disclaimer :
karena, to be honest, aku nggak tenang banget membiarkan ada plothole yang keliatan banget dan cerita yang aku tulis itu nggantung banget, jadi aku nulis lagi untuk mengulas sebuah cerita dari sudut pandang seseorang lainnya yang terlibat.
OH YA. ini 2000an kata, jadi bare with me, semoga ga boring ya huhu. sebenernya 5000an, tapi karena aku tahu bakalan bosen jadi kubagi jadi 3 part. soooo, kalau penasaran tunggu aja ya, udah pasti kok bakalan selesai secepatnya. semoga kali ini aku nggak meninggalkan lubang menganga dalam cerita lagi.
─────retreat : begin again.
dari sudut pandang yang lain.
Dari sekian banyak adik tingkat cewek yang nge-chat gue, nggak pernah sekalipun gue kepikiran buat menspesialkan salah satu dari mereka. Namun, kenyataan mengingkari apa yang gue selama ini kira.
Sana pernah bilang gue itu nggak konsisten kalau dikasih pilihan. Nggak tahu ini relevan atau enggak—tapi gue ngerti ini agak nggak nyambung sama paragraf pertama—tapi gue rasa dia ada benernya.
Pilihan.
Dalam hidup kita selalu harus memilih. Prinsip gue selama ini ya, pilih, kalau salah, jalani konsekuensinya, nanti kalau bisa, pilih alternatif yang lain.
Pilihan yang paling berat yang pernah gue timbang-timbang sampai lebih dari sebulan adalah ajakan Sana buat mencalonkan jadi pasangan Ketua-Wakil BEM FISIP. Walaupun dulu gue pernah menjabat jadi Ketua OSIS, rasanya jadi Ketua BEM itu lumayan berat.
Yah, walaupun jadi juga akhirnya.
Konsekuensi yang harus gue tanggung dari naiknya gue jadi Kabem 2017/2018 ini cukup banyak. Selain tugas kuliah jadi sedikit terbengkelai, gue juga jadi jarang tidur. Gue yakin alesan otak gue mulai miring dikit-dikit itu karena ini. Kurang tidur.
Kemiringan otak gue ini punya peran besar di perjalanan gue jatuh cinta. (OKE INI ROMAN PICISAN ABIS TAPI YAUDAHLAH YA). Saat aturan yang dipegang teguh pengurus inti BEM berbunyi, "Tidak ada satupun pengurus inti BEM FISIP yang boleh menjalin hubungan dengan pengurus inti BEM FISIP yang lain," (yah intinya gini), gue malah ngerasa jantung gue suka lompat-lompat waktu di dekat Sharon Putri. Dan, gue nggak bisa nyalahin perasaan gue. Ini bukan sepenuhnya keinginan gue.
Oke, kembali ke awal cerita—gue nggak pernah menspesialkan adik tingkat (terutama cewek) yang mencoba nge-chat gue atau intinya ngajak gue ngobrol. Entah gimana, gue bisa tahu mana yang nanya-nanya beneran karena penasaran sama apa yang gue lakuin—BEM, kuliah, musik—sama yang nanya-nanya karena naksir.
Bukan sombong, tapi semenjak jadi anak BEM, gue jadi lebih kelihatan keren. Padahal mah b aja anjir.
Oke balik. Gue juga bilang soal diri gue mulai gak bener otaknya. Dan itu yang bikin gue terlanjur. Terlanjur ngapain gue juga nggak ngerti. Terlanjur nanggepin, terlanjur baik, terlanjur seakan-akan gue suka.
Ke tokoh utama dalam ceritanya sendiri, yang gue yakin, gue adalah antagonisnya;
Caitlin Odelia.
─────
Pernah nggak, lo lihat orang saking miripnya sama adek lo rasanya pengin lo kasih perhatian lebih? Iya. Cewek yang ngenalin diri sebagai Alin itu begitu. Cara dia ngomong, cara dia senyum, cara dia ketawa. Mirip Hannah, adik gue.
Bukan. Secara fisik mereka emang beda. Caitlin Odelia itu dingin kelihatannya. Sedang Hannah, lagi diem aja dikira senyum.
Sedari awal gue udah memperingatkan diri gue sendiri untuk jangan memperlakukan cewek itu dengan perlakuan berbeda. Tapi gue gak bisa. Jauh dari keluarga bikin gue kangen setengah mati ke Hannah. Kangen banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
retreat
Fanfictionft. christopher chandra bayuaji ───── "hierarki tertinggi dari move on itu bukan ketika lo berhasil melupakan, tapi ketika lo bisa memperlakukan dia sama seperti lo memperlakukan orang lain--entah itu as strangers atau as your friend. ya, intinya lo...