59. Q-TIME-NYA REZANTA

735 76 1
                                    

Reza tiduran miring di ranjang. Memperhatikan Si Tengah Berezanata yang menggerak-gerakkan kaki dan tangannya dengan lincah. Dalam posisi tidur telentang begitu, salah satu jagoan tampannya itu tampak menggemaskan. Semakin sehat dan pintar saja.

Lihat saja, bola matanya berbinar. Bergerak ke kiri kanan penuh ekspresi. Mulutnya mengeluarkan suara-suara imut khas bayi. Sesekali diselingi dengan senyuman, tawa lebar, lengkingan atau suara bergetar yang memercikan air liurnya.

"Uluh, uluh, anak Papa pinter banget sih." Reza mendekatkan wajahnya pada Berezanata. Diciummya kedua pipi tembem bayi tampan itu. Dia pun dengan ikhlas penuh bahagia membiarkan wajahnya ditepuk-tepuk tangan mungil bayi itu. "Kakang Bei kok gak bobo? Gak ngantuk? Liat tuh... Teh Aren sama Dek Ceza bobo."

Bayi yang biasa dipanggil Kakang Bei itu kembali berteriak nyaring, seolah menanggapi kalimat Papanya. Kakinya semakin lincah menendang-nendang.

"Oh, Kakang Bei pengen maen sama Papa, ya?" Reza berkomunikasi lagi dengan anaknya. "Ayo kita main. Siapa takut."

Ketika Reza hendak menggendong Berezanata, pintu kamar terbuka. Tampak sesosok cantik muncul dari balik pintu.

"Lho, kok Papa udah pulang?" Renata menghampiri Reza. Mengambil tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan imamnya itu. "Ini kan belum waktunya pulang kerja. Tuh, masih jam satu." lanjutnya sambil melirik jam dinding.

"Iya, tadi izin setengah hari."

"Lho? Kenapa? Sakit?" Renata langsung meraba dahi Reza. Lalu membandingkan suhu tubuh di keningnya. "Hhmm, normal. Gak panas kok."

"Emang Papa gak kenapa-napa, sayang." Reza tertawa kecil melihat kekhawatiran istrinya.

"Terus?" Renata memicingkan mata. Menatap agak tajam dengqn ekspresi curiga. "Jangan bilang pulang setengah hari karena bete, jenuh, atau ka...."

"Suudzon." Reza menyentil dahi istrinya.

"Aww! Sakit, Pa." Renata meringis. Lalu mengusap-usap kening bekas sentilan Reza. Sebenarnya tak terlalu sakit sih, tapi sengaja ia dramatisir supaya seru aja. Hehehe. "Jahat."

"Perasaan nyentilnya pelan. Mama lebay deh."

Renata mencibir. Sebel, karena Reza tak tertipu. Biasanya kalau ia cemberut dan merajuk manja begitu, suaminya akan panik dan merasa bersalah. Lalu merayu minta maaf dan memanjakannya. Tapi sekarang....

"Sebel!"

Reza tertawa. Mulut Renata mengerucut mengemaskan. Wajahnya pun ditekuk jutek.

"Ngambek?" godanya sambil menoel dagu Renata. Lalu mendekatkan wajahnya ke dahi istrinya. "Sini, mana yang sakit?! Papa obatin."

"Au ah!" Renata membuang muka. Menjauh dari Reza. Ia tahu cara apa yang dimaksud sang suami untuk mengobatinya. Biasalah... Menempelkan bibirnya ke bagian yang sakit. Entahlah sang suami nyandu banget mengecupinya.

"Udah sana, balik lagi ke kantor! Jangan mentang-mentang kerja di perusahaan keluarga, seenaknya aja pulang. Gak bertanggung jawab itu, bikin iri karyawan lainnya aja."

Renata memang gak suka jika ia tak disiplin kerja. Dulu aja pas awal-awal Renata melahirkan, ia dicerocosi panjang lebar gegara tidak ngantor hampir dua minggu. Bawelnya melebihi pemain lenong. Padahal kedua orang tuanya santai aja ia tak berangkat kerja selama itu. Memaklumi dirinya yang sedang menikmati peran barunya sebagai ayah. Memaklumi perasaannya yang selalu ingin dekat dengan ketiga buah hatinya.

"Hidup kita ini udah enak banget. Apa-apa disediain Mama Papa. Sandang, pangan, papan berkecukupan banget. Makanya sebagai tanda terima kasih kita ke Mama Papa, Aa kerja yang bener dong. Jangan kelamaan izinnya. Malu." tegur Renata waktu itu. Saat itu Renata masih selang-seling memanggilnya 'Aa' atau 'Papa'.

Desirable Love ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang