02

207 29 16
                                    

Jadwal kuliah hari ini padat. Setidaknya itu pikiran Caitlin. Organisasi juga menunggunya untuk menyerahkan proposal proker malam ini. Wah, parah. Untung tidak ada resital bulan ini.

Ah, Caitlin jadi teringat. Sudah berjarak tiga bulan sejak kejadian putusnya dengan si dia. Caitlin sering merutuk dalam hati apabila mereka berpapasan dan secara tidak sadar dirinya memuji Sang Mantan Pacar dengan sebutan,

"Ganteng banget,"

Di dalam hati, tenang.

Menurut Caitlin, gagal move on dari mantan pacar yang begitu bentuknya memang susah. Tantangan berat, itu kata Katy, teman baiknya.

"Lin," panggil seseorang. Caitlin mendongakkan wajahnya.

Dapat dilihat olehnya entitas berkemeja putih, berambut pendek, berhati mulia, bersahaja--bodoh. Caitlin mendapati teman baiknya tergesa-gesa menghampirinya. Kawannya satu itu mendudukkan diri di selasar penuh manusia-manusia Hubungan Internasional, tepat di sampingnya.

"Apaan?" tanya Caitlin memandang malas sahabatnya. Ini pasti mau gosip.

"Anjir, masa bea cukai rokok naik?"

"Hah? Serius?"

Obrolan gosip dimulai. Biasanya dengan begini, orang-orang akan merapat, mendengar lalu mendebat, kemudian berkenalan. Relasi baru, teman baru. Katy suka, Caitlin... yah biasa saja. Well, begitulah. Namanya juga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Budaya menggosip politik tidak pernah sunyi.

Asyik diskusi, Caitlin tiba-tiba merasa rusuk sebelah kirinya disikut. Ia mengaduh tentu saja, bertekad memprotes siapapun yang melakukannya. Dia menoleh ke sisi kirinya dan bukannya melancarkan aksi mendamprat Katy, Caitlin malah membatu.

Anjing.

Ia melihat sosok mantannya berjalan melewati selasar dan duduk di bangku-bangku pengkolan HI. Caitlin memejamkan matanya sebentar, meredakan emosinya ke Katy.

"Peace, bro," itu ucapan Katy setelah Caitlin membuka matanya, menatap sahabatnya ini dengan nyalang.

"Ah, bodo amat. Gue mau ngantin," putus Caitlin sebal.

"Yok dah, gue temenin," ujar Katy semangat, ia memang lapar daritadi.

Belum Caitlin dan Katy berdiri dengan benar, seseorang menyela.

"Kak, kalo boleh tahu, nama Kakak siapa ya?"

Caitlin tidak mengacuhkannya. Biasanya Katy yang ditanya begini.

"Gue Katy. Lo siapa?"

Percakapan penuh nostalgia. Sepertinya adik tingkatnya ini berdomisili sama dengan Katy--gadis itu sungguhan tersenyum lebar seperti orang gila.

"Kalau kakak yang ini?"

Gadis pemain piano berblouse hitam itu terperanjat. "Gue?"

Adik tingkatnya mengangguk, tersenyum manis.

"Oh. Gue Caitlin. Biasanya dipanggil Alin, sih. Soalnya kalo Caitlin saat gue dipanggil Katy yang noleh, kan berabe,"

"Ahahahahahhaha, bener juga," si mahasiswa baru itu memberi tawa paling manisnya, terlihat sudah beradaptasi dengan lingkungan barunya.

"Semangat ya! Hubungi gue aja kalo ada perlu," Katy akhirnya memutus kontak dengan menyeret Caitlin ke kantin--dengan sangat senang.

"Ah, akhirnya gue nemu yang se-dom, woiii," Katy memulai membahas perkara dengan suaranya yang khas sembari mengantri di kios Bu Septa.

retreatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang