Love Scale

2K 131 3
                                    

"Apalah arti genggamanmu, jika hatimu masih berada di seberang hatiku."

*.*.*.

Sore itu gerimis mulai menyapa jalanan yang panas. Awan yang tadi putih berganti kelabu. Orang-orang mulai mempercepat langkah menuju emperan untuk berteduh. Ada juga yang memilih halte, bahkan sekalian singgah di kedai kopi untuk menghangatkan diri.

Hanya diawali gerimis, lantas menderas hingga suara guntur ikut menggelegar. Klakson-klakson berlomba-lomba di jalanan yang padat merayap. Pengendara motor yang tidak menyediakan jas hujan ada yang minggir untuk mencegah basah. Namun, ada juga yang memilih untuk mencari cela agar bisa segera sampai ke tujuan. Tidak peduli jalur busway atau lampu jalan yang berwarna merah.

Arora ada di salah satu pengendara mobil yang lajunya sangat pelan. Kalau bukan karena Ethan yang meminta, ia tidak akan keluar rumah. Ia rela berbohong pada ibunya bahwa ada keperluan mendadak di studio balet yang sedang ia bangun.

Entah berapa lama perempuan itu terjebak dalam macet. Ia sudah sangat bosan di dalam mobil sendiri. Suara penyanyi yang ia setel silih berganti menyanyikan tembang dengan melodi indah. Sesekali Arora ikut bernyanyi, tidak peduli pada suaranya yang sumbang, demi membunuh waktu.

Selain lagu, Arora juga sempat berbincang sebentar dengan Jojo yang katanya sedang berada di Nusa Tenggara untuk melakukan pemotretan. Lelaki itu berkata akan segera pulang begitu sesi pemotretan selesai.

Senyum di wajah Arora terus mengembang. Tidak sabar untuk bertemu dengan lelaki yang ia cintai. Lelaki yang akan menjadi suaminya. Langkahnya cepat menuju salah satu lift yang akan membawanya ke apartemen Ethan, tempat yang mereka sudah janjikan akan bertemu.

Bel ditekan oleh Arora. Tidak lama, muncul Ethan yang tersenyum menyambut kedatangannya. Lihatlah lelaki itu, begitu tampan dan nyaris sempurna di mata Arora.

"Ada apa?" tanya Arora, ia duduk di sofa sambil memeluk bantalan sofa yang lembut.

Ethan yang masih berdiri meminta Arora untuk menunggu. Ia lalu masuk ke dalam kamar, lalu keluar lagi.

"Tunggu, ya, Elvina masih tidur," tutur Ethan.

Mungkin suara guntur atau mungkin memang hati Arora yang sedang bergemuruh mendengar ucapan Ethan. Mereka akan menikah, lalu mengapa ada perempuan lain yang tertidur di ranjang Ethan. Ia sangat mencintai lelaki itu, hingga rasanya tidak bisa tertahan. Namun, bahkan setelah semua usahanya, selalu saja ada nama perempuan lain dari bibir lelaki itu.

"Kamu mau minum apa?" Ethan mencoba menawarkan.

Arora hanya menggeleng. Bibirnya seperti sukar bergerak. Kalau bisa, ia ingin segera berlari. Membawa pergi sakit dan luka yang selalu tertoreh di hatinya. Ia menunduk, mengatur napas agar tidak meneteskan air mata.

"Aku buat yang hangat aja kali, ya. Kamu pasti dingin karena hujan."

Terserah, Arora tidak peduli pada dingin hujan. Bukan karena ia terbiasa dingin saat menetap di Rusia, tetapi dingin akibat sepi yang tercipta akibat mencintai Ethan lebih menyiksanya.

Ditinggal sendiri di ruang tamu membuat Arora leluasa untuk menumpahkan sedih dengan air mata. Bibir bawahnya ia gigit sambil memejamkan mata. Mengapa mencintai begitu sulit untuknya?

Inginnya hanya satu, Ethan. Namun, meraih lelaki itu seperti mustahilnya meraih bintang di langit. Padahal, ia rela menukar apa pun demi mendapatkan cinta lelaki itu.

"Ini, teh lemon hangat." Ethan menyodorkan cangkir di meja depan Arora. Ia lalu menatap lama perempuan yang tidak menggubris minuman yang ia sodorkan sama sekali. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Arora bergeming. Tidak, ia tidak baik-baik saja. Mengetahui bahwa Elvina ada di apartemen Ethan membuat pikirannya melayang jauh. Iblis dalam dirinya tertawa, menertawai Arora yang begitu bodoh karena terus saja berharap pada sesuatu yang tidak pasti.

"Maafin aku, Ra. Kalau saja malam itu aku bawa kamu pulang ke rumah, pasti kamu gak perlu terjebak dalam situasi katak gini," tutur Ethan. Lelaki itu tampak tulus saat menatap Arora.

Masih belum ada jawaban dari Arora. Lidah perempuan itu kelu. Di kepalanya seperti ada tawa Ethan dan Elvina yang saling bersahutan. Di bayangannya, sepasang kekasih itu sedang bermesraan dengan tatapan penuh cinta. Tempat Elvina, ia menginginkannya.

Ethan beringsut, mendekat pada Arora. Ia sentuh jemari perempuan yang langsung terkesiap.

"Ada apa? Kamu seperti bukan Arora yang aku kenal," ungkap Ethan.

Arora menarik jemarinya. "Memangnya aku sekarang seperti apa?"

Ethan menatap Arora yang pandangannya hanya tertuju pada meja. Arora yang ia kenal tidak pernah murung seperti itu. Arora yang ia kenal selalu menjadi sumber semangat. Arora yang ia kenal sangat ceria. Seperti taman yang penuh bunga warna-warni. Seperti musim semi yang hangat. Itu Arora-nya, adik kecilnya yang cantik.

"Entahlah, Ra. Aku cuma merasa tidak mengenalmu."

Untun pertama kalinya, Arora menatap Ethan. "Dewasa itu sangat menakutkan."

Menjadi dewasa membuat jarak antara Ethan dan Arora. Jika saja mereka masih kanak-kanak, mereka pasti masih ada di taman sambil berlari-lari. Mereka mungkin masih duduk dengan tawa sambil mewarnai. Namun, karena proses dewasa, Elvina hadir dalam hidup Ethan. Juga karena dewasa, perasaan untuk memiliki Ethan makin bertumbuh di dalam diri Arora.

"Kamu tau kalau aku akan selalu ada untuk kamu, Ra. Seperti waktu kita kecil dulu."

Arora mengangguk pelan, berusaha mengulas senyum. Ia tahu bahwa Ethan tidak mungkin meninggalkannya. Ia tahu bahwa lelaki itu menganggapnya seperti saudara sendiri. Namun, bukan itu yang Arora mau.

"Kamu sudah bangun?" Ethan mendongak ke arah perempuan yang baru saja datang dari dalam.

Arora menatap Elvina yang matanya tampak bengkak. Ia menyunggingkan senyum ramah, lalu menyapa.

"Jadi, aku minta kamu ke sini untuk jelasin semua ke Elvina. Kalau kita memang menikah, tetapi tidak lebih karena permintaan Mama."

Arora ragu jika hatinya masih ada di di dalam dirinya. Entah berapa kali perasaannya harus hancur karena perkataan Ethan. Bukan salah Ethan juga, itu salah hatinya yang tidak tahu diri mengharapkan cinta yang tidak mungkin.

"Aku gak tau harus bilang apa," sebut Arora, ia tertawa kaku. "Maaf, El, aku harusnya gak mabuk malam itu. Aku juga gak tau kenapa Tante Tista bisa langsung datang. Tapi, kamu harus percaya, Ethan gak mungkin khianatin kamu."

Dada Arora seakan dihimpit oleh dua tembok. Terlebih saat ia mendengar perkataan Ethan bahwa mereka hanya akan menikah di atas kertas. Hingga waktu tertentu, mereka akan bercerai, lantas Ethan bisa menikah dengan Elvina.

Arora hanya bisa tersenyum pada sepasang kekasih yang hatinya saling bertaut. Ethan berjanji pada Elvina akan selalu menjaga hatinya hanya untuk perempuan itu seorang. Lalu, bagaimana dengan hati Arora? Jika hati Ethan telah dilabuhi oleh Elvina, di mana hati Arora akan berlabuh?

"Kami sejak kecil selalu sama-sama. Jadi, Arora itu seperti adikku sendiri. Tidak, dia memang adik kecilku," ungkap Ethan, ia mengalihkan pandangan dari Elvina ke Arora. "Tapi, kamu sudah besar sekarang." Ia mengacak rambut Arora.

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang