An Escape Way

4.4K 294 2
                                    

"Teruntuk nama yang tidak lapuk oleh waktu. Membentang sukmamu dalam cakrawala asmara."

*.*.*.

Kursi-kursi teater mulai kosong. Petugas kebersihan tampak sibuk. Ada yang menyapu di area kursi penonton. Ada juga yang tampak membereskan perlengkapan balet yang baru saja ditampilkan. Sebagian lagi mengurus lantai panggung.

Di area belakang, tepatnya ruangan ganti para balerina, Arora sedang mengemas pakaian baletnya. Tas disampirkan di pundaknya sebelum berpamitan pada temannya yang lain.

"Paka! (Dadah!)" tutur Arora, ia melambai pada gadis-gadis yang juga sudah berganti pakaian.

"Arora!" Suara merdu memanggilnya. "Preevyet! (Hai)" sapa perempuan berambut pirang panjang itu.

"Hai, Adrianne," balas Arora, mengulas senyum bak malaikat.

"Kamu ada rencana untuk besok?" tanya Adrianne lagi. Ia lantas melanjutkan tanpa mendemgar jawaban Arora, "Aku dan Michelle mau menghabiskan malam di Sungai Neva. In case, you want to join us."

Setelah dua minggu yang sibuk di bulan Juni, Arora bisa menikmati libur sehari. Ia berniat untuk istirahat seharian. Mengembalikan tenaga setelah terkuras habis untuk latihan dan tampil. Ia pun menolak tawaran Adrianne. Ia sebenarnya rindu menyaksikan pertunjukan kembang api dan langit putih St. Petersburg di musim panas. Namun, sejak menggeluti dunia balet profesional, ia tidak memiliki kesempatan untuk sekadar menonton keindahan langit.

"Dobry vyecher, paka! (Selamat malam, dah!" Adrianne menaiki taksi terlebih dahulu, sedangkan Arora masih menunggu taksi selanjutnya.

Arora mendongak menatap langit putih di atasnya. Sudah jam sebelas malam, tetapi matahari masih setia menemani. Salah satu fenomena alam yang menampakkan kebesaran Tuhan dalam penciptaan semesta.

Ingin menikmati udara musim panas, Arora memutuskan untuk berjalan. Tidak ada rencana akan ke mana, hanya terus berjalan menyusuri pedestarian. Ia membiarkan insting menuntunnya.

Jalanan saat malam putih seakan tidak pernah mati. Mobil lalu lalang, begitupun dengan pejalan kaki yang tampaknya berasal dari benua yang berbeda-beda. Mungkin karena banyak pelancong yang ingin menyaksikan siang yang tidak berujung.

Langkah Arora terhenti di depan Jembatan Potseluyev yang juga dikenal sebagai Kissing Bridge. Jembatan itu cukup ramai pengunjung. Ada yang datang berkelompok, dan sebagian lainnya berpasangan. Pandangan Arora tertuju pada pasangan yang baru saja melepaskan ciuman.

Senyum menyinggung di wajah Arora. Ia heran mengapa masih banyak orang yang percaya pada mitos. Ia berdiri lama di sana, menatap pada kanal sambil memasukkan kedua tangan di saku celana jinsnya.

Setelah lelah, Arora pulang menggunakan taksi. Apartemennya berada di Jalan Mikhaylovskaya. Jaraknya cukup dekat dengan gedung Opera tempatnya bekerja.

*.*.*.

Hari libur Arora, ia habiskan dengan istirahat. Ia sempat ke tempat gym yang tersedia di gedung hotel yang juga menyediakan apartemen itu. Saat menjelang siang, ia juga berbelanja untuk kebutuhan sehari-harinya di swalayan.

"Bagaimana kabarmu?" tanya lelaki yang wajahnya tampak di layar ponsel pintar milik Arora.

Perempuan yang ditanya hanya angkat bahu, sembari melahap blueberry yang tadi tertusuk di garpunya.

"Aku yakin lelaki Rusia jauh lebih menawan," ungkap Jojo, lelaki yang melakukan panggilan video dengan Arora.

Kali ini, Arora menggeleng. Ia menyanggah anggapan Jojo. Arora tidak begitu tertarik dengan lelaki Kaukasus, tepatnya tidak tertarik pada lelaki mana pun, selain Ethan.

"Aku punya banyak teman, mau aku kenalin," tawar Jojo yamg langsung ditolak oleh Arora.

"Circle pertemanan kamu itu hancur, Jo. Aku yakin teman-temanmu sama berengseknya," umpat Arora.

