Behind The Mask

1.7K 121 11
                                    

"Kamu adalah cahaya dan aku adalah bayangan. Seperti takdir, aku selalu mengikuti langkahmu."

*.*.*.

Pagi yang cerah dan indah milik Arora tiba-tiba rusak karena kedatangan perempuan yang berdiri di depan Ethan. Baru saja semalam, tidurnya nyenyak karena berada dalam pelukan lelaki yang dicintainya. Sepagi ini, kehangatan semalam harus digantikan panasnya cemburu.

Pintu di tarik oleh Arora agar tertutup. Ia akan memperlihatkan kelihaiannya dalam berakting. Matanya ditutup sedikit, lalu melangkah agak sempoyongan. Meski melihat Elvina, ia berlagak bahwa perempuan itu tidak di sana. Padahal, aroma bubur yang dibawa oleh Elvina menusuk hidungnya.

Kepala Arora disandarkan pada lengan Ethan. Jika Elvina melihat itu, ia pasti akan sangat cemburu. Saat dibisik oleh Ethan bahwa Elvina ada, Arora segera menjauh. Sapaan ramah dibuat-buat ia tujukan untuk perempuan yang sedang tersenyum.

"Aku bawa bubur ayam buat kamu," kata Elvina.

Kedua alis Arora saling mendekat. Ia tidak mengerti dengan perubahan sikap Elvina yang langsung berubah. Sorot matanya awas, ketika perempuan yang sangat ia benci mendekat ke arahnya.

"Aku minta maaf, Arora. Aku hanya merasa cemburu karena kamu sangat dekat dengan Ethan. Aku benar-benar gak bermaksud mengancam atau apa pun. Maafin aku, ya!" Elvina memelas

Mata kedua perempuan itu saling bertemu. Arora akhirnya mengerti bahwa Elvina sedang mengikuti arus permainannya. Sayang, ia telah melangkah jauh. Elvina tidak akan sanggup mengejarnya.

"Aku ngerti kok, El. Aku yang harusnya minta maaf karena jadi benalu di hubungkan kalian."

Arora dan Elvina bergenggaman tangan, lalu berpelukan. Tidak lupa mereka juga saling memuji meski dalam hati mereka muak dan saling mengejek.

"Oh, iya, buburnya nanti dingin, kalian harus makan," tawar Elvina.

"Maaf, aku gak suka bubur," tolak Arora. Ia memang tidak suka bubur dan semakin tidak suka karena bubur itu dibawa oleh Elvina.

Hanya anggukan pelan Elvina yang membalas perkataan Arora. Ia berusaha untuk tetap ramah karena masih ada Ethan. Namun, hatinya remuk berkali-kali melihat perhatian Ethan pada Arora yang menurutnya tidak wajar dikatakan sekadar sahabat. Seperti sekarang, lelaki itu mengambil sekotak susu dan beberapa jenis buah.

"Biar aku buatin jus, kamu ada kegiatan di studio, kan?" ujar Ethan pada Arora.

"Iya, makasih," ucap Arora menatap Ethan, lalu beralih pada Elvina. "Aku ke kamar dulu, mau siap-siap."

Suara mesin juicer mendengung. Tatapan Elvina sepenuhnya tertuju pada Ethan yang perhatiannya hanya tertuju pada buah dan susu yang berputar-putar seperti tornado.

"Astaga," rutuk Ethan. "Kamu mau aku buatin juga?" Ia menawarkan, tetapi ditolak oleh Elvina.

Elvina tertegun lama. Ia sebenarnya tidak tahu apa arti dirinya di hidup kekasihnya itu. Apa mungkin masih ada sedikit saja rasa yang tersisa untuknya? Karena sepanjang pengamatannya, hidup Ethan berputar seutuhnya pada Arora. Sedekat apa pun seorang sahabat, perlakuan Ethan sudah berlebihan. Lihatlah, lelaki itu bahkan tidak mengacuhkan keberadaan Elvina.

"Buburnya dimakan dulu, nanti keburu dingin, gak enak," suruh Elvina.

Ibarat bubur yang telah dingin, itulah hubungan Elvina dan Ethan. Bumbunya masih terasa, tetapi tidak lagi nikmat. Sejak awal Elvina tahu bahwa Ethan bukan tipe lelaki manis dan romantis.

Selama bertahun-tahun bersama, Elvina adalah satu-satunya yang selalu berusaha untuk menguatkan ikatan. Itu karena Ethan tidak pernah menyerah. Terbukti lelaki itu tetap mempertahankan status mereka meski terhalang restu ibunya. Ia merasa hubungan merak terikat di atas komitmen untuk selalu bersama, meski tanpa kisah romantis seperti pasangan lainnya.

Selama berpacaran, Ethan setia. Tidak sekali pun ia melirik yang lain. Membuat Elvina berpikir bahwa di mata lelaki itu hanya ada satu perempuan, yaitu dirinya. Namun, sejak kehadiran Arora, Elvina merasa dinomorduakan.

"Kamu bisa gak antar aku pulang? Pak Agus gak bisa jemput," pinta Elvina, saat semangkuk bubur telah ditandaskan oleh Ethan.

"Aku masih pusing, El. Semalaman gak tidur. Maaf, ya."

"Emangnya ngapain?"

Ethan tidak langsung menjawab. Ia terlanjur sudah menyuap bubur dari mangkuk yang satu. Semalaman ia memang susah tidur. Awalnya, karena menonton bola. Namun, setelah pertandingan usai, ia masih susah tidur karena Arora yang memeluknya.

"Biasalah, nonton bola," jawabnya.

Elvina terdiam. Pikirannya sangat buruk saat ini, apalagi ia tadi mendapati Arora keluar dari kamar Ethan. Ia lalu beralih pada Arora yang baru saja datang. Perempuan itu terlihat sangat santai dengan kaos putih yang dilapisi jaket bomber dan celana jin biru.

"Aku berangkat duluan, ya," pamit Arora setelah meneguk habis jus buatan Ethan.

"Sebelum makan siang, kamu udah pulang, kan?"

"Iya, aku gak lama, kok."

Elvina masih duduk di sana, tetapi merasa tidak terlihat. Ia hanya mendengar tanpa dilibatkan satu percakapan pun. Sepasang suami-istri yang harusnya palsu tampak nyata di matanya.

"Ah, Elvina ikut pulang sama kamu, boleh? Gak buru-buru, kan?" tanya Ethan.

Arora langsung menjawab, "Boleh, dong." Ia memalingkan wajah pada Elvina. "Ayo, aku antar pulang!"

*.*.*.
Mobil merah Arora melaju di jalanan yang tidak sepadat biasanya. Mungkin karena hari Minggu. Perempuan yang duduk di samping kursi kemudi menatap ke luar melalui kaca mobil. Ia tadi meminta diturunkan. Lebih memilih naik taksi daripada diantar Arora. Namun, mobil itu tidak berhenti juga. Pengemudinya seperti tuli.

Arora melirik sebentar pada Elvina. Seringai muncul di wajahnya. "Kamu mau dengar cerita?" tawarnya setelah diam terjaga beberapa waktu.

Tidak ada jawaban, Arora memilih melanjutkan, "Sebenarnya, aku sengaja menjebak Ethan supaya menikahiku."

Elvina yang tadi tidak tertarik pada perkataan Arora, langsung memalingkan wajahnya ke arah kursi kemudi. Matanya membesar menatap perempuan yang sedang tersenyum, terlihat sangat bahagia.

"Mana mungkin Tante Tista-- maksudku Mama Tista--datanga sepagi itu menggedor-gedor kamar Ethan? Semua sudah aku atur," jelas Arora, lalu tertawa pelan. Ia juga memuji diri sendiri yang begitu jenius.

"Kamu gila!" geram Elvina.

Arora mengangguk. Ia mengaku telah gila karena terlalu mencintai Ethan. Ia menceritakan semua detail rencananya, bahkan keikutsertaan Jojo yang membantunya menghubungi Tista. Tidak lupa juga menambahkan "Masih ada yang lebih gila di pikiranku sekarang." Arora melirik Elvina.

Jantung Elvina mendadak berpacu lebih cepat. Ia tidak tahu kenapa, tetapi setiap sarafnya mengirim sinyal bahaya di otaknya.

"Lihat mobil di depan sana!" Arora melepas satu pegangannya dan menunjuk minibus di depannya. "Aku berpikir untuk bergeser ke kanan sedikit. Mengarahkan tempat dudukmu tepat di belakang mobil itu."

Arora tertawa pelan dan melanjutkan lagi, "Bayangkan kalau aku tancap gas dan menabrakkan mobil ini, kira-kira apa yang akan terjadi dengan wajahmu itu? Airbag tidak akan banyak membantu."

Rasa dingin mulai menyergap Elvina. Ia menyebut bahwa Arora benar-benar orang gila. Perempuan itu seharusnya dibawa ke rumah sakit jiwa.

"Turunkan aku sekarang!" pekik Elvina.

"Gak usah panik! Ini mobil kesayangan mamaku, dia pasti marah kalau lecet," kekeh Arora. "Lagipula, Ethan sudah ada di genggamanku. Kami bukan siapa-siapa lagi bagi dia," lanjutannya penuh percaya diri. Dalam hati, Arora sebenarnya merendah diri. Ia sangat tahu bahwa bagi Ethan, Elvina adalah segalanya.

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang