Scars That I Create

1.8K 107 3
                                    

"Nyala itu semakin terang, bersama namamu yang semakin dalam terukir dalam sanubari."

*.*.*.

Malam semakin gelap. Bulan separuh yang tadi tampak berteman bintang telah ditutupi oleh awan. Semilir angin menerpa kulit Arora yang masih berdiri di balkon bersama Jojo. Tangannya memerah akibat memegang erat terali.

Ingatan tentang perkataan Ethan seperti mencabik-cabik jiwanya. Luka yang ia tanggung begitu dalam. Sialnya, tidak ada yang bisa ia salahkan selain diri sendiri. Salahnya, kerena berani mencintai, karena berani melangkah meski tahu bahwa Ethan selalu menuju ke arah yang berbeda.

"Kamu yakin mau melanjutkan pernikahan kalian?" Jojo bertanya, pandangannya teralih pada Arora. Bagaimana pun, ia berada di tengah-tengah antara Arora dan Ethan. Ia marah karena Ethan melukai Arora. Namun, ia yakin temannya itu tidak bermaksud demikian. Ia juga tidak mau, kedua sahabatnya itu akhirnya hanya saling melukai.

Mendengar pertanyaan Jojo, Arora hanya terdiam. Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan pertanyaan yang sama. Lalu senyum terulas dari bibirnya.

"Aku sudah sampai di sini, Jo, terlambat untuk mundur."

"Aku tidak mau kamu terluka seperti ini, Ra. Untuk apa kamu menikah dengan Ethan kalau cuma untuk menderita?"

Gelengan merespon pertanyaan Jojo. Arora tidak akan mundur. Ia telah mengambil langkah untuk berperan sebagai perempuan licik. Jika mundur, ia tidak akan mendapatkan apa-apa sama sekali.

"Aku akan bicara sama Tante Tista dan mama kamu," bujuk Jojo. Bayangan tentang luka yang akan menghancurkan persahabatan mereka membayanginya. Ia juga bertanggung jawab karena malam itu memutuskan untuk membantu Arora.

"Kalau Ethan tau, dia pasti marah dan pergi dariku," sebut Arora, menggeleng-geleng membayangkan hal ngeri itu. "Aku tidak peduli jika hanya menjadi istri di atas kertas, selama Ethan di sampingku.

"Ra, kamu tau 'kan kalau suatu saat kebohongan kamu terungkap, Ethan akan lebih marah lagi."

Arora memejamkan mata. Ia tahu, tetapi hatinya bebal. Matanya terbuka lalu menatap tajam ke arah Jojo. Ia mengaku sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi jika suatu hari Ethan mengetahui kenyataannya.

"Saat Ethan tau, aku yakin dia sudah mencintaiku," jawab Arora.

"Dia sayang sama kamu, Ra. Sam seperti aku, tapi bukan sayang pada pasangan. Kita sudah sahabat dari kecil, aku gak mau nanti persahabatan kita hancur gara-gara ini."

"Persahabatan?" lirih Arora, ia tertawa pelan dan melanjutkan, "Persahabatan kita memang sudah hancur sejak aku memutuskan mencintai Ethan."

Tidak ada yang bisa Jojo katakan lagi. Arora sedang menggali kuburannya sendiri. Sebagai teman, ia ingin menghentikannya. Namun, entah kenapa ia justru berakhir membantu perempuan itu. Rasanya, tidak tega jika melihat Arora menangis.

"Terima kasih, Jo. Aku gak tau bagaimana kalau kamu gak ada," ucap Arora, memeluk Jojo dengan air mata yang menetes. Ia diberkahi oleh dua sahabat yang baik. Mungkin ia memang terlalu serakah karena mengharapkan hal lebih dari Ethan.

"Aku akan selalu ada untuk kamu, Ra. Percaya itu."

Arora percaya. Ia percaya pada Jojo, juga pada Ethan yang akan selalu bersamanya.

Awalnya hanya gerimis pelan, hingga akhirnya debit air hujan makin bertambah. Percikan hujan mulai mengenai wajah Arora yang setia berdiri di balkon. Jojo sudah berkian kali mengajaknya untuk masuk. Namun, ia ingin berada di sana.

Ingatan Arora kembali ke hari sebelumnya. Saat hujan belum reda dan ia memutuskan untuk pulang dari apartemen Ethan.

*.*.*.

Arora berjalan tergesa-gesa untuk kembali ke parkiran. Satu tangannya berada di dada kiri. Detakan jantungnya sangat cepat dan napasnya tersengal-sengal. Ia masih terus berjalan dengan luka yang menganga.

Saat tiba di mobilnya, ia langsung bersabda di kursi. Matanya terpejam lama dengan bahu naik turun cepat. Sakit sekali. Setiap kata Ethan seakan mengiringi hati Arora. Melihat senyum Ethan dan Elvina seperti cambuk yang menghantam setiap sendinya.

Kepalanya lalu terjatuh di setir mobil. Tangisan dengan lolongan pilih memenuhi mobil itu. Ia tidak mau menangis, tetapi rasa sakit itu tidak tertahan lagi.

"Kenapa? Kenapa harus Ethan?" pikir Arora, ia bertanya pada hatinya yang bodoh. Hatinya yang sungguh tidak tahu diri hingga berani menjadi duri dalam hubungan Ethan dan Elvina.

Sekitar setengah jam Arora menumpahkan kekesalan dan kesedihannya. Ia kemudian melajukan mobil untuk meninggalkan basemen gedung apartemen itu. Sudah diputuskan, Arora dan Ethan akan menikah selama setahun. Setelah itu, mereka akan bercerai, seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka bisa terus berteman seperti yang seharusnya.

Mereka bahkan belum menikah. Kini, justru harus memikirkan perceraian. Segitu cintanya Ethan pada Elvina. Padahal, Arora yakin cintanya pada Ethan lebih besar dari Elvina.

Untuk mengusir kegalauan, Arora menyetel musik sekencang-kencangnya. Berharap alunan kencang itu bisa menyamarkan luka hatinya. Setidaknya, dengan musik yang berdentum-dentum, kepalanya bisa teralihkan.

Mobil Arora berhenti di depan rumah. Ia turun, lalu berhenti lama. Hujan yang masih deras mengguyur tubuhnya. Rambutnya yang ikal mulai lurus karena basah. Tatapannya lurus ke depan. Sesekali mengusap wajah karena matanya perih akibat tetesan air.

"Non!" pekik Mbok Sri, ia berlari masuk mengambil payung. Masih berlari, ia segera memayungi Arora. "Ayo masuk, Non!" ajaknya, sementara yang diajak bergeming seakan tidak mendengar.

Mbok Sri merangkul Arora. Ia tidak tahu kenapa majikannya itu sangat murung sejak kembali dari Rusia. Ia yakin telah terjadi sesuatu, hingga sifat perempuan yang sudah ia jaga sejak kecil berubah. Ia mengelus pelan bahu Arora, mencoba untuk mengerti luka yang entah diakibatkan oleh apa.

Masih jelas di ingatan Mbok Sri saat ayah Arora meninggal. Arora kecil juga sangat murung saat itu. Ia selalu menolak untuk makan, hanya mau menyendiri. Seperti sekarang, saat itu Arora juga selalu berdiri di bawah derasnya hujan.

"Ayo kita masuk, Non! Nanti sakit, Nyonya pasti akan khawatir. Apa lagi sebentar lagi Non Arora mau menikah."

Arora mengigit bibir begitu mendengar kata 'menikah'. Benar, dia menang akan menikah. Namun, pernikahannya tidak seperti dengan pernikahan yang sepatutnya. Ia hanya tameng agar Ethan bisa menyenangkan ibunya. Setelah saatnya tiba, ia akan ditendang keluar dari pernikahan itu, lalu digantikan oleh seorang yang lebih pantas.

Tangan Arora melingkar di bahu Mbok Sri. Perempuan paruh baya itu jauh lebih pendek dari Arora.

"Aku harus bagaimana, Mbok?" lirih Arora dengan bahasa Rusia, mula terisak. Ia menangis lagi, mulai mengakui alasan kesedihannya pada Mbok Sri, meski dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh pembantu di rumahnya itu.

Mbok Sri sama sekali tidak mengerti dengan perkataan Arora. Namun, ia akhirnya tahu bahwa majikan mudanya sedang terluka.

"Hidup memang tidak mudah, Non. Tapi, Nona harus kuat dan tegar. Apa pun masalah Nona, semua pasti akan terselesaikan."

Entahlah? Arora ragu masalahnya akan terselesaikan, karena makin lama masalahnya hanya akan semakin kompleks. Ia telah memasuki ruangan yang hanya akan menjadi bumerang. Selayaknya bom waktu yang hanya menunggu untuk meledak. Namun, ia akan kuat dan tegar. Saat bom itu meledak, ia harus menyiapkan diri agar tidak terpengaruhi.

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang