01

384 37 7
                                    

Sudah hari ke dua puluh semenjak putusnya Caitlin dengan si mantan pacar. Hampa sih tidak, sedih juga sudah tidak terlalu. Tapi ia rasa masih banyak tangan-tangan mencekal batinnya untuk bangkit. Ia mulai lelah padahal semester tiga kuliahnya belum dimulai.

"Li, lo ambil yoghurt gue ya!?"

Ada kepala menyembul di balik pintu kamarnya. Wajah kakak laki-lakinya itu terlihat kesal karena perbuatan adiknya yang menurut asumsinya mengambil minuman favoritnya itu. Laki-laki itu memasuki kamar Caitlin dan menyodorkan ember yoghurtnya yang habis separuh.

"Mana ada gue ambil yoghurt lo. Yang ada lo yang ambil punya gue anjir. Semalem kan temen lo pada ke sini? Gue malah gak di rumah tong!" bentak sang adik ikutan emosi--sedikit. "Pergi lu ah, jangan ganggu gue!"

Kakaknya menghela napas, kalah. "Dah, kalem. Gue lagi gak mood berantem sama lo,"

"Lo yang mulai ya!" Caitlin melempar bantal ke kakaknya yang tak kunjung pergi.

"Astaga Lia!"

Yang dipanggil Lia itu bangun dari kursi pianonya dan mendorong kakaknya keluar dari kamarnya.

"Lo tuh berisik banget tau ga? Jangan ganggu dulu gue lagi latihan mau resital!"

"Dengerin gue ya, Odelia-yang-kata-temennya-ceria-terus, lo tuh jelek banget kalo lagi ngambek gini, pantesan putus,"

Kelewatan.

"BERISIK!" Caitlin membanting pintu karena kesal.

Gadis yang sedang cemberut itu berjalan dan mendudukkan diri di bangku empuk dekat jendela. Angin sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambutnya yang ia gerai. Ia melongok ke pekarangan rumahnya. Tempat itu menjadi saksi kali pertama dan terakhirnya memeluk kekasihnya.

"Hahhhh," Caitlin menghembuskan napas panjang. "Rasanya juga ga kaya pacaran saat itu. Makanya lo minta putus. Apa jangan-jangan lo mulai nyesel. Iya, 'kan, Lin, lo nyesel kan? Ngaku gak lo, Sialan!?" monolognya.

Terkadang, Caitlin akui, bayangan sosok mantan pacarnya ini masih sering berkelebat di dalam rongga pikirannya. Apalagi masa-masa pra resital--seperti saat ini--ketika laki-laki itu sering sekali menyempatkan diri mengantarnya pulang latihan di tengah jadwalnya yang padat.

Ah, memorinya menelisik sampai ke akarnya sekali lagi. Tepatnya menyusuri lorong-lorong Gedung Rachmaninoff 1, di dekat cafetaria, ketika seseorang sedang bersender di dinding berhighlight tulisan 'One good thing about music, when it hits you, you feel no pain'. Ia sedang merapatkan jaket hitamnya ketika seorang gadis melambai padanya sambil berlari kecil.

Suara kenop pintu yang dibuka membuyarkan gelembung-gelembung ingatan tidak pentingnya. Anjingnya sekonyong-konyong masuk dan bergelung di bangku yang sama dengannya, sesekali melongok ke pelataran juga. Kakak laki-lakinya yang mengikuti si anjing serigala memilih merebahkan tubuhnya di kasur sang adik.

"Gue ga butuh komen lo," ucap Caitlin sebelum kakaknya mengatakan sesuatu.

"Siapa juga yang mau ngomong sama lo?"

Caitlin memutar bola matanya. "Ngapain ke sini?"

"Bubby yang mau. Gue cuma ngikutin dia,"

"Boong. Cepetan mau apa?"

Hening sebentar. Matahari yang tertutupi awan membuat suasana semakin... menyedihkan.

"Gue minggu depan pulang," ujar lelaki itu. "Lo udah balik kosan, 'kan?"

Caitlin diam saja, memandangi semak liar berbunga putih yang tumbuh sembarangan dekat jendelanya. Sekuat tenaga ia menahan guratan sedih.

"Iya, gue udah balik hari Sabtu. Berarti Bubble lo bawa juga?"

retreatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang