Happiest Woman

4.1K 117 15
                                    


“Aku tidak pernah menyesal mencintaimu. Luka dan air mata yang kamu beri, kini kunikmati tiap detiknya.”

*.*.*.

Katanya waktu bisa menyembuhkan luka. Tidak. Arora tidak sependapat dengan hal itu karena kadang hati tak butuh waktu untuk pulih. Tidak semua luka harus sembuh. Kadang ada luka yang abadi agar kita bisa bersyukur. Ia percaya bahwa tidak semua luka itu sakit, seperti miliknya. Pada kenyataanya, luka itu yang membentuknya kini. Seorang perempuan yang dilimpahi kebahagiaan.

Suara ombak memenuhi pendengaran Arora. Saat ia menyingkap gorden, tampak birunya laut dan pasir putih yang indah. Matahari yang silau membuatnya memejamkan mata sebentar. Ia terlambat bangun dan melewatkan keindahan fajar yang menyingsing di atas air laut.

Senyum mengembang di wajahnya saat menatap lelaki yang hanya mengenakan celana selutut biru muda yang sedang berbaring di atas pasir. Wajahnya ditutupi dengan straw hat yang Arora beli minggu lalu di pasar dekat resort itu. Ia berbalik dan menatap segelas jus yang sudah ada di atas nakas. Segera diraihnya gelas itu dan ia habiskan.

Jus yang dibuat dengan cinta selalu manis.

Beberapa hari terakhir, Arora selalu merasa lelah, meski pada kenyataanya ia tidak melakukan banyak hal selain kegiatan harian sebagai istri yang menetap di rumah. Mengingat ia yang kini menetap di salah satu resort yang ada di Bali, hidupnya seperti liburan setiap hari. Dua tahun belakangan, ia berkunjung ke Jakarta hanya sesekali karena saat kangen pada ibunya, Adeline yang datang berkunjung. Sekalian liburan katanya.

Ponsel yang ada di meja rias diraih oleh Arora. Ia melihat banyak sekali notifikasi media sosial di papan pemberitahuan pada layar ponselnya. Ia lalu membuka satu-persatu direct message yang masuk di akunnya. Senyum geli terpancar di wajah paginya yang bahagia. Selalu pesan yang sama, meski dua tahun yang telah berlalu.

Dasar ular! Kembalikan kekasihku!’ itu hanya salah satu dari banyaknya pesan yang masuk, bahkan banyak yang menyumpahi agar pernikahan Arora segera berakhir. Namun, tidak sedikit juga yang mendoakan agar pernikahannya selalu bahagia dan langgeng hingga akhir hayat.

Arora masuk ke dalam kamar mandi, bukan untuk mandi. Ia hanya membasuh wajah dan menggosok gigi. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa tebakannya benar. Teriakan girang memenuhi kamar mandi yang lengkap dengan ruangan shower dan bath tube itu. Arora menatap lagi dua garis biru yang ada di test pack yang ia pegang. Setelah menanti lama, ia akhirnya hamil.

Tanpa peduli pada pakainnya yang hanya lingerie putih yang membuat lekuk tubuh Arora bisa terlihat, ia berlari keluar dari kamar dan terus lanjut keluar dari pintu belakang. Kakinya menyentuh pasir yang kasar. Ia terus berteriak girang.

“Sayang!” panggilnya.

Lelaki yang menikmati sinar matahari pagi duduk. Tampak punggungnya yang mencoklat akibat berjemur. Ototnya yang kekar diregangkan sebelum berbalik pada Arora yang berlari mendekat. Ia tersenyum dengan kedua tangan dierentangkan, meminta pelukan pagi yang biasa ia dapatkan dari istrinya.

Kelewat antusias, Arora menjatuhkan tubuhnya di pasir lalu menubruk tubuh Jojo—suaminya. Test pack yang dipegangnya diangkat ke atas untuk dipamerkan.

We’re soon to be parents!” pekik Arora.

Wajah Jojo yang sedang menyapa cekungan leher Arora seketika menjauh. Ia mendongak menatap test pack yang dipegang Arora. Segera ia tarik benda itu, ditatapnya lama untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat.

“Is this a prank?”

“Tentu saja tidak, I’m pregnant.”

Jojo yakin pelukis hebat mana pun tidak akan bisa melkiskan perasaanya kini. Kaluarga kecilnya yang bahagia akan kedatangan malaikat kecil yag melengkapi hidup mereka. Malaikat kecil yang sudah ia dan Arora tunggu sejak lama. Ia juga tahu bagaimana Arora sering mengeluh karena sudah dua tahun menikah dan mereka belum memiliki anak. But, see, Tuhan selalu memberi di saat yang tidak disangka-sangka. Seperti pernikahan mereka yang sungguh tidak pernah Jojo sangka bisa terlaksana.

Memang benar bahwa kadang manusia hanya bisa berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Jojo tidak pernah berniat untuk menikah, sama halnya dengan Arora yang dulu menjadikan Ethan sebagai satu-satunya tujuan. Namun, Tuhan ternyata memliki rencana yang lebih indah. Hati mereka akhirnya menyatu, meski harus melewati jalan terjal sebelum hal itu terwujud. Jalan curam itu telah Jojo dan Arora lalui bersama. Luka dan sakit yang mereka bagi, kini menjadi alasan untuk tetap tersenyum dan berbahagia.

“Sudah tau hamil, lalu kenapa lari-lari kayak tadi. Kalau jatuh gimana?” omel Jojo.

“Maaf, aku terlalu senang.”

Arora memekik kaget saat tubuhnya terangkat. Ia langsung melingkarkan lengan di leher Jojo. Ia sempat protes dan meminta diturunkan, tetapi Jojo seperti tidak mendengar.

“Aku harus ekstra menjagamu, Sayang. Kamu tidak sendiri, ada malaikat kecil kita di perutmu.”

Bagi Arora dalam hubungan cinta bukan lagi hal yang terpenting, karena awal menikah dengan Jojo debar itu tidak ada. Ia hanya merasa nyaman dan dicintai. Jojo membuatnya merasa bahwa dicintai itu jauh lebih indah daripada mencintai. Ia pernah berjuang untuk cintanya, tetapi disia-siakan. Lihatlah hidupnya sekarang, debar itu kini terasa sedikit demi sedikit dan akan terus bertumbuh hingga dunia pun akan penuh olehnya.

Arora pernah berada di pilihan antara Jojo dan Ethan. Setelah ia dan Ethan bercerai, Jojo menjelaskan segalanya, tentang Ethan yang ternyata juga mencintainya. Ethan yang menceraikan Arora karena tidak ingin Elvina melaporkan penabrakan yang Arora lakukan. Saat itu Jojo bahkan berkata akan merelakan Arora kembali pada Ethan jika itu yang ia inginkan.

Sudah cukup semua perjuangan yang Arora lakukan. Selama ini ia seperti rembulan yang terus saja mengitari bumi, seakan bumi satu-satunya pusat dunianya. Namun, ia lupa bahwa yang memberinya sinar adalah matahari, bukan bumi. Orang yang selama ini selalu memberinya senyum dan bahagia adalah Jojo. Ethan hanya persimpangannya, bukan tujuan akhirnya. Hidupnya kini milik Jojo seorang, lelaki yang tidak segan mengotori tangan untuknya.

“Jadi, mereka masih terus mengganggu, mau aku laporin?” kata Jojo begitu Arora mengadu tentang pengemar Jojo yang sering mengiriminya pesan buruk.

Arora menggeleng. “Jangan, dong. Mereka hiburan yang menyenangkan.”

“Ah, aku kemarin gak sengaja ketemu Elvina, loh,” cerita Jojo setelah menelan habis roti bakarnya. “Dia udah mau prewed.”

“Wah, semoga kita dapat undangan,” harap Arora.

Jojo berdiri setelah meneguk air putih. Ia mengambil piring kosong di meja. “Dia bilang pasti akan undang, kok. Oh, iya, ada kabar dari Tante Tista?”

Arora mengangguk, meski tidak terlihat oleh Jojo yang sedang memunggungi Arora untuk ke westafel cuci piring. “Kata Tante Tista, Ethan akhirnya setuju untuk menghadiri kencan buta.”

Hanya suara air yang terdengar dan denting alat makan yang dicuci oleh Jojo. Setelah cuci piring, Jojo mendatangi Arora. Kemudian, ia berjongkok di lantai dan mengecup perut Arora sekali.

“Baguslah, aku tidak perlu khawatir dia mau merebutmu.”

Arora terkekeh. Kedua tangannya diletakkan di kedua rahang Jojo yang mulai ditumbuhi bulu. Kasar, tetapi Arora menyukainya. “I’m yours.”

Ada banyak hal yang bisa Arora pelajari dari kehilangan, salah satunya menemukan. Setiap kekosongan selalu diisi oleh hal yang lain. Sama halnya dengan hati, saat ia telah benar-benar kosong, selalu datang hati yang baru. Ia bersyukur atas lukanya. Ia juga berterima kasih pada kebodohan yang pernah ia perbuat. Tidak ada sesal, karena semua itu membawanya ke titik ini—perempuan paling berbahagia.

*.*.TAMAT.*.*

Thank you for your patience. Aku tahu kalian pasti kecewa karena tidak bisa membaca sampai tamat. Sekarang lunas, ya. Semoga kalian menyukai cerita ini. Tolong diambil baiknya dan buang buruknya.

I love you all. 🥰🥰

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang