balik balik balik ini double update
***
Caitlin Odelia berusaha menenangkan dirinya. Tangannya tremor. Ia terduduk di bangku besi rumah sakit dengan sangat gelisah. Bajunya agak berdarah karena memegangi tangan sahabatnya.
Sejujurnya, Caitlin takut. Takut sekali apabila kejadian di masa lalunya terjadi lagi, meninggalkannya dengan segenap rasa bersalah dan rasa kesepian. Ia tanpa sadar mencukil-cukil lipatan kuku telunjuknya yang bertengger manis cincin emas bundanya, sebagai bentuk pertahanan diri dari cemas. Darah segar keluar namun Caitlin tak kunjung menyadarinya.
Ia tadi sudah menelepon Calvin Antares dan kedua orangtua Tika. Caitlin, dalam hatinya, takut kalau-kalau memang ia yang harus disalahkan di kejadian ini. Takut kalau-kalau ia tidak dapat melihat wajah sahabat kecilnya lagi.
Operasi sudah disetujui. Orangtua Tika tidak datang. Hah, Caitlin mendesah pasrah. Sibuk mereka sama saja dengan sibuk Tika akhir-akhir ini.
Atau ini sumber utama kegelisahan lo, Tik?
Caitlin berkali-kali menelepon laki-laki yang kerap ia panggil Ares itu. Ia bukannya ingin membuat sahabatnya itu tergesa-gesa. Ia hanya takut.
"Jangan gitu. Nanti gue nangis, bangsat,"
Bentuk pertahanan diri tiap-tiap orang berbeda-beda. Calvin Antares jarang menangis, Caitlin tahu. Namun, ia juga menyadari betapa Tika sangat berarti untuk sahabat laki-lakinya itu.
Caitlin, lo gak boleh nangis dulu. Calvin belum kelihatan. Ayo, lo orang yang kuat.
"You can do this, Caitlin," ujarnya sembari mengusap pelan kepalanya sendiri. "You can do this,"
Dalam diam, Caitlin mendengar derap langkah manusia. Ia teringat... Bunda.
Caitlin menoleh ke sumber suara. Ia menangkap siluet entitas yang kerap ia panggil Ares itu berlari menuju ke arahnya. Di belakangnya ada tiga orang lagi--entah siapa.
"Lia,"
Wajah laki-laki di hadapannya sembab. Ia pasti juga takut. Tika bukan sekadar sahabat untuknya. Caitlin menghampirinya dan memeluknya, berusaha menenangkan. Caitlin sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang sedang ia tenangkan; Calvin Antares atau dirinya sendiri?
Caitlin memejamkan mata, membendung semua air matanya. Ia tidak mau sahabatnya semakin menangis.
Caitlin mengusap punggung pemuda itu pelan. Sekalian membayangkan punggungnya sendiri diusap oleh sang ibunda. Hah, air mata.
Laki-laki di pelukannya terdiam. Ia mulai bisa mengatur napasnya. Caitlin merasakan pelukannya mengendur. Perempuan itu membuka pejaman matanya.
"Duduk, Res," ucap Caitlin, memandang tepat di manik mata sahabatnya itu. "Tika bakalan baik-baik aja,"
Ia mengangguk, menuruti kata-kata Caitlin.
Kontak mata terputus. Caitlin mengubah arah matanya ke depan. Di situlah, sangat tidak tepat waktu sekali, Caitlin bertemu pandang dengan seseorang itu. Mantan pacarnya? Iya. Tidak ada yang berubah dari manusia yang pernah mengisi hatinya itu selain rambutnya yang sudah dipotong rapi.
Caitlin ingin sekali mengucapkan sepatah dua patah kata, sebagai sapa lama tak jumpa. Ingin memberitahu sedikit bahwa dirinya kesulitan melupakannya, bahkan sudah berbulan-bulan ini.
.
.Wah, udah lama ya kita gak debat panjang lebar tentang ini itu. Saling sapa aja rasanya canggung. Iya, kan, Kak Bayu?
KAMU SEDANG MEMBACA
retreat
Fanfictionft. christopher chandra bayuaji ───── "hierarki tertinggi dari move on itu bukan ketika lo berhasil melupakan, tapi ketika lo bisa memperlakukan dia sama seperti lo memperlakukan orang lain--entah itu as strangers atau as your friend. ya, intinya lo...