"Bisakah waktu berhenti. Biarlah kita terus begini, saling menggenggam."
*.*.*.
Jendela disingkap oleh Arora. Sinar jingga fajar menyusup masuk di kamar itu. Tampak lelaki yang masih terlelap di dalam selimut. Ia menggeliat saat matanya diterpa cahaya sang surya.
Bibir Arora menyungging. Ia tatap lama Ethan yang menutupi mata dengan lengan. Lelaki itu meracau tak jelas, mungkin protes karena tidurnya terganggu.
Pintu ditutup oleh Arora saat ia mulai masuk ke dalam dapur. Dengan sekotak premiks, ia meracik adonan untuk membuat waffle. Seminggu telah berlalu setelah ia menetap di apartemen Ethan. Dan seminggu itu menjelma hari bagai di surga bagi Arora.
Setiap ia bangun wajah Ethan menjadi wajah pertama yang ia tatap. Senyum suaminya itu selalu menjadi pelipur lara. Pagi hari, mereka akan sarapan bersama. Saat pulang bekerja, Ethan akan menemaninya bercanda. Seakan mereka adalah suami-istri sesungguhnya.
Ia lalu mendongak saat derap langkah mendekat. Ethan hanya mengenakan celana pendek dengan rambut acak-acakan. Matanya masih bengkak, mungkin karena semalam ia habis begadang menonton bola. Sebenarnya, Arora juga bangun menemaninya, tetapi perempuan itu tertidur sebelum babak pertama selesai.
"Buat apa?" Ethan duduk di kursi, lalu menjatuhkan kepala di meja makan. Kepalanya masih berat.
"Waffle," jawab Arora. Tangannya sibuk meletakkan waffle yang ia angkat dari cetakan.
Aroma kuat kopi hitam yang keluar dari mesin kopi ke cangkir putih menguar. Aroma itu menggoda hidung Ethan untuk mengangkat kepala. Ia tersenyum menatap ke arah mesin kopi. Ia cukup senang selama menikah dengan Arora. Perempuan itu sangat cekatan mengurus segala keperluannya. Kadang ia merasa bersalah karena membuat Arora kesusahan. Namun, ya, ia sangat menikmatinya.
Secangkir kopi tersaji di depan Ethan. Juga sepiring waffle yang ditaburi gula halus dan beberapa jenis berry. Arora kemudian ikut duduk untuk ikut menikmati waffle dan teh lemon.
Hari Minggu adalah saat bagi Ethan untuk rebahan. Ia tidak suka keluar, lebih betah tinggal di rumah. Biasanya ia akan menonton acara olahraga, mulai dari bola hingga UFC. Kadang juga, ia keluar untuk jalan atau liburan dengan Elvina. Karena sekarang ia tinggal dengan Arora, jadi seluruh hari liburnya mungkin akan ia habiskan berdua saja dengan Arora di rumah, mengobrol atau sekadar duduk bersama.
"Telpon dari siapa?" Ethan menatap Arora yang sedang tertawa dengan ponsel menempel di telinga. Ia tahu tidak ada hak untuk bertanya seperti itu, tetapi rasa penasaran mendorongnya. Sangat jarang Arora tertawa lepas seperti itu, seakan perempuan yang ia kenal kembali.
"Jojo," jawabnya, senyum masih tersungging. "Kamu mau bicara?"
Ethan menggeleng-geleng. Jika ia ingat lagi, Arora saat mereka masih sekolah dulu tidak begitu dekat dengan Jojo jika dibandingkan dengannya. Perempuan itu sering mengutuk tingkah Jojo yang sering bergonta-ganti pasangan.
"Aku masuk ke kamar kalo gitu." Ethan berbalik menuju kamar tanpa menunggu balasan dari Arora.
Di dalam kamar, ia berdiri di depan pintu dengan tangan berlipat. Ia mencoba menghubungkan segala yang ia tahu, juga mengingat perkataan Jojo saat upacara pernikahan.
"Aku tidak segan memukulimu kalau berani menyakiti Arora." Begitu ancaman Jojo saat menyerahkan Arora.
Apa mungkin Arora dan Jojo memiliki hubungan lebih dari sahabat di belakangnya? Sejak mereka kecil, Ethan lah yang selalu dianggap berpacaran dengan Arora, kerena mereka sangat lengket. Namun, setelah mereka lulus SMA, keadaan berubah. Ada jarak yang terbentang antara ia dan Arora. Sebaliknya, Jojo dan Arora seakan tidak terpisahkan. Setelah ke Rusia pun, Jojo tetap lancar mengunjungi Arora. Aneh, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.