"seperti karang di lautan, aku akan tetap mencoba untuk bertahan."
*.*.*.
Elvina sedang menunggu Ethan untuk menjemputnya di Bandara. Ia baru saja pulang dari Bali, karena ada kegiatan yang harus ia ikuti di sana. Sebagai salah satu pemilik brand kosmetik lokal ternama, ia hadir untuk menyemarakkan salah satu pergelaran acara pegeant.
Sudah seminggu ia tidak bertemu dengan Ethan. Ia rindu. Kekasihnya itu juga ingin mengatakan sesuatu. Hal itu sudah Ethan sampaikan sejak lama, tetapi mereka belum ada kesempatan untuk bertemu. Selain itu, ia juga harus segera meluruskan masalah Arora. Ia ingin memastikan perasaan lelaki itu, apakah mungkin hubungannya dengan Arora lebih dari sahabat?
Ia sedang berdiri di area penjemputan dengan koper di sampingnya. Kemudian melambai saat melihat Ethan yang mengenakan kemeja dan celana bahan.
"Aku kangen," aku Elvina, menggelayut di lengan Ethan.
Ada yang berbeda dari Ethan, Elvina bisa merasakannya. Seperti ada tembok yang dijadikan lelaki itu sebagai penghalang. Sebuah tembok yang sepertinya terbuat dari es. Lelaki itu tidak menjawab sama sekali. Ia langsung meraih koper dan menggeretnya menuju mobil. Elvina yang masih menggelayut berusaha untuk menyamai langkah Ethan.
Suasana di dalam mobil sama dinginnya. Ethan terfokus pada jalan, melirik pun, ia seakan tidak tertarik. Sementara itu, Elvina dipenuhi pikiran tentang kemungkinan kesalahan yang ia perbuat hingga lelaki itu marah.
"Sayang, kamu marah, ya?"
Ethan menggeleng sebagai jawaban. Hanya senyum kaku yang diberikannya pada Elvina. Sadar bahwa ada perubahan dalam sikap Ethan, Elvina memilih diam dan hanya menikmati musik yang terputar. Ia juga masih lelah, hingga memutuskan untuk tidur.
Perjalanan itu memakan waktu cukup lama. Hanya suara Taylor Swift yang kini mengalun. Elvina telah pulas dalam tidurnya, sementara Ethan fokus pada jalanan.
Saat mobil berbelok memasuki rumah berpagar hitam, mata Elvina membuka pelan. Ia mengerjap beberapa kali, lalu meregangkan lehernya.
"Kita sudah sampai?" tanya Elvina, ditanggapi anggukan oleh Ethan.
Kursi kemudi telah ditinggalkan oleh Ethan. Ia menuju bagasi mobil, lalu mengambil koper. Ia menggeret koper itu masuk, disusul Elvina yang masih agak linglung karena baru bangun.
Koper yang ada di tangan Ethan berpindah pada salah seorang asisten rumah tangga Elvina. Koper itu mungkin dibawa menuju kamar perempuan yang kini sedang berbaring di sofa.
"Aku sepertinya harus balik kerja, El." Ethan menatap jam tangannya.
"Bukannya kamu mau bicara?" tanya Elvina lemah, matanya masih terpejam.
"Kamu istirahat aja dulu, bicaranya bisa nanti."
Mendadak, Elvina bangun. Ia membuka mata lebar dan berkata bahwa ia juga ingin membicarakan sesuatu. Sebenarnya, ia juga rindu pada kekasihnya itu. Sifat tak peka Ethan belum sembuh hingga sekarang, bahkan setelah pacaran selama tujuh tahun.
"Duduk di sini dulu!" Elvina menepuk sofa di samping pahanya.
Ethan menurut, ia berusaha mengulas senyum. Kepala Elvina yang bersandar di pundaknya ia biarkan, meski masih sedikit kesal karena sikap perempuan itu pada Arora.
"Sayang, bagi kamu Arora itu apa?"
Kening Ethan mengerut. Ia berkata bahwa pertanyaan itu tidak harus ia jawab lagi. Bukankah dari awal, ia sudah menegaskan apa hubungannya dengan Arora