"Seperti malam, kamu menjadi bintang di mana jemariku selalu terarah. Namun, seperti malam, kamu berlalu."
*.*.*.
Rumah yang berdiri di depan Arora tidak banyak berubah. Catnya masih sama seperti saat ia pergi dulu. Hanya ada tanaman hijau di pekarangan, juga bunga berjejer dalam pot yang ditempatkan rapi teras. Selain itu, ada juga dua kursi dan satu meja dari jati dengan ukiran Jepara di teras. Sebelumnya, tidak ada apa-apa di teras. Rumah itu terkesan tidak berpenghuni karena ibunya sibuk bekerja.
Kehadiran bunga dan meja di teras rumah dua lantai itu menghidupkan suasana. Saat masuk, barulah perbedaan sangat terasa oleh Arora. Sofa, meja, guci, hingga teve sudah diganti dengan yang lebih baik. Warna tembok pun sudah diubah, lebih lembut dan modern. Jika ada yang tidak berubah dari ruangan itu, maka hanya pigura-pigura yang terpasang. Ada yang berisi gambar pernikahan ayah dan ibu Arora. Ada juga gambar keluarga yang diambil saat Arora berusia tujuh tahun. Pigura terkahir yang paling baru adalah gambar Arora yang melalui putaran di udara saat mengikuti olimpiade pertama kalinya, dan berhasil menyabet juara satu.
Aroma manis tercium dari arah dapur. Arora mengendus dan mulai memuji masakan apa pun yang dimasak. Jojo ada di belakangnya. Lelaki itu baru saja selesai mengeluarkan barang-barang Arora. Terdengar keluhannya karena barang yang ia bawa sangat berat.
"Nyonya! Nyonya!" Panggil perempuan berdaster yang entah keluar dari mana. Ia begitu girang melihat Arora sudah datang. "Nya! Non Arora sudah datang!" teriaknya lagi.
Adeline yang sibuk memanggang kue berhambur keluar. Celemeknya yang penuh tepung masih terpasang saat ia memeluk putrinya. Terakhir kali bertemu Arora adalah sekitar empat bulan yang lalu. Itu pun, tidak bisa tinggal menghabiskan waktu lama bersama karena Arora selalu sibuk.
"Anak Mama, Mama kangen," lirih Adeline, ia melepas pelukannya, lalu melanjutkan, "Harusnya kamu bilang kalau pulangnya hari ini. Mama bisa jemput kamu di bandara."
"Bukan surprise kalau gitu, Tan," sahut Jojo.
Melihat Jojo yang memegang dua koper, Adeline langsung meminta Mbok Sri--perempuan yang tadi memanggilnya--untuk membawa koper Arora ke kamar. Lelaki dan perempuan paruh baya itu pun melangkah. Mereka menaiki tangga yang berkelok dengan ukiran indah di teralisnya.
Adeline mengusap lengan Arora berkali-kali. Bisa ia rasakan betapa kurus anaknya itu. Pasti karena diet ketat yang ia jalani. Tatapannya sendu pada Arora, merasa bersalah karena anak manisnya harus menjalani hidup berat akibat ketidakmampuannya.
Kasihan Arora yang harus menanggung beban. Mungkin banyak pihak yang menyayangkan keputusan Arora yang mundur saat karirnya tengah gemilang. Namun, tidak dengan Adeline. Ia yakin Arora tidak mungkin membuat keputusan gegabah. Semua oasti sudah terencana dengan baik. Ia mengenal Arora, anak cantik yang ia besarkan.
"Astaga, kueku!" pekik Adeline, panik. Ia sudah siap berbalik untuk masuk ke dapur, lalu urung dan mulai berkata, "Kamu ke kamar dulu! Mama sudah buat kue kesukaanmu."
Kamar itu tidak jauh berbeda, meski bukan seleranya lagi. Warna tembok dan segala perabot berwarna merah muda. Untungnya, tidak ada lagi stiker Hello Kitty yang memenuhi tembok dan seperei. Mungkin kalau tinggal di kamar itu, semua akan ia ubah lagi. Terutama warna, akan ia ganti dengan warna pastel yang lebih lembut. Ia jadi heran kenapa bisa dulu begitu menyukai Hello Kitty.
"Capeknya!" keluh Jojo, tubuhnya menabrak kasar ranjang yang empuk. Mungkin ada tiga kali tubuhnya itu terpental ke atas. Tangannya ditentangkan ke dua sisi ranjang, sementara kakinya dibiarkan menyentuh lantai. Ia lalu melanjutkan meminta traktiran pada Arora karena sudah membantunya pindahan.
Jojo memiliki jatah lima hari libur. Semua ia habiskan hanya untuk membantu Arora. Sudah selesai membantu di Russia, ia harus membantu lagi di Jakarta. Liburnya tinggal satu hari, semoga Arora tidak memelas dan memintanya lagi, bisa hancur tubuh Jojo.
"Nanti aku kenalkan dengan salah satu teman perempuanku." Itu tawaran Arora.
Tentu saja Jojo setuju. Teman-teman Arora memiliki wajah seperti peri. Jojo menyukai mereka, bertualang sebentar pasti akan indah.
*.*.*.
Suara musik berdentum-dentum seakan memekakkan telinga. Arora sedang menikmati minuman dari gelas kecil. Malam itu Jojo mengajaknya berpesta. Sebenarnya, ia memang sedang ingin minum sedikit. Mungkin alkohol bisa meredam sakit di hatinya.
Jojo ada di sofa, lelaki itu sedang merajuk. Namun, Arora yakin Jojo akan membantunya.
"Tidak, Ra! Aku tidak mau!" Itu kata Jojo yamg menolak untuk membantu saat Arora meminta.
"Hanya kali ini saja, Jo. Aku butuh bantuan kamu. Tidak ada yang bisa membantuku, kecuali kamu!" mohon Arora.
"Aku punya banyak teman lelaki, Ra. Kamu bisa pilih saru yang kamu mau, lupakan Ethan!"
Arora menggeleng. Ia berteriak-teriak bahwa tidak ada yang bisa menggantikan Ethan. Bahwa Ethan adalah satu-satunya yang ia inginkan untuk saat itu.
"Biarkan aku berusaha, Jo. Setelah berusaha dan ternyata gagal, aku akan mundur. Tapi, biarkan aku berusaha dengan caraku, kumohon."
Jojo memukul meja yang ditempati olehnya dan Arora. Ia lalu meneguk minuman di gelas dengan sekali tegukan. Ia lalu pergi meninggalkan Arora. Memilih berpisah tempat duduk. Saat itu pula, Arora memutuskan untuk berpindah di meja bar. Di sana, ia bisa leluasa memesan minuman yang ia mau.
Ia melirik Jojo yang sedang minum. Tampak beberapa orang susu di sampingnya. Termasuk seorang perempuan berpakaian minim dan ketat yang sudah menggelayut manja. Itulah Jojo yang dikenal Arora. Kadang sangat berengsek, tetapi ia tahu bahwa Jojo selalu setia kawan.
Entah gelas ke berapa, kesadaran Aria mulai berkurang. Namun, ia tidak berhenti memesan minuman. Ia hanya ingin melupakan perasaan itu barang sedetik saja. Entah kenapa rasa yang lama menetap itu serasa makin kuat menarik Arora dalam jurang kesepian.
Kepala perempuan itu mulai pening. Peramu minuman di depannya seakan memiliki dua kepala. Sepertinya, ia sudah mabuk berat. Ia lalu berbalik saat suara yang terdengar khawatir muncul. Ethan, lelaki itu datang juga.
Arora memaksa matanya membesar untuk memastikan. Ia tidak mungkin salah lihat, kan?
"Ethan?" Tangan Arora diletakkan di kedua pipi Ethan. "Aku tidak mimpi, kan?"
Ethan terdiam. Ia tidak tahu bahwa Arora yang dulu manis sudah pintar mabuk-mabukan seperti itu. Saat Perempuan itu sadar, ingatkan ia untuk memarahinya.
"Ayo kita pulang!" Ethan mulai memapah Arora untuk pergi dari tempat hiburan malam itu.
"Rumahku, aku pulang," bisik Arora, ia memeluk Ethan lama hingga lelaki itu makin kesusahan membawanya.
"Kenapa juga kamu harus mabuk seperti ini!" keluh Ethan.
Tidak mau Adeline khawatir, Ethan memutuskan untuk membawa Arora ke apartemennya. Di sana lebih aman. Selain itu, ia juga bisa langsung menceramahi Arora tentang bahayanya seorang perempuan yang mabuk. Bagaimana jika ada lelaki jahat yang manfaatkannya.
*.*.*.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.