Halaman kedelapanbelas

2.9K 388 116
                                    

Beberapa hari kemudian, Angkasa pun telah sembuh dari sakitnya. Bahkan kini bocah berusia sembilan tahun itu sudah rapih dengan pakaian putih-merah kebanggaannya. Senyuman manis terbit di paras tampan Angkasa tatkala Alaska sedang menyisiri rambutnya agar rapih.

"Nanti di sekolah jangan bandel ya, harus nurut sama ibu guru dan jangan dulu lari-larian. Ingat Kasa kan baru sembuh. Paham, nak?"

Angkasa mengangguk cepat mendengar wejangan Alaska, tangan kecil itu kemudian menangkup pipi putih Sang Papa yang mana membuat bibir tipis Alaska mengerucut lucu. "Papa tenang aja Kasa ga nakal kok, janji deh," ucap Angkasa sembari mengacungkan jari kelingking kecilnya di hadapan Alaska.

Alaska terkekeh melihat kelingking putra kecilnya, kemudian tanpa menunggu lama ia pun menautkan kelingking kecil Angkasa dengan kelingking besar miliknya. "Papa percaya sama Kasa."

"Oh ya nanti jangan lupa buat ikut kelas tambahan ya, belajar yang rajin dan jadilah anak yang pintar agar Kasa tidak di remehkan banyak orang," tutur Alaska sembari merapihkan kerah seragam putranya.

Mendengar itu diam-diam Angkasa tersenyum kecut. Dia tau, malah sangat tau apa yang tengah di rasakan Ayahnya. Mengingat selama ini Sang Ayah selalu di remehkan oleh banyak orang hanya karena ayahnya tidak bisa membaca, menulis dan menghitung. Bahkan umpatan dengan di selipi kata Bodoh sudah menjadi sarapan pagi bagi Alaska.

"Papa tenang aja, Kasa janji Kasa akan menjadi orang sukses dan membanggakan Papa," kata Angkasa menggebu. Anak itu bahkan dengan cepat mengubah ekspresi sedihnya menjadi ceria kembali dan menghadirkan senyuman indah di bibir Alaska.

"Harus dong, Papa yakin kok Kasa akan menjadi orang sukses suatu saat nanti karena Kasa adalah anak Papa, kesayangan Papa yang jenius," sahut Alaska sembari membawa tubuh kecil putranya dalam pelukan singkat.

Angkasa nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih. Ia sangat senang ketika Alaska melontarkan pujian untuknya dan tentu saja pujian itu menjadi penyemangat Alaska dalam menggapai cita-cita.

"Oh ya, memangnya Papa punya uang untuk membayar kelas tambahan Kasa? Kalau tidak, jangan aja deh Pa. Ga Papa kok Kasa ga ikutan pelajaran tambahan juga, lagipula Kasa sadar diri kok, takutnya malah ngerepotin Papa" cicit Angkasa, bocah sembilan tahun itu menatap tak enak pada Papanya di sertai dengan senyum kecil yang terlihat di paksakan.

Sejenak, hati Alaska merasa berdenyut sakit ketika melihat sorot mata yang memancarkan keengganan dan ini kali pertama Alaska melihat sorot itu seolah bahwa Angkasa yang sekarang sungkan kepadanya. Sebenarnya ini bukan kali pertama ia melihat itu, beberapa hari yang lalu pun bahkan Angkasa sempat menghindarinya, ia pun tak tau mengapa putranya seperti itu.

Apakah karena pertemuannya dengan Kayla tempo hari? Ataukah ada sesuatu yang Putranya sembunyikan darinya?

Alaska ikut memaksakan senyumnya kendati pikirannya terus menerka-nerka mengenai putra kecilnya itu. "Ngapain Kasa ngerepotin Papa hm? 'Kan Kasa anak Papa. Jadi wajar kalo Papa di repotin Kasa. Lagi pula, Papa ada uang kok untuk bayar biaya pelajaran tambahan nya Kasa. Jadi Kasa ga udah mikirin itu ya. Karena tugas Kasa itu belajar dan menggapai cita-cita yang Kasa inginkan. Paham nak?" tutur Alaska lembut.

Angkasa tidak membalas, bocah kecil itu malah menjatuhkan tubuhnya di pelukan Alaska yang mana membuat Alaska sedikit terhuyung ke belakang karena belum siap menerima pelukan Angkasa yang begitu tiba-tiba. Untungnya, Alaska bisa menjaga keseimbangan.

"Terimakasih ya Pa, terimakasih karena udah rawat Kasa sampai sebesar ini. Maaf kalo kehadiran Kasa hanya bikin Papa sengsara. Tapi Kasa janji, meskipun tidak bisa membayar jasa Papa yang sudah merawat Kasa dengan baik. Tapi Kasa akan berusaha keras menggapai cita-cita Kasa dan menjadi orang sukses serta bisa membanggakan Papa. Kasa sayang Papa banyak-banyak. Papa juga harus sayang Kasa banyak-banyak ya?"

My Son 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang