27. Lie

335 21 18
                                    

"Pak Juna, saya mohon, jangan tiba-tiba memutus kerjasama dengan perusahaan saya seperti ini. Masalah kemarin adalah masalah pribadi, Pak."

"Udah? Kalo udah silahkan pergi." ucap Jun songong.

"Seharusnya Anda profesional, jangan mencampurkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Saya bisa melaporkan Anda."

Jun menghela napas panjang sebelum ia menjawab ucapan orang di depannya ini yang tak lain adalah Pak Ganda. Ayah Ditta.

"Laporan atas dasar apa? Saya gak takut ya. Saya juga bisa laporin anak Anda kapanpun karena bukti saya lengkap. Btw, semua ini keputusan Ayah saya. Kalo mau protes silahkan pada Ayah saya. Karena beliau yang berwenang."

Wajah Ganda seketika berubah takut dan cemas. Ia pun kini mencoba memasang tampang melas dan mengalihkan pembicaraaan.

"Saya sangat sangat memohon Pak, tolong bicarakan lagi dengan Ayah Anda. Kerjasama ini sangat berpengaruh besar pada perusahaa saya. Saya janji akan mencari tahu apakah benar anak saya yang melakukan kekerasa pada adik anda."

"Saya sudah bilang, kalau saya punya bukti." Lagi, Jun menghela napas.
"Gini aja. Kalau Bapak mau percaya sama saya tentang kelakuan anak Bapak terhadap adik saya, dan berjanji akan menindaklanjutinya, akan saya bicarakan lagi dengan Ayah saya. Tapi kalo masih ngotot bela anaknya terus, yaudah bye."

"Iya, Pak. Saya percaya, dan saya janji akan menindaklanjuti anak saya. Tapi tolong, jangan putuskan kerjasama ini. Saya akan mengalami kerugian besar."

"Deal. Sekarang pergi." usir Jun tanpa sopan santun.

"Terima kasih." ucap Ganda setelah itu pergi dari ruangan Jun berada.

Sejam yang lalu, Yoga, Ayah dari Jerry pun datang menemui Jun dan melakukan hal yang sama.

"Ujung-ujungnya duit juga kan yang dipilih, daripada bela anaknya. Wkwkwk." monolog Jun tertawa jahat.

*******

Plak!

"Bikin malu kamu! Gara-gara kamu perusahaan Papa terancam!"

Ditta terkejut setelah satu tamparan mendarat di pipinya.

"Pa! Ditta salah apa?" tanya Ditta marah sambil menatap Ayahnya. Meski agak takut, tapi ia mencoba berani.

"Gak usah belaga gak tau!"

Baru saja tangan Ganda terangkat ingin memberi anaknya satu pelajaran lagi, Mama nya Ditta lebih dulu menahan dan pasang badan untuk anaknya.

"Pa! Kalo mau tampar, tampar Mama, jangan Ditta." ucap Mama Ditta melindungi anaknya.

"Ditta yang salah, jadi dia yang harus menerima hukuman. Mama minggir." ucap Ganda datar.

"Emang Ditta ngelakuin apa? Separah apa?"

"Tanya sama anakmu!" jawab Ganda masih diselimuti emosi.

"Ditta?"

Ditta hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

"Dia udah bikin anak orang masuk rumah sakit. Anak itu adalah anak dari pemilik perusahaan yang dari awal udah membantu perusahaan Papa. Cari mati namanya kalo bikin masalah."

"Pa! Ditta gak tau kalo dia anak dari kolega Papa."

"Ditta? Keterlaluan kamu! Kalaupun dia bukan anak kolega Papa, kamu gak boleh mencelakai siapapun! Mama kecewa sama kamu." kini Mama Ditta yang berubah pikiran.

"Ma, maaf. Maafin Ditta. Ditta gak tahu bakalan parah."

"Minta maaf sama anak itu. Kalo enggak, Kakaknya bakalan lapor polisi."

Setelah itu Ganda pergi dari sana.

Ditta kemudian memeluk Mamanya sambil menangis.

Gue gak akan mau kalah, sama lo bocah tengil.- Ditta

*****

"Mama tadi kesini, gak?" tanya Arga yang baru saja memasuki kamar rawat Aryn.

"Iya. Tapi cuma bentar banget." jawab Aryn melas.

Arga hanya menganggukan kepalanya kemudian duduk kursi samping ranjang Aryn.

"Kakak capek, ya?"

"Lumayan." jawab Arga lemas sambil meletakkan kepalanya di samping tangan Aryn.

"Pulang aja deh, istirahat di rumah."

"Capek gue ilang kok kalo liat lo."

"Idih dih, mau muntah gue rasanya." Aryn tertawa geli mendengar ucapan Arga baru saja.

Arga mengangkat kepalanya setelah beberapa saat ia letakkan karena lelah.

"Sakit lagi?" tanya Arga saat melihat Aryn meringis.

"Emm, dikit kok, dikit banget. Kata Dokternya emang wajar kalo masih agak nyeri-nyeri sesekali."

"Sini." tangan Arga terulur mengelus kepala Aryn. Itulah yang sering Arga lakukan dan Aryn menyukainya. Aryn pun merasa nyaman dengan itu.

Ting.

Ponsel Arga berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Ia mengambil ponselnya dari saku kemeja.

Raut wajah Arga langsung berubah kusut saat melihat pesan yang baru saja masuk. Ia pun tak menghiraukannya, kemudian memasukkan kenbali ponselnya.

Ting.

Ting.

Ting.

"Berisik deh, bales dulu itu Kak."

Dengan berat hati Arga mengambil ponselnya kembali. Kemudian membuka isi pesan itu. Jika saja Arga mengatakan siapa yang mengiriminya pesan, ia yakin kalau Aryn akan kembali mem-block akun whatsapp nya (lagi). Dan tentu saja tidak akan membiarkan Arga membalasnya.

dita

sibuk. ga?
1.15 pm

ga?
bls dong.
plis.
1.16 pm

knp?
1.16 pm

jemput gue dong. gue lagi di cafe deket kampus.
1.17 pm

g bisa
1.17 pm

lo harus bisa. atau, foto nya gue kasih ke aryn
1.18 pm

Arga mendengus kasar. Kesal dengan situasi ini.

"Kakak capek banget ya? Sampe buang napas nya kasar gitu."

"Eh, iya deh kayanya."

"Yaudah sana pulang aja. Hidup Kak Arga bukan cuma harus sama aku." ucap Aryn pada Arga karena merasa tidak enak jika Arga terus-terusan disampingnya yang hanya akan merepotkan cowok.itu.

Arga menatap Aryn, ia kini malah merasa tidak enak karena harus bohong.
"Sorry ya."

"Ihh enggak. Gak salah kok minta maaf. Lagian juga aku udah gak papa, nanti sore, kalo gak besok mau minta pulang."

"Emang udah boleh?"

"Gak tau sih. Semoga udah lah."

"Aamiin. Yaudah, gue pergi dulu. Telpon kalo ada apa-apa." ucap Arga sembari berdiri. Tak lupa tangannya mengelus kepala Aryn.

"Oke."

Arga pamitan, kemudian meninggalkan Aryn.

.
.
.
.
.
.
.
.

halooo..

btw aku gak nyangka bgt sih ternyata bakalan ada yang nunggu cerita ini. komenin juga😊 intinya makasihh buat yg udh mau baca, komen dan vote cerita ini. mau semangatin aku jg. jadi terhuraaa T_T

walaupun aku update gak jelas waktunya, karena pekerjaan guys😄 gomenasai. pkonya luv u all...

see yaa❤

My Swagger BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang