08

84 16 6
                                    

"You can do this, Caitlin. You can do this." adalah kalimat yang selalu di dengar Caitlin dari guru pianonya saat ia masih kecil. Kata-kata itu memanipulasi benaknya, membuatnya menggunakan akal sehatnya. Memikirkan seluruh perjuangannya lalu bangkit lagi setelah kalah.

Caitlin memandangi foto masa kecilnya. Itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa dari Heidelberg. Kota kelahirannya itu hanya tinggal sepucuk impresi baik tentang Eropa. Lainnya? Yah, Caitlin belum pernah ke negara lain selain Jerman di Eropa.

Bundanya dulu sedang melanjutkan studi spesialisasi kedokteran di sana ketika mengandung Caitlin. Pun ia ikut sang ibu bekerja di sana hingga ia berumur delapan tahun.

Heidelberg adalah kota yang cantik, percayalah. Caitlin mengenal piano dari sana. Bertemu kenalan bundanya kemudian diberi keringanan biaya untuk belajar piano. Bahkan dipinjami piano listrik. Hah, memori-memori bermunculan lagi di kepala Caitlin tanpa diminta.

Sebuah realisasi membuatnya mengecek ponselnya. Ternyata inilah sumber getar di sakunya daritadi. Ia menekan tombol hijau.

"Apaan, Lik?"

Orang di seberang menggerutu. Caitlin terkekeh.

"Udah gue bilang jangan panggil Kelik!"

"Iya, iya. Santai, santai,"

"Gue santai kalau lo gak panggil gue Kelik, astaga. Itu nama paling arghhhh,"

"Hahahahahahahhaha, iye boi, santuy," ujar Caitlin, tersenyum simpul ketika pandangnya bertemu dengan cermin.

"Udah siap belum, lo?"

"Udah, meng. Sabar. Gue baru mau keluar kamar kosan,"

"Ye lu janjian jam 4 baru berangkat jam 3. Traffic coy ini,"

"Iyee iyee gue naik jet," tutur Caitlin woles seraya memakai sandalnya.

Hari ini Caitlin dan kedua sahabat ciliknya akan hangout. Sesuatu yang benar-benar jarang terjadi. Amat sangat jarang terjadi.

Gadis yang kali ini hanya memakai kaus hitam dan celana kain abu biasa itu sedang menggerak-gerakkan kakinya gelisah. Bus yang ditunggu-tunggu agak lama datangnya. Yah, salahnya juga sih. Caitlin sampai sangsi sendiri ketika ia lolos seleksi jurusan Hubungan Internasional. Sarjana prokrastinasi lebih cocok ia sandang nanti saat dirinya wisuda.

Akhirnya, karena tidak lekas datang, Caitlin memesan ojek online. Ia lebih baik mengeluarkan kocek agak lebih daripada tidak bertemu kedua kawannya itu. Oh, pengorbanan tambahan: panas-panasan. Pengorbanan macam apa ini...

"Atas nama Caitlin ya, Kak?" tanya drivernya memastikan.

"Iya. Ke kafe A ya, Pak,"

Yak. Meluncuuur.

***

Benar kata kawannya. Jalanan macet. Tapi untung saja driver ojolnya ini handal mencari jalan alternatif sehingga Caitlin sampai di tempat benar-benar tepat waktu. Pukul empat, tidak lebih atau kurang.

Caitlin berjalan agak tergesa ke meja favorit mereka dulu waktu masih menjadi mahasiswa baru, masih gemar nongkrong. Kebetulan mereka bertiga diterima di kampus yang sama, hanya berbeda jurusan saja.

"Lia!" panggil seorang perempuan ketika dirinya sampai di meja nomor 15.

"Tika! Ya ampun gue kangen!" seru Caitlin memeluk sahabatnya.

retreatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang