It's My Responsibility

1.6K 115 8
                                    

"Terpejamlah untuk saat ini. Tidak usah risau. Saat pagi menjelang, senyumku yang pertama kali menyapamu."

*.*.*.

Dua kotak pizza telah Jojo dan Arora habiskan, begitupun dengan botol kola yang tersisa setengah. Mereka bersandar di sofa, menjatuhkan kepala sambil mengusap perut.

"Kenyang banget, sumpah," adu Arora.

Ia sudah lama tidak makan makanan cepat saji semacam pizza, apalagi dengan porsi yang lumayan banyak. Itu karena Jojo yang meminta agar mereka berlomba. Sialnya, ia tidak bisa menyaingi kecepatan makan Jojo.

"Kok bisa kami tetao berotot kayak gini?" Arora menusuk-nusuk bisep Jojo dengan telunjuk.

Jojo memamerkan ototnya. "Tiap malam olahraga, hasilnya kayak gini." Satu matanya mengedip pada Arora.

Arora memutar bola matanya, lalu menatap Jojo jengah. Dasar lelaki itu, selalu saja berpikiran jorok. Kebiasaan memang sulit untuk diubah.

Ia senang bisa memiliki Jojo sebagai sahabat. Meski sering bertingkah menyebalkan, lelaki itu sering membantunya. Seperti sekarang, saat ia hancur, ada Jojo yang menghibur.

"Tadi siang waktu nelpon, kamu kayaknya pamer kali pernikahanmu bagai di surga. Kenapa nangis lagi?"

Arora mengingat lagi bagaimana Ethan memeluk Elvina tadi. Dari cara Ethan menatap kekasihnya, ia bisa tahu bahwa lelaki yang merupakan suaminya itu sangat mencintai Elvina. Sesak yang tadi telah menghilang, menyerang lagi.

Tawa Elvina yang mengejek menggema di benak Arora. Ia menggeleng-geleng, berusaha menghilangkan suara itu. Matanya memejam dan rahangnya mengeras menahan emosi yang menguasai dirinya.

"Elvina datang," jawab Arora akhirnya. Ia membalikkan wajah menjauh dari tatapan Jojo. Air matanya sudah sering dilihat oleh sahabatnya itu, tetapi entah kenapa kali ini ia ingin bersembunyi.

Jojo terdiam. Ia tidak tahu cara menghibur Arora. Bukannya perempuan itu tahu konsekuensi kerena menyetujui keinginan Ethan. Namun, ia tidak ingin Arora bersedih. Air mata tidak boleh membasahi pipi perempuan itu.

"Jangan nangis, Ra! Aku tau kamu kuat, bagaimanapun kamu sudah tau kalau Elvina memang lebih berhak atas Ethan."

Anggukan membalas perkataan Jojo. Arora tentu saja tahu hal yang diucapkan oleh Jojo. Meski begitu, masih saja ada sakit yang tidak tertahan.

"Jo, dari kacamata seorang lelaki, kalau disuruh memilih antara aku dan Elvina, kamu pilih siapa?"

Tanpa berpikir, Jojo menjawab, "Tentu saja kamu."

Bukannya merasa baikan, Arora justru mengatai Jojo sebagai pembohong. Ia menganggap lelaki di sampingnya berkata seperti itu untuk menyenangkan hatinya.

"Aku jujur, Arora. Ini bukan karena kita sahabatan. Tapi, sebagai lelaki dewasa, aku lebih suka tipe perempuan seperti kamu. Elvina terlalu baik untuk aku."

Tidak terima pada kalimat terakhir Jojo, Arora meninju lengan lelaki itu. Lalu bertanya, "Apa aku tidak baik?"

"Bercanda, Ra. Secara wajah, body, dan sifat, aku lebih suka kamu. Tapi, aku bukan Ethan. Mungkin dia melihat sesuatu dari Elvina yang tidak dimiliki perempuan mana pun. Bayangin, dua bertahan bertahun-tahun meski Tante Tista tidak memberi restu. Kamu tau sendiri, Ethan takut banget sama mamanya," jelas Jojo.

Arora termenung. Cinta baginya adalah misteri. Ia tidak tahu mengapa Ethan sangat mencintai Elvina. Ethan lebih dahulu mengenalnya. Mereka dekat seakan tidak terpisahkan, tetapi mengapa hati lelaki itu justru dijatuhkan pada perempuan lain. Kurangnya apa?

Ia lalu berbalik menatap Jojo, saat lelaki itu meraih jemarinya.

"Kamu berhak bahagia, Ra. Kamu boleh berlari mengejar Ethan, tapi jangan lupa kalau kamu merasa lelah, aku akan selalu ada untuk menemani kamu."

Entah sudah berapa kali Jojo mengatakan hal itu? Ia tidak bosan, karena ia bersungguh-sungguh. Tidak peduli apa pun yang terjadi, ia tidak akan meninggalkan Arora.

Waktu terus berputar, malam pun semakin larut. Obrolan mereka melompat, dari masa lalu ke masa depan, lalu berputar lagi. Seakan waktu semalam tidak akan cukup.

Mata Arora makin sayup, hingga akhirnya tetidur saat bersandar di bahu Jojo. Tidak lama tertidur, ponselnya yang ada di tas berdering.

*.*.*.

Ethan mondar-mandir di depan lift. Ia baru saja mengantar Elvina hingga di lobby. Sudah hampir jam di belas malam, dan Arora belum pulang hingga kini. Ia sudah mengingatkan agar tidak pulang larut. Banyak pikiran buruk yang berpendar di benaknya. Bagaimana jika ternyata ada orang yang menjahati Arora?

Satu menit terasa sejam oleh Ethan. Dari tadi, ia sudah khawatir, tetapi ada Elvina yang mencoba menenangkan. Mungkin Elvina benar, ia terlalu berlebihan mengkhawatirkan Arora, padahal perempuan itu sudah besar, bukan akan kecil seperti dulu lagi.

Ethan masuk ke unitnya. Ia masuk ke kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Ia terus menimbang antara menelepon Arora atau tidak. Kata Elvina tadi, Arora mungkin akan merasa tidak nyaman tinggal bersamanya jika ia terlalu mengekang. Namun, khawatir di hatinya tidak bisa hilang begitu saja.

Siapa peduli jika Arora akan marah karena ia terlalu mengekang. Kakak lelaki wajar bertingkah seperti itu. Ia pun meraih ponselnya, lalu menelepon Arora. Di luar dugaan, yang menerima telepon justru Jojo. Ia sama sekali tidak menyangka teman yang dimaksud oleh Arora adalah Jojo.

"Bawa Arora pulang sekarang!" suruh Ethan. Ia tidak setuju dengan permintaan Jojo untuk membiarkan Arora menginap di sana. Curiga semakin mengakar dalam dirinya, bahwa mungkin Arora dan Jojo memiliki hubungan yang lebih dari sahabat.

Jojo masih bersikeras meminta agar Arora menginap di rumahnya. Ia beralasan Arora sudah tidur, tidak enak jika harus membangunkannya.

"Tidak, Jo. Mama mau datang besok pagi, kalau sampai Arora tidak ada di sini, pasti marah." Ethan berbohong. Ia tidak mau Arora dekat dengan Jojo. Ia pun tida tahu kenapa, mungkin karena ia tahu bahwa Jojo adalah playboy.

"Tapi ...." Jojo ingin mendebat, tetapi langsung dipotong oleh Ethan. "Gak pake tapi, bawa pulang sekarang!"

Tidak mau terlibat perdebatan tidak penting dengan Jojo, Ethan memutuskan sambungan. Rahangnya mengeras. Buku-bukunya tercetak jelas saat ia menggenggam erat ponselnya. Jojo adalah sahabatnya. Itu sebabnya ia tahu benar tabiat lelaki itu. Dan, perempuan sebaik Arora pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Jojo.

Mungkin sekitar lima belas menit Ethan berdiri di lobby. Dari duduk di sofa tunggu, hingga mondar-mandir tidak jelas. Kalau lima menit lagi Jojo tidak datang, ia sendiri yang akan menjemput Arora. Jika hal itu sampai terjadi, demi Tuhan, ia akan memberi pelajaran pada Jojo.

Dari pintu masuk, Ethan melihat Jojo yang sedang membantu Arora untuk berjalan. Arora mirip orang teler. Jangan bilang, Jojo lagi-lagi membiarkan Arora minum alkohol.

"Aku sudah bilang, Arora lagi tidur." Jojo menatap Ethan yang sudah berdiri di depannya.

Tanpa menanggapi perkataan Jojo, Ethan menarik Arora yang sepertinya tidak mampu menahan kantuk. Ia pun memutuskan untuk membopong istrinya itu.

"Kamu gak bilang terima kasih?" teriak Jojo yang merasa diacuhkan oleh Ethan. Dalam hati ia bingung sendiri. Ia jadi bertanya-tanya apa yang membuat Ethan aneh seperti itu.

Ethan terus berjalan menuju kamar Arora. Ia kemudian membaringkan perempuan itu di ranjang. Lantas menutupi tubuhnya dengan selimut. Seketika mata Arora membuka. Ia menatap Ethan lama.

"Jojo di mana?" tanya Arora, suaranya serak.

Tidak salah lagi, kecurigaan Ethan pasti benar. Lihat, baru bangun saja, Arora langsung mencari Jojo.

"Apa kamu pacaran sama Jojo?"

*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang