Road To Her

1.6K 114 5
                                    

"Malam itu langit menangis, saat aku harus merelakan cinta menjauh."

*.*.*.

Keringat mengucur dari dahi Arora. Ia selonjoran di depan dinding cermin di studio balet miliknya. Rencananya, ia akan membuat studio itu sebagai sekolah balet untuk anak-anak. Sudah bisa ia gunakan, tetapi untuk melakukan pembukaan masih butuh beberapa bulan. Ia tidak mau asal memilih pelatih yang akan membantunya.

Selama lebih dari setengah jam, Arora menari sendiri di sana. Penatnya selalu terkikis saat badannya mulai bergerak bersama musik yang mengiringi. Ia berdiri lagi, mengusap layar ponsel, lalu musik pun mengalun lagi.

Tubuh Arora berputar melakukan gerakan 32 kali putaran Fouettes. Gerakan indah, di mana satu kakinya berjijit dan kaki lain dilempar keluar lalu menyentuh lutut. Pada putaran terakhir, ia berhenti dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya dijatuhkan ke lantai.

Apa yang ia lihat siang tadi masih jelas di ingatannya. Saat itu, ia baru saja pulang dari rumah ibunya. Ia bermaksud singgah menikmati secangkir cokelat hangat di salah satu kedai kopi. Namun, niat itu urung karena dua orang yang sedang mengobrol di sudut ruangan.

Ethan dan Elvina ada di kedai itu. Bisa ia lihat jemari keduanya yang saling menggenggam di atas meja. Ingin rasanya, ia menghampiri mereka, menghujat Elvina yang berani berduaan dengan suaminya. Namun, apa ia berhak mengklaim Ethan sebagai suaminya. Pada kenyataannya, lelaki itu tidak pernah menganggapnya sebagai istri.

Pegawai kedai yang menyapa, tidak diacuhkan oleh Arora. Ia langsung berbalik dan membuka pintu. Pegawai yang tadi menyapanya sempat keheranan melihat tingkahnya.

Itulah sebabnya Arora berada di studio baletnya. Ia ingin menepis segala luka yang bersemayam di hatinya. Saat menari, semuanya seperti menguap, tetapi saat berhenti, ia kembali ke titik sebelumnya.

Ia memutuskan untuk lanjut menari lagi, berjinjit, berputar dan melompat. Ia sedang menekuk lutut, saat musik klasik berganti nada dering ponselnya. Posisinya berubah tegap, lalu dicondongkan untuk melihat nama kontak yang tertera di layar.

"Halo," sapa Arora di ponsel.

Penelepon itu adalah Tista. Sebenarnya, Arora masih kaku memanggil ibu Ethan dengan panggilan Mama.

"Iya, Ma. Nanti aku bilang sama Ethan," balas Arora, saat Tista meminta ia dan Ethan untuk datang makan malam di rumahnya. "Atau aku bisa langsung ke sana setelah selesai latihan."

Tista setuju. Ia memang sekalian ingin dibantu untuk memasak.

"Iya, aku tinggal ganti pakaian, kok, Ma."

Arora meregangkan badannya begitu sambungan berakhir. Ia melakukan gerakan split untuk mendinginkan setiap otot-ototnya. Ia memang butuh pengalih perhatian agar tidak berkubang dalam duka. Setidaknya, dengan mengobrol bersama Tista, ia bisa bersantai sedikit.

*.*.*.

Ethan memasuki rumah orang tuanya. Matanya mengarah ke segala arah, mencari keberadaan Arora. Suara tawa yang ia kenal berasal dari dalam. Terlihat Arora dan ibunya sedang mengatur makanan di meja makan. Keduanya tampak sangat bahagia, hingga Ethan ikut tersenyum.

Ia mendekat pada Arora. Merangkul dan melayangkan kecupan di kening perempuan itu. Mungkin ia tidak sadar bahwa perlakuannya itu membuat Arora susah bernapas.

"Mau aku bantu?" tawar Ethan yang langsung ditolak oleh Arora. Menurut perempuan itu, Ethan harusnya istirahat karena pasti lelah dari bekerja. "Ya udah, aku ke atas dulu. Mau mandi," lanjut Ethan.

Ia kini berada di kamar lamanya. Sudah lama, ia tidak masuk ke kamar itu. Sejak memilih tinggal sendiri, ia jarang datang ke rumah itu. Apa lagi hubungannya dengan Tista sempat merenggang karena masalah Elvina. Setidaknya, mereka baik-baik saja sekarang. Semoga nanti saat ia dan Arora harus bercerai, ibunya tidak akan marah.

Ia tidak mungkin tega menahan Arora lama di sisinya. Perempuan itu memiliki kehidupan sendiri.

Dasi yang terpasang di lehernya dilonggarkan. Ia menatap kamar yang ia tempati dari kecil hingga lulus kuliah. Tidak banyak yang berubah, hanya ranjang yang sudah diganti. Meja belajar pun tidak lagi di tempatnya. Kata Tista, meja belajar itu ia letakkan di kamar Edgar, adik Ethan.

Bingkai berdiri di nakas. Ia meraihnya, lalu tersenyum. Gambar itu diambil saat ia berulang tahun ke-7. Di depan kue ulang tahun dua tingkat berwarna biru, Ethan berdiri di samping Arora dan Jojo. Arora menunduk dengan gerakan siap meniup lilin, Jojo tersenyum lebar memamerkan dua gigi atasnya yang tanggal sambil , dan ia sendiri hanya berdiri menatap Arora.

Hari itu masih jelas di benak Ethan, saat Arora merengek ingin meniup kue ulang tahunnya. Adeline sempat menarik Arora untuk menjauh. Namun, Ethan membawa Arora untuk meniup lilinnya. Temannya itu memang selalu begitu, ingin meniup semua lilin ulang tahun. Alasannya sederhana, ia ingin berdoa sebelum meniup lilin.

"Aku berharap Papa bahagia di surga." Itu jawaban Arora kecil saat Ethan bertanya tentang harapan yang selalu ia minta sebelum meniup lilin. "Kamu tidak boleh bilang sama siapapun, apa lagi Jojo. Dia cerewet. Kalau orang-orang tau, nanti Tuhan tidak kabulkan."

Sungguh Arora yang polos. Ia pun tidak jauh berbeda. Dulu, harapannya hanya satu, kebahagiaan Arora. Namun, ia ragu perempuan itu bahagia bersamanya. Entah kenapa, mata temannya sejak kecil itu seperti memiliki luka. Ia sudah sering memancing agar Arora bercerita perihal masalahnya, tetapi selalu saja dibalas dengan kata bahwa ia baik-baik saja. Ia tidak percaya.

Mungkin benar, setiap orang berubah. Namun, di balik setiap perubahan selalu ada alasan yang mengikuti. Untuk itu, ia ingin tahu alasannya. Jika memang Arora terluka, ia ingin menjadi orang pertama yang membalut luka itu.

Ia tidak mungkin lupa bagaimana Arora yang langsung menjadi pendiam setelah ayahnya meninggal. Untungnya, ia bisa mengembalikan senyum di wajahnya.

Ethan yang masih asyik dengan ingatannya, tidak menyadari kedatangan Arora. Ia masih memegang bingkai, saat Arora menyentuh lengannya.

"Kamu belum mandi?" tanya Arora.

Bingkai yang ada di tangan Ethan disodorkan pada Arora. Lelaki itu berkata bahwa ia sangat menyukai Arora di gambar itu. Lebih periang dan hangat.

"Aku gak tau kamu kenapa, Ra. Tapi, kalau kamu butuh aku, aku selalu ada." Entah berapa kali ia mengatakan hal itu pada Arora. Jika harus mengatakannya seribu kali, akan ia lakukan.

"Aku baik-baik saja," jawab Arora seperti biasa. Ia terkesiap saat direngkuh oleh Ethan. Tubuhnya kini berada dalam pelukan lelaki itu.

"Katanya pelukan bisa menjadi obat untuk hati yang sakit," bisik Ethan.

"Aku baik ...," bela Arora yang langsung dipotong oleh Ethan, "Aku tau kamu bohong, Ra. Ingat, kalau ada orang yang sangat mengenalmu, itu aku."

Pelukan Ethan mengerat. Matanya terpejam, menghadirkan wajah Arora. Sudah sebulan mereka tinggal bersama, setiap hari hanya senyum Arora yang ia lihat. Namun, mata perempuan itu tidak terlihat bahagia. Ia bukan tipe orang yang peka, tetapi berbeda jika hak itu menyangkut Arora. Hanya sekali menatap mata perempuan itu, ia bisa tahu perasaannya.

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang