Halaman Ketujuh

2.5K 382 120
                                    

Malam harinya, di saat semua orang tertidur lelap di atas kasur mereka dengan di selimuti oleh selimut hangat yang tampak menggoda. Berbeda dengan apa yang terjadi di gubuk tua kepunyaan Alaska.

Suara hujan di iringi petir yang menggelegar membuat Alaska tak bisa menutup matanya barang sekejap. Perhatian laki-laki muda itu hanya tertuju pada ember hitam, tengah menadahkan air yang jatuh dari atap gubuk mereka yang bocor.

Rasa dingin menerpa kulit tangannya yang tidak terbalut apapun. Alaska malam ini hanya menggunakan kaos pendek putih dengan celana pendek berwarna coklat, pakaiannya sangat tidak cocok sekali dengan suasana malam yang dingin dan mencekam.

Selimut satu-satunya yang mereka miliki di kuasai oleh Angkasa yang telah tertidur beberapa jam yang lalu. Sengaja. Alaska hanya ingin putranya tetap merasa hangat, sehingga ia membiarkan tubuhnya kedinginan ketimbang putranya yang merasa tak nyaman dengan suasana malam ini.

Helaan nafas yang keluar dari Alaska adalah sebagai bentuk ia mengeluarkan rasa lelah yang selama ini ia rasakan. Beban yang ia pikul di pundaknya, tidak main-main beratnya. Terbiasa hidup mewah sejak kecil, jujur saja saat ia di hadapkan dengan hidupnya sekarang yang memiliki banyak sekali kekurangan tak jarang membuat ia kewalahan dan kata menyerah selalu menghinggapi pikiran Alaska.

Dalam hati nya ia masih merasa kesulitan beradaptasi dengan kehidupannya yang sekarang meskipun waktu sudah sembilan tahun berlalu. Sekalipun dari kecil ia bodoh dan tidak mampu menyerap pelajaran bahkan sering di banding-bandingkan dengan kedua saudaranya yang lain, tapi untuk materi Alaska tidak pernah merasa kurang. Ia selalu puas ketika kedua orang tuanya pulang dari perjalanan bisnis mereka baik di luar negeri maupun kota pasti mereka akan membelikan Alaska barang-barang yang harganya bukan main mahalnya. Apa yang ia inginkan, pasti selalu ia dapatkan dengan segera. Tapi itu dulu.

Kontras sekali dengan sekarang, ia harus bekerja keras untuk memenuhi kehidupannya dan sang putra. Terkadang ia juga harus menahan keinginannya untuk membeli sesuatu.

Andai ia bisa memilih dan bertindak egois, ia ingin menyerah dan kembali ke kehidupannya dulu yang penuh akan kata mewah.

Andai ia sedang tidak bersandiwara di hadapan dunia, maka senyuman yang selalu ia lukiskan nyatanya hanyalah senyuman kosong tanpa makna.

Andai ia punya pilihan untuk menyerah, maka sudah sedari dulu ia menyerah.

Jika ada yang bertanya, apakah Alaska pernah menyesali kehadiran Angkasa? Maka jawabannya 'iya'

Iya, dulu sekali saat keegoisan menguasainya ia pernah menyesali kehadiran Angkasa dalam hidupnya. Bahkan ia mengatakannya dengan lantang tepat di hadapan Angkasa kecil yang waktu itu masih berusia lima tahun.

Tapi sekali lagi itu dulu, saat ia tidak dapat mengendalikan amarahnya.

Jika sekarang, ia sangat mensyukuri kehadiran putra semata wayangnya. Karena berkat kehadiran putra tampan nya itu Alaska bisa sekuat sekarang. Menjalani hidup yang semula tanpa tujuan kini memiliki arah kemana ia harus bernaung dan pulang.

Lagi, Alaska menghela nafas. Tangannya terasa membeku karena rasa dingin yang semakin menusuk kulitnya. Matanya pun bahkan enggan di ajak untuk terpejam.

Maka dari itu, Alaska pun bangkit dari duduknya. Laki-laki itu hendak menyalakan api di tungku guna mengurangi rasa dingin di gubuk tuanya. Namun, tertahan saat manik miliknya tak sengaja menatap tubuh putranya yang bergetar.

Ia berjongkok tepat di hadapan putranya yang membelakanginya, kemudian menggoyang tubuh kecil itu pelan.

"Hey... nak. Kenapa? Mimpi buruk ya?" bisik Alaska di samping telinga Angkasa. Bulir keringat terlihat membasahi rambut putranya yang menutupi kening. Dan Alaska pun dengan segera menyingkirkan rambut itu agar tidak menyentuh mata putranya, tapi gerakannya berhenti seketika saat merasakan panas seolah membakar telapak tangan dingin Alaska.

My Son 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang