Angkasa melangkah lebar dengan senyuman manis yang terpatri indah di paras tampannya. Ketika ia baru saja tiba di halaman luas pasar tradisonal lalu netra abu anak itu menemukan presensi sang ayah yang tengah duduk bersandar pada sebuah pohon mangga sembari mengusap peluh yang membanjiri seluruh permukaan wajah tampan Papanya.
"PAPA..." Teriakan Angkasa begitu menggelegar bahkan membuat Alaska tersentak kaget. Rasa lelah yang sempat mendera Alaska perlahan menghilang ketika melihat Keceriaan sang putra.
Ia tersenyum lebar ketika Angkasa memeluk tubuhnya erat. "Papa, Kasa kangen sama Papa masa."
Alaska terkekeh mendengar suara imut Angkasa yang tengah mengadu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, Alaska mengelus punggung kecil sang putra dan membenamkan wajahnya di pundak kecil Angkasa seraya menghirup aroma tubuh Angkasa yang selalu melegakan hatinya.
Sementara yang terjadi pada Angkasa, setelah mengatakan isi hatinya pada sang Ayah. Netranya menatap noda merah pada kaos Alaska. Sempat di landa panik, karena ia pikir noda merah itu adalah darah. Namun kepanikan itu langsung sirna seketika saat hidungnya mencium aroma tak mengenakan yang begitu menyengat.
"Aroma busuk." Ucap Angkasa dalam hati. Ia memandang sendu noda itu dengan maniknya yang berkaca-kaca. Terpancar kesedihan disana, mengetahui bahwasanya sesuatu yang buruk telah terjadi pada sang ayah. Dan ia tidak ada di samping Papanya saat itu terjadi.
Dengan perlahan tangan kanan Angkasa yang semula melingkar di leher Alaska, perlahan bergerak kebawah mengelus noda merah yang masih membekas disana dengan setetes liquid yang jatuh membasahi pipi sedikit berisi Angkasa.
"Pa.. Om Roni ganggu papa lagi ya?." Bisik Angkasa lirih tapi dapat di dengar dengan jelas oleh sang Ayah.
Lagi, Alaska tersenyum. Ia dengan pelan melepas pelukan, kemudian menatap Wajah sang putra dengan pancaran mata yang penuh ketegaran. "Tidak apa-apa. Om Roni itu teman Papa waktu SMA dulu. Papa tau betul sifat Om Roni. Dia orangnya suka usil."
Angkasa tau yang di ucapkan Papanya barusan hanyalah sebuah kebohongan yang berharap dapat membuat Angkasa tenang dan tidak terlalu mengkhawatirkan Papanya. Tapi tetap saja itu tidak berefek cukup besar. Rasa kesal, marah dan menyesal masih Angkasa rasakan hingga sekarang.
"Udah ahh.. kenapa Angkasa nangis hmm?." Alaska menyeka air mata yang meluruh di pipi Angkasa dengan lembut. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu kemudian mencium kening putranya begitu lama.
"Papa tidak apa-apa sayang. Papa baik-baik aja. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan Papa. Oke. Sekarang cerita Ke Papa kenapa Kasa pulang lebih awal lagi?." Tanya Alaska sembari membawa tubuh kecil putranya agar duduk di atas pangkuan. Dengan posisi belakang kepala Angkasa yang bersandar di dada Alaska.
Angkasa menghela nafas berat. Ia belum menjawab pertanyaan Sang ayah karena ia masih sibuk merangkai kalimatnya.
"Guru-guru katanya mau ngadain rapat lagi tentang Program kelas tambahan itu Pa." Cicit Angkasa pelan setelahnya ia pun menundukan kepalanya.
Alaska melunturkan senyumnya. Program kelas tambahan? Ahh.. hampir saja ia lupa jika di sekolah putranya memiliki sebuah program baru untuk anak kelas 4, 5 dan 6.
Dengan lembut tangan Alaska mengelus rambut Angkasa penuh sayang. Senyum yang semula memudar kembali terkembang di bibir ranum Alaska. Matanya menyipit indah dengan sorot mata yang memancarkan sebuah ketulusan.
"Kasa jangan khawatir ya. Untuk urusan program kelas tambahan Kasa. Biar Papa yang menanganinya."
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Alaska barusan. Sontak saja membuat Angkasa mendelikan matanya, dengan pandangan yang ia putar ke belakang menghadap tepat di depan paras tampan nan teduh sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Son 2
Fiction générale[BOOK 2] perjuangan yang sesungguhnya akan di mulai di sini. tentang bagaimana gigihnya Alaska membahagiakan Angkasanya. dan tentang bagaimana Angkasa ingin membuat Alaskanya Bangga. mereka adalah sepasang ayah dan anak yang saling menyayangi. meski...