24. MENUJU HALAL

967 126 1
                                    

    
      Hari berganti hari, begitu pula dengan minggu dan bulan pun ikut berganti. Hubungan Rezanta dan Renata semakin dekat. Dekat di sini bukan dalam artian dekat secara fisik ya, bersentuhan atau sejenisnya. No, no, no! Cepat buang pikiran negatif kalian. Mereka tak akan melakukan itu sebelum halal. Cakep, kan?

      Hubungan antara kedua keluarga  pun semakin dekat dan akrab. Beberapa kali mereka saling berkunjung. Hingga tiba saatnya mereka membicarakan hal serius tentang putera-puteri mereka. Tentang pernikahan. Tentang lamaran.

      Jangan membayangkan acara lamaran mewah seperti yang sering ditayangkan di televisi. Yang rumahnya dihias dekorasi mewah cantik dengan jamuan katering mahal. Dipandu MC pula susunan acaranya. Singkatnya, tersusun dan terencana sempurna oleh WO.

      Tidak, tidak, Saudara-saudara. Hal itu tidak akan ditemukan, ya. Lamaran kali ini dilakukan dengan cara sederhana. Cukup keluarga inti yang hadir. Sesuai dengan permintaan keluarga Renata. Maklumlah, rumah mereka kecil, sulit menampung tamu dalam jumlah banyak. Keadaan finansial mereka pun terbatas. Tak perlu memaksakan diri hingga harus hutang sana-sini, hanya untuk terlihat mentereng, kan? Toh yang utama adalah esensi dari lamaran pernikahan tersebut, kan?
Untunglah, alasan itu cukup dimengerti oleh pihak keluarga calon besan.

      Biar saja hal-hal yang berbau besar, megah dan mewah, dilaksanakannya nanti di hari H, saat akad dan resepsi, sesuai permintaan keluarga besan. 

                            ****

      Beberapa hari sebelum acara lamaran dilaksanakan, Renata berkunjung kembali ke kediaman Reza. Saat itu sempat terjadi pembicaraan hangat terdengar antara Reza, Mama dan Papanya. Hangat ke arah panas, tepatnya.

    "Gak mungkin kita diam-diam atau sederhana merayakannya, Za," ucap Bu Dinda saat Reza mengungkapkan niatnya agar pernikahannya tak perlu besar-besaran diadakan. "Relasi bisnis Papa banyak. Teman-teman Mama pun begitu. Juga keluarga besar kita. Belum lagi teman-teman kamu, juga keluarga dari pihak Renata. Jika mereka tidak kita undang, tentulah mereka akan tersinggung. Nanti dibilang sombong kita, tak menghormati mereka atau melupakan mereka. Gak baik lho menyakiti hati orang lain."

    "Iya, Mama kamu benar, Za,"  Papa menambahkan. "Ini acara terakhir buat keluarga kita tapi acara pertama untuk keluarga Renata. Acara penting. Jadi harus spesial."

    "Kamu tenang aja. Tau beres pengantin sih. Biar orang tua yang mengurus semua ini. Sama kayak pernikahan Teh Aurelia dulu."

    "Tapi kita kan belum tau keinginan keluarga Renata, Ma. Kita juga harus dengar keinginan mereka."

    "Gampang, nanti Mama juga akan membicarakan hal ini sama mereka. Pokoknya kamu jangan cerewet deh. Tenang aja. Lihat Renata juga gak secerewet kamu."

      Renata tersenyum canggung.  Bingung antara harus memihak pada calon imamnya atau pada calon mertuanya. Dua-duanya memiliki maksud baik, hanya belum sinkron aja komunikasinya.

    "Mungkin maksud Reza ingin sederhana itu supaya tak merepotkan, Ma. Khawatir Mama sama Papa kecapean dan jatuh sakit, jika terlalu sibuk ngurusin ini."

    "Gak akan capek kok, sayang. Kan ada WO yang ngurus."

    "Renata sih nurut aja gimana baiknya, selama tak merepotkan. Tapi Mama Papa janji, ya harus tetap jaga kesehatan. Jangan capek-capek atau stres gara-gara ngurusin acara kami ini."

    "Emh.... kesayangan Mama." Mama langsung memeluk calon menantunya dengan lembut dan sayang. Renata agak terkejut, tapi kemudian tersenyum dan membalas pelukan hangat calon mertuanya itu.

Desirable Love ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang