"Aku tidak punya hak untuk menahanmu. Namun, tinggallah lebih lama di sini."
*.*.*.
"Mama tuh gak sabar mau nimang cucu. Teman-teman Mama udah pada punya cucu." Begitu kata Tista saat merek makan malam tadi.
Ethan tadi sempat memperhatikan Arora yang hanya tersenyum. Ia yakin perempuan itu pasti tidak nyaman mendengar perkataan Tista. Bagaimana pun, ia yang menyeret Arora dalam masalah itu.
"Maaf, soal Mama tadi," ucap Ethan, ia menaiki tangga beriringan dengan Arora. Atas permintaan Tista, mereka menginap.
Menurut Arora, tidak ada yang harus dimaafkan. Ia bisa mengerti mengapa Tista sangat ingin memiliki cucu. Hal itu tidak jauh beda dengan ibunya, Adeline. Ia berkata bahwa sering ditanyakan kapan memiliki anak.
"Justru, aku yang harusnya minta maaf. Kalau bukan karena aku, kamu gak harus ...," lirih Arora yang dipotong oleh Ethan.
"Jangan bilang begitu! Aku tidak menyesal sama sekali. Aku senang bisa tinggal sama kamu." Ia merangkul Arora, lalu menuntun untuk masuk ke kamarnya.
"Aku bisa tidur di sofa, kalau kamu tidak nyaman," ungkap Ethan.
Membiarkan Ethan tidur di sofa bagi Arora adalah ketidaksopanan. Ia meminta lelaki itu untuk tidur di sampingnya. Lagi pula, ia yakin Ethan tidak akan menggigit. Lelaki itu bukan singa yang harus ditakuti. Arora bahkan tidak peduli jika Ethan adalah singa yang bisa menerkam.
Sepasang anak Adam itu bersandar di kepala ranjang. Arora menatap Ethan yang juga sedang berbalik padanya. Saling mengulas senyum, lalu tertawa pelan.
"Waktu kamu ke Rusia, aku kesepian, Ra. Semua tiba-tiba, kamu gak pernah bilang kalau mau pergi," ungkap Ethan, tatapannya mengarah pada langit-langit kamar.
Setelah acara perpisahan sekolah waktu itu, Arora menjadi sangat sibuk latihan balet. Ethan juga belum pernah dapat kabar apa pun sebelumnya, tiba-tiba ibunya mengatakan bahwa Arora akan ke Rusia keesokannya.
"Aku menyusul ke rumahmu waktu itu. Tapi, ternyata kamu sudah pergi." Ethan masih menyimpan luka itu. Ia merasa seperti dikhianati. Bertanya-tanya pada diri sendiri bahwa mungkin Arora sudah tidak menganggapnya sahabat.
Arora melirik Ethan sambil menggigit bibir bawahnya. Ia ingat betul, awalnya hanya ingin mendaftar di kampus yang sama dengan Ethan. Ia akan mengambil jurusan seni tari. Rasa sakit dan kecewa mendorongnya untuk pergi. Dulu, ia berharap dengan berlari, lukanya bisa sembuh dibalut oleh waktu. Namun, ia salah. Sakit itu terus menggerogoti. Kenyataan bahwa Ethan tidak lagi di sampingnya menggerogoti hatinya hingga busuk karena nanah.
"Aku senang atas keberhasilan kamu, Ra. Tapi, aku gak bisa bohong kalau waktu itu aku benar-benar terluka. Seperti sebagian dari hidupku kamu bawa," tambah Ethan.
Bagi Ethan, Arora memiliki tempat yang sangat indah di hatinya. Setiap kali menatap senyum Arora, seakan semua beban di pundaknya luruh tidak tersisa. Namun, setelah pergi untuk mengejar impiannya, perempuan itu merentangkan jarak dan seakan menciptakan tembok besar yang tidak bisa dilalui olehnya.
"Aku dulu pernah berpikir, apa aku punya salah? Mungkin saja ada kata yang pernah kukatakan dan melukaimu," cerita Ethan.
Tidak ingin Ethan merasa bersalah, Arora meraih jemari lelaki itu, lalu berkata, "Aku pergi murni untuk belajar balet. Kamu gak salah apa pun."
Di benak Arora berputar kejadian di masa lalu, di mana ia tidak sengaja melihat Ethan dan Elvina yang sedang berpegangan tangan di salah satu mall. Luka di dalam hatinya melebar. Itu juga yang menjadi alasan hingga ia akhirnya mendaftarkan diri di salah satu sekolah balet tertua di dunia.
"Lalu, kenapa kamu seperti menghindariku?"
Ethan pasti tidak tahu bahwa saat Arora mencoba untuk menjauh, hatinya seperti diiris-iris tipis. Perasaannya hancur, tetapi terpaksa harus menghindar.
"Kamu punya Elvina, kenapa sedih?" Mengucapkan hal itu seperti memukul keras dirinya. Kenyataan bahwa dalam tujuh tahun yang ia lewatkan, Elvina ada di sana, di samping Ethan.
"Ya, untungnya aku punya Elvina. Aku mungkin bisa kuat setelah kamu pergi karena dia."
Kepala Arora disandarkan ke pundak Ethan. Matanya terpejam, berusaha berkata bahwa semua baik-baik saja. Ia kini memiliki Ethan dan tidak akan direbut oleh siapa pun.
"Kamu pasti sangat cinta sama Elvina," sebut Arora. "Dia beruntung bisa dapat cinta kamu," ia melanjutkan dengan hati yang berdarah-darah.
Tidak ada balasan dari Ethan. Lelaki itu hanya tersenyum. Ia merentangkan tangan, lalu merengkuh Arora dalam dekapannya. Ia baru sadar bahwa secinta apa pun ia pada Elvina, tidak ada yang bisa menggantikan hangat yang dimiliki oleh Arora. Entah kenapa, ada nyaman dan bahagia yang berbeda saat ia bersama dengan perempuan yang kini ia peluk.
"Aku jadi penasaran bagaimana kamu dan Elvina bisa ketemu. Kok bisa, aku gak tau kamu punya pacar waktu SMA?" Arora tahu jawaban dari pertanyaannya hanya akan menambah luka di hatinya. Namun, otaknya yang bebal terus mendorong agar Ethan bercerita.
"Waktu itu kami ketemu di pertandingan basket antara sekolah kita dan sekolahnya."
"Bagaimana bisa? Kamu jatuh cinta pada pandangan pertama?"
Terkutuklah rasa penasaran dalam diri Arora. Dadanya kini seperti di jatuhkan keras dari ketinggian, hancur tidak tersisa.
Arora masih ada dalam pelukan Ethan saat lelaki itu memutar memorinya menuju hari di mana ia menghadiri pertandingan basket di sekolah Elvina. Laga itu merupakan laga persahabatan sebenarnya.
Saat itu, pertandingan sedang berlangsung. Ethan asyik mendribble bola. Bola sudah hampir masuk, tetapi langsung direbut lawan. Ia mengejar. Temannya berhasil merebut bola, ia pun berlari untuk mengejar. Saat temannya ingin menembak, seorang lawan menghadang dengan mendorong bola. Bola itu melesat menuju salah satu pemandu sorak tim lawan.
Semua terjadi sangat cepat. Untungnya, Ethan bisa menarik perempuan yang terkesiap.
"Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Ethan.
Perempuan itu menggeleng. Ia lalu pergi seperti permintaan Ethan. Pertandingan lalu berjalan lagi, seakan tidak terjadi apa-apa. Ethan membawa kemenangan untuk sekolahnya. Perasaan tidak sabar untuk segera menjenguk Arora yang saat itu sedang demam membuat ia pulang lebih dahulu.
Siapa sangka, di perjalanan ia bertemu dengan perempuan yang ditolongnya tadi.
"Terima kasih sudah menolongku tadi," ucap si perempuan. "Aku Elvina." Ia mengulurkan tangan pada Ethan, yang langsung dibalas, "Aku Ethan."
Itu pertemuan pertama Ethan dan Elvina. Ia juga memberikan nomor ponselnya pada perempuan itu. Tidak ada perasaan tertarik di hati Ethan. Namun, mungkin karena ia sering berkomunikasi dengannya, hingga timbul ketertarikan.
Butuh waktu beberapa bulan untuk Ethan akhirnya meminta Elvina untuk menjadi pacarnya. Jika ia ingat lagi, saat itu ia tidak mencintai kekasihnya itu. Ia memiliki alasan sendiri, hingga memutuskan untuk mulai berpacaran pada usia tujuh belas tahun.
*.*.*.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.