Alaska meremas kedua tangannya yang sudah di banjiri keringat dingin. Manik Alaska terlihat tidak fokus, sesekali juga pemuda berusia duapuluh lima tahun itu menggigit bibir bawahnya. Dan sesekali pula Alaska membuang nafas lantas mengeluarkannya secara pelan berharap dapat menetralisirkan rasa terkejutnya beberapa saat yang lalu.
Setelah Alaska yakin bahwa ia dapat mengendalikan dirinya agar tidak menerjang punggung kokoh di depannya dengan pelukan sarat akan kerinduan. Kini Alaska berusaha memaksakan sebuah senyuman, Kala netranya melihat senyum lebar Roni kepada kakak pertamanya. Ya.. tanpa melihat wajah pemilik punggung kokoh berlapis jas exclusive itu, Alaska sangat yakin bahwa laki-laki yang memunggunginya adalah Ben.
"Pa." melihat keterdiaman Papanya. Angkasa pun berinisiatif menarik ujung kaos putih Alaska sekedar merebut atensi Alaska agar menatapnya.
"Ahh.. Iya Kenapa Kas?." Tanya Alaska sembari menundukkan kepalanya menatap paras tampan sang putra.
Angkasa memberenggut kesal, pasti tadi Papanya tengah memikirkan sesuatu. Sehingga lupa bahwa tujuan mereka sekarang adalah pulang ke Rumah ahh.. Ralat gubuk yang terbuat dari kardus miliknya dan papanya.
"Katanya mau pulang, ayok!! Papa lagi ngeliatin apa sih." Angkasa hendak menoleh pada sumber perhatian Alaska tadi. Namun, gerakannya kalah cepat dengan tangan Alaska yang menarik tangannya lembut.
"Tadi Papa liat burung jatuh, maunya sih Papa tolongin tapi Papa ga tau burung itu jatuh di sebelah mana." alasan yang di berikan Alaska terdengar sangat tidak masuk akal. karena setau Angkasa sedari tadi ia tidak melihat segerombolan atau satu ekor burung yang terbang di langit yang begitu cerah siang ini. Tapi, Angkasa tidak ingin ambil pusing. Jadi yang ia lakukan hanya mengangguk, seolah membenarkan alasan yang di berikan papanya. Padahal di sudut hatinya yang terdalam, ia ingin sekali menengok kebelakang. Sekiranya melihat apa yang terjadi di belakang sana sehingga membuat papanya tampan tegang tadi.
"Oh ya.. Besok tanggal merah, sekolah Kasa libur kan?." tanya Alaska memecah keheningan yang sempat terjadi sepanjang mereka berdua menapaki pinggir jalan yang begitu lengang.
Angkasa terdiam sebentar, mengingat-ngingat besok hari apa, serta apakah besok tanggal merah atau tidak? "Iya gitu besok tanggal merah pa?." Tanya Angkasa terdengar tak yakin.
Alaska terkekeh lembut. Tangan kanannya ia gunakan mengelus surai Angkasa "kebiasaan deh suka ga inget tanggal kasa tuh."
Angkasa nyengir menunjukan gigi putihnya yang rapih sambil menggaruk pipi sedikit chubby nya yang terasa gatal. "Hehehe.. Aku kan paling anti liat kalender pa." alibi Angkasa takut diomeli Alaska. Padahal aslinya Angkasa tidak pernah diomeli oleh Alaska.
"Iya deh terserah anak ganteng nya Papa." Alaska mengusak rambut Angkasa gemas.
Angkasa yang di perlakukan seperti itu hanya diam saja, tanpa melayangkan sebait protesan apapun. Kendati demikian, rambut yang sudah ia tata rapi menjadi berantakan akibat ulah Alaska. toh.. Angkasa tidak akan munafik, karena nyatanya perhatian Alaska yang di berikan padanya membuat hati Angkasa begitu hangat dan merasa menjadi orang yang paling beruntung karena telah di lahirkan ke dunia. Dengan DNA yang sama seperti Alaska.
"Memangnya ada apa Pa? Tumben, nanyain tentang hari libur sekolah Kasa?." tanya Angkasa.
Yang di tanya hanya menunjukan senyum tulusnya, tak lupa tangan berkulit putih itu setia mengelus surai lembut Angkasa.
"Papa mau ajak Kasa ngamen di tempat biasa seharian besok, supaya kita dapat uang banyak. Dan bisa membayar biaya program sekolah Kasa." jelas Alaska.
Mata abu Angkasa sontak berkaca-kaca mendengar penuturan Alaska yang terdengar begitu tenang. Seolah tidak ada beban, yang kini tengah di pikul oleh bahu ringkih itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Son 2
General Fiction[BOOK 2] perjuangan yang sesungguhnya akan di mulai di sini. tentang bagaimana gigihnya Alaska membahagiakan Angkasanya. dan tentang bagaimana Angkasa ingin membuat Alaskanya Bangga. mereka adalah sepasang ayah dan anak yang saling menyayangi. meski...