Tawa menggema melalui speaker ponsel Arora. Jojo mengacungkan dua jempol, menyetujui pendapat Arora. Teman-temannya memang sama buruknya dengannya, bahkan ada yang lebih bejat lagi.

"Ya, setidaknya salah satu dari mereka bisa menjadi pelampiasan sepi untuk kamu. Lumayanlah buat pacar satu malam," timpal Jojo, satu alisnya terangkat. "Itu pun kalo kamu mau, sih."

"Take it for your self!" rutuk Arora kesal.

"Sayangnya, aku masih straight. Belum ada niat main anggar di atas ranjang."

Arora sempat mengernyit karena tidak mengerti. Seketika terbahak-bahak begitu tahu maksud Jojo.

"Aku senang karena kamu bisa tertawa lagi, Ra."

Jojo masih ingat tujuh tahun yang lalu, saat Arora hancur. Senyum milik perempuan itu seakan sirna. Setiap kali mereka berbincang, binar indah yang selalu terpancar di mata Arora lenyap.

"Life must go on, Jo." Arora lalu tersenyum, dan melanjutkan, "Aku pikir balet penyembuh yang baik."

"Dan kekasih baru adalah penyembuh terbaik dari yang terbaik," goda Jojo, satu matanya mengedip.

"Entahlah, Jo. Aku mau istirahat, nanti aku telepon lagi."

Panggilan itu berakhir setelah Jojo menggoda Arora, meminta satu di man katanya. Bibir lelaki itu mengerucut, lalu berganti gambar wajah Aurora yang polos tanpa riasan.

Mungkin Jojo benar. Namun, setiap kali Arora mencoba untuk dekat dengan lelaki lain, ia selalu berakhir membandingkan Ethan dengan lelaki itu.

Seperti beberapa waktu lalu, ia berkenalan dengan lelaki berkebangsaan Inggris. Mereka bertemu di salah satu pertunjukan Arora yang saat itu memainkan peran sebagai Giselle. Namanya Tom, lelaki yang ramah menurut Arora. Namun, ia tidak suka mendengar tawa Tom yang keras. Ia lebih suka tawa Ethan yang tidak berlebihan.

Pernah juga Arora dekat dengan rekan kerjanya, Blade. Hal yang membuat ia tidak suka pada lelaki itu juga sederhana. Genggaman Blade tidak sama dengan Ethan. Saat Ethan menggenggam jemari Arora, perempuan itu merasa sangat nyaman dan aman. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan dengan lelaki lain.

Tidak ada yang salah dengan Tom dan Blade. Hati Arora yang memang belum siap menerima nama selain Ethan. Gumpalan rasa dalam dirinya itu masih bertahta. Menggerogoti setiap gelembung cintanya. Pun memenuhi seluruh cela untuk yang lain.

Bagi Arora Ethan adalah segalanya. Setelah ayahnya meninggal, ibunya terpaksa harus mengambil tanggu jawab menghidupi Arora. Dalam keterpurukan dan kesendirian, Ethan datang membawa cahaya untuk kegelapan Arora.

Tanpa Ethan, Arora tidak yakin bisa bertahan. Namun, cahayanya kini telah pergi untuk menerangi tempat lain.

Alih-alih istirahat, Arora sibuk berselancar di media sosial. Layar ponselnya terus digulir. Gambar demi gambar akun dengan nama @Alastair.Ethan muncul. Gambar terbaru adalah seminggu yang lalu. Terlihat Ethan sedang berdiri di gateaway bandara yang Arora tebak adalah Bandara Soekarno-Hatta.

Tidak lama, muncul gambar Ethan dengan latar menara Eiffel di beranda Arora. Lelaki itu menggunakan kaos monokrom dengan jas yang kancingnya terbuka. Kedua sudut bibirnya tertarik, melengkung sedikit.

Dalam tujuh tahun banyak yang berubah dari lelaki itu. Terutama pada garis rahang yang menegas, dengan rambut-rambut yang sepertinya sengaja dibiarkan tumbuh tipis. Namun, lesung di pipi kiri lelaki itu masih sama manisnya seperti dulu. Begitupun cinta Arora padanya, masih kuat seperti pertama kali ia merasakannya.

Arora menekan profil Ethan lagi. Menggulir hingga menemukan gambar yang ia cari. Terakhir kali Ethan mengunggah kebersamaan dengan Elvina adalah Februari lalu, saat perempuan itu berulang tahun.

Secercah harap bahwa sepasang kekasih itu berpisah muncul di benak Arora. Jika hal itu terjadi, ia tidak akan menyia-nyiakan waktu dan mencoba untuk meraih hati Ethan.

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang