07

103 18 21
                                    

Law of attraction, sebuah teori yang mengatakan bahwa semua hal positif yang kamu bayangkan terus-menerus akan menjadi kenyataan. Caitlin percaya betul akan hal itu.

Dulu, tepatnya ketika ia menginjak semester dua kelas sebelas, ia tidak bisa tidur tiap malam. Mimpi buruk, rasa takut, rasa bersalah, semuanya menjadi satu. Ketika ia bebaring berniat untuk tidur, kakinya terasa dingin, ia selalu melihat ke arah lemari--tepatnya di atasnya. Rasa takut itu menyergap, lagi dan lagi.

Namun kini, usai ia berkata pada diri sendiri, "Gue bisa, gue bisa, gue bisa," akhirnya tidur juga. Malah, tidur adalah hobi utama Caitlin sekarang ini. Tidur membantunya melupakan beban perasaan tidak diperlukan. Yah, contohnya si mantan. Payah.

"Kalau gue balik Jogja, lo mau ikut gak?" tanya Katy, ia tengkurap menonton film di laptop Caitlin.

"Kalau gak ada kegiatan," jawab Caitlin, masih memandangi langit-langit. "Lo kan juga BEM?"

"Iya ya. Gue kangen rumah,"

Caitlin terkekeh. "Dulu yang ngebet pingin ke sini siapa?"

Katy menoleh, merengut. "Gue,"

"Nikmatin aja, Kat. Tar juga lewat," ujar Caitlin sok bijak.

Katy sekadar mengiyakan lalu fokus ke filmnya lagi. Caitlin memainkan cincin di jari telunjuknya, sedang mengenang.

"Lin," Katy membuka suara.

"Hm?"

"Apa yang bakalan lo lakuin sekarang seandainya penyesalan terbesar lo gak terjadi?"

Caitlin tertawa sebentar lalu berkata, "Filosofis banget lo,"

Katy berdeham. "Gue serius,"

Caitlin menatap jam dinding. Melihat jarumnya. Reminisensi sialan itu.

"Gue gak akan ketemu lo. Kalau iya mungkin sekadar tahu. Gue bakalan ada di bidang kesehatan sih,"

"Oh..."

Caitlin tahu Katy tidak suka merasa bersalah. Jadi dia melanjutkan, "Lo tahu kenapa dan gue baik-baik aja,"

Omong-omong, Katy malam ini menginap di kamar kos Caitlin. Katanya dirinya sedang ketakutan sehabis menonton film horor dengan pacarnya tadi siang. Dasar. Sekadar informasi, kamar kos Caitlin hanya berada tepat di bawah kamar kos Katy. Jadi... yah, tinggal turun tangga saja.

"Lin lin lin lin," Katy mencolek-colek lengan Caitlin.

"Apaan, Jing?"

"Kasar lo sama gue. Tidak tahukah kamu seberapa hancur hatiku?"

Caitlin melempar bantalnya. Dirinya yang sedang berusaha untuk konsentrasi membaca paper lewat ponsel--sambil rebahan tentu saja--jadi buyar akibat ulah sahabatnya ini.

"Gue pernah kenalan sama keluarga lo gak sih?" Caitlin bertanya tiba-tiba.

"Pernah. Kenapa?"

"Nama kembaran lo Ivan Haidar bukan?" tanya Caitlin memandangi ponselnya.

"Iya. Kenapa, sih? Jangan bilang lo naksir dia?"

"Yang ada dia," tukas Caitlin sebal. "Nih, tiba-tiba DM gue,"

"DM apa?"

"Dia tanya, 'Lin, lo kok egois sih?' Terus gue jawab, 'Hah' karena gue bingung. Eh dia bilang, 'Orang tua lo manusia, kok elonya bidadari?'. Fix ini lo yang ngajarin. Kakak adek gak ada rem mulutnya,"

Katy mengerjap. "Apa gara-gara dia gue tinggal, dia jadi tertekan terus jadi gila gini? Ini masalah gawat, Lin,"

"Gak. Ini bukan masalah gawat," sanggah Caitlin. "Elo yang gawat. Lo yang ngajarin, 'kan? Ngaku lo!"

retreatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang