Benar ada sebuah lagu yang menceritakan sedikitnya kebenaran tentang hidup Caitlin Odelia. Rumpang, itu judulnya.
Katanya mimpiku 'kan terwujud
Betul. Katanya saja. Karena, mimpi yang mana yang Caitlin harapkan untuk terwujud? Ketika terlalu banyak mimpi yang mendatanginya tiap malam ia terlelap?
Mereka lupa tentang mimpi buruk
Tepat. Caitlin memejamkan mata. Mereka lupa tentang bagaimana mimpi-mimpi buruk mengetuk dan kemudian seluruh badannya tak dapat ia gerakkan.
Tentang kata "Maaf, sayang aku harus pergi,"
Apa definisi dari sebuah mimpi? Ranting-ranting yang bercabang, menyeruak di dalam tidur? Ataukah ekspektasi-ekspektasi dan cita-cita yang diangan-angankan tercapai?
Sebelum tidur Caitlin selalu berdoa. Doa-doa yang terlalu banyak pinta. Agar hidupnya tenang sampai ia tidak ada lagi, agar bahagia menyapa dalam waktu dekat, agar kegegabahannya tidak menimpa siapapun selain dirinya sendiri, agar dirinya senantiasa tabah dalam menghadapi secuil simulasi kehidupan.
Setiap ia menangis, bundanya dulu selalu berkata, "Jangan nangis ya, Caitlin? Nanti Bunda ikut nangis,"
Tanpa ia menyadarinya, hal-hal kecil seperti ini memanipulasi untaian ingatannya. Bundanya sudah terlalu banyak tengkar dan tangis, Caitlin harus kuat.
"Jangan nangis, jangan nangis, jangan nangis. Nanti aja waktu gak ada yang lihat,"
Begitu terus, berulang. Bahkan ketika kadar sedihnya sudah mencapai puncaknya. Malam itu ketika semuanya jadi titik maksimum grafik hidupnya. Ketika dirinya mengira ia tak akan menemukan titik minimumnya.
"Lin?" seseorang memanggilnya, menyadarkannya.
"Hah?" Caitlin mengerjap. Di depannya sudah ada Ketua BEM yang beberapa hari ini mengisi ruang kosong otaknya, membuat Caitlin sibuk berpikir.
"Ayo. Mau nonton teater, 'kan, lo?"
Oh.
Caitlin beranjak dari duduknya dan berujar jahil, "Gue kira lo bercanda. Kan Kabem sibuk, harusnya."
"Bener. Tapi gak selamanya gue harus semedi di ruang rapat,"
Senyum Caitlin tersungging. Hampir mirip seperti kata-kata seseorang ya? Ah, Caitlin.
"Gue denger-denger, mau ada demo?" Caitlin bertanya ketika mereka sudah di dalam mobil Kabem kesayangan kita semua ini, memancing topik-topik konversasi lain.
Diskusi politik sepertinya agak panjang mereka bahas. Caitlin tahu dengan begini, tidak akan terlalu banyak memunculkan canggung.
"Eh, omong-omong soal stalker itu. Menurut lo, apa yang membuat dia nguntit lo?" tanya Ketua BEM itu tiba-tiba.
Caitlin menyenderkan punggungnya, mengingat-ingat sejenak.
"Waktu ospek kampus, gue kedapetan kelompok sama dia,"
***
"Socrates ke sini!"
Caitlin menilik kartu kelompoknya. Socrates. Ia mengedarkan pandangan ke asal suara yang menyebutkan nama filsuf itu.
"Socrates! Kurang satu!"
Gadis berkemeja putih khas ospek itu berusaha membelah lautan manusia di depannya. "Permisi, Kak. Permisi,"
"Caitlin? Gue Farrel. Ketua kelompok lo," sambut seorang laki-laki ketika ia sampai di tempatnya.
"Kok udah milih ketua sebelum gue gabung?" tanya Caitlin basa-basi. "Seharusnya gue dilibatkan dong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
retreat
Fanfictionft. christopher chandra bayuaji ───── "hierarki tertinggi dari move on itu bukan ketika lo berhasil melupakan, tapi ketika lo bisa memperlakukan dia sama seperti lo memperlakukan orang lain--entah itu as strangers atau as your friend. ya, intinya lo...