laki tersebut langsung mengantarkan Aurora pulang. Mereka kini sudah di depan kontrakan Aurora, tepatnya masih di dalam mobil. Aurora ingin melontarkan pertanyaan sehingga tidak ingin keluar mobil terlebih dahulu. Namun, keraguan masih menguasai sehingga kini justru keterdiaman menyelimuti mereka.
"Kenapa?" tanya Saka sambil mengerutkn dahinya. "Ada apa, Ra?"
Aurora menoleh ke arah Saka. Jari di tangan kanannya bergerak gelisah memutar-mutar cincin berlian yang tersemat manis di jari tengahnya pada tangan kirinya. Ya, dia akhirnya menerima lamaran Saka setelah melewati diskusi panjang dengan hati dan pikirannya. "Aku gak guna banget ya, mas."
Saka semakin bingung ketika mendengar ucapan Aurora. Kemudian laki-laki itu meraih jemari Aurora dan menggenggamnya dan mengusapnya lembut. "Hei... Kamu kenapa sayang?"
"Ih jangan manggil gitu," ucap Aurora kesal. Pasalnya dia belum terbiasa dengan panggilan sayang yang beberapa kali dilontarkan Saka. "Duh kamu ih ganggu orang sedih aja."
Sedangkan Saka terkekeh lalu mengusap lembut puncak rambut Aurora. "Kamu itu loh kenapa? Kenapa ngomong gitu? Kamu jelas berguna dong, berguna bagi nusa dan bangsa."
"Ih... Aku serius mas. Mas Saka selalu ada untuk aku, selalu ngertiin aku, bahkan Mas Saka tahu semua tentangku. Sedangkan aku, aku gak tahu apa-apa soal Mas Saka. Aku merasa bersalah banget cerita dan ngeluh soal ayah kandungku. Aku gak ngertiin perasaan Mas Saka," ucap Aurora dengan mata yang berkaca-kaca.
Raut wajah Saka langsung berubah menjadi datar. Namun setelah itu senyum tipis menghiasi wajahnya. Digenggam erat jari jemari Aurora. "Kamu gak perlu merasa bersalah. Kamu gak salah, Ra. Setiap orang punya masalah sendiri-sendiri. Aku gak bisa nuntut orang untuk bersyukur dengan permasalahan dan bilang bahwa permasalahanku lebih berat."
Saka menggelengkan kepala. "Gak bisa, Ra. Orang lain mungkin punya permasalahan yang lebih ringan daripada kita, tapi orang itu tidak kuat bukan berarti dia tidak bersyukur. Namun karena orang itu masih perlu proses panjang untuk menjadi orang yang kuat. Dan itu yang membuat aku salut sama kamu, kamu melewati proses yang panjang untuk menjadi kuat. Membuat kekuatan baru juga untuk aku."
"Maafin aku, ya mas."
Saka terkekeh kemudian mengacak-acak puncak rambut Aurora. "Heiii gak perlu minta maaf, kamu gak salah."
♥♥♥
"Jadi... Kapan Nak Saka dan keluarganya mau datang ke rumah, Ra?"
Seutas senyum terukir di wajah cantik Aurora. Setiap kali memikirkan perihal lamaran selalu membuat perutnya mulas. Dia tidak menyangka akan berada di titik ini, menerima lamaran seseorang. Pernikahan adalah hal yang tidak pernah terpikirkan sama sekali dalam hidupnya. "Hari minggu, Ma. Kemarin Mami bilangnya begitu."
"Mama gak sabar menanti hari itu," jawab Vella sambil duduk di hadapan Aurora.
"Ma... Bagaimana cara Aurora ngomong sama Denaya, ya. Pasti Denaya marah banget kalau tau Aurora mau nikah sama mantannya."
Vella menghentikan kegiatan makannya, lalu menatap anak perempuannya lekat-lekat. "Lebih baik Denaya tahu tentang ini dari kamu sendiri, Ra. Jangan sampai dia justru tahu dari orang lain. Jadi, lebih baik kamu coba ngomong baik-baik."
"Ara juga mikir gitu, Ma. Kalau sampai Denaya tahu dari orang lain dia justru semakin marah besar."
"Udah kamu selesaikan dulu makannya, setelah itu kita bahas ini lagi, ya."
Aurora menganggukan kepalanya. Mereka pun akhirnya meneruskan kegiatan sarapan. Setelah selesai makan dan membereskan ruang makan, Aurora dan Ibunya duduk di ruang keluarga. Tadi ketika mencuci piring, Vella memberitahu Aurora bahwa akan ada yang ingin disampaikan.
"Ada apa, Ma?"
Vella terlihat ragu, raut mukanya berubah jadi sendu. "Kamu ingin nanti Ayah kandungmu datang ke pernikahan kamu tidak?"
Lantas raut wajah Aurora ikut berubah. Setelah pertengkaran terakhir perihal ayahnya, Aurora sudah mencoba ikhlas menerima kenyataan untuk tidak mengetahui siapa ayah kandungnya. Perempuan itu yakin ada alasan kuat mengapa Mamanya menyimpan rahasia itu rapat-rapat.
Namun, mendengar pertanyaan itu keluar dari mamanya membuat dia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah dia menginginkan Ayah kandungnya datang ke pernikahannya nanti? Jelas, Aurora sangat menginginkan hal yang menjadi impiannya tersebut. Setiap kali dulu teman-temannya membahas pernikahan dia selalu kepikiran soal ayah kandungnya. Aurora ingin seperti teman-temannya yang didampingi ayah tercinta mereka. Sedangkan Aurora, dia bahkan tidak merasakan kasih sayang ayah sejak dalam kandungan.
Mata Aurora berkaca-kaca. "Kalau ditanya ingin apa tidak... Ara jelas ingin, Ma."
"Mama juga ingin ayah kamu datang di hari pernikahanmu. Mama sudah berdiskusi soal ini dengan dia, dan akhirnya kami memutuskan untuk memberitahumu siapa ayah kandungmu. Ayah kamu mengundang kita makan malam keluarga di rumahnya malam ini."
"Ma?" Aurora menyerit bingung. "Bukannya Mama pernah bilang jika aku tahu siapa ayah kandungku bakal merusak keluarganya. Lalu kenapa sekarang justru datang ke acara makan malam keluarga?"
Vella menggenggam tangan anak semata wayangnya. "Kami sudah siap dengan segala risikonya, Ra. Kamu maukan? Mama sangat berharap di hari bahagia kamu, ada kebahagiaan lain yang sebenarnya kamu impikan sejak kecil. Mama harap ini bisa menebus rasa bersalah Mama sama kamu."
"Jujur aku bingung, ma." Perempuan itu menatap kosong ke arah depan. Aurora sangat menanti hari ini, hari dimana mamanya mengizinkan dia bertemu ayah kandungnya. Tapi entah mengapa perasaannya justru tidak enak. Ada keraguan dan ketakutan jika bertemu dengan ayah kandungnya.
"Kamu pikirkan baik-baik, ya. Kamu berhak tahu siapa ayah kandungmu. Mama salah selama ini menutupinya."
♥♥♥
Aurora kini membaringkan tubuhnya pada kasur di kamarnya. Matanya menatap foto keluarga di atas nakas. Air matanya perlahan menetes. Keluarga? Selama ini dia tidak pernah merasakan kehangatan keluarga di keluarganya sendiri. Dia sangat memimpikan bisa berkumpul dengan keluarganya. Namun ketika sekarang ada kesempatan atas impiannya tersebut, dirinya justru takut.
Dering ponsel membuat lamunannya buyar. Tangannya pun meraih ponsel di sebelahnya berbaring. "Assalamu'alaikum, mas."
"Kamu nangis?"
"Mas Saka hafal banget suara aku kalau lagi nangis," jawab Aurora dengan terkekeh.
"Kamu kenapa sayang? Maaf tadi waktu kamu chat, mas lagi dalam perjalanan ke rumah sakit."
"Aku bingung, mas."
"Bingung kenapa?"
"Aku diberi kesempatan untu ketemu ayah kandungku, tapi aku justru takut."
"Menurut mas, kamu takut karena setelah puluhan tahun kamu gak ketemu. Kamu tanya hati kamu, ini kesempatan yang sebenarnya sangat kamu inginkan bukan? Tapi kamu juga harus siap dengan segala risikonya."
"Makasih ya mas, aku tahu harus memilih apa."
♥♥♥
Ditulis, Exsalind
5 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Rasa [Selesai]
RandomJomlo tidak ada dalam kamus Aurora. Perempuan tersebut anti dengan kesendirian tanpa kekasih. Rekor terlama dia menjomlo adalah tiga hari saja. Baginya pacar adalah asupan vitamin untuk dirinya. Meskipun tak jarang terkhianati, namun Aurora gampang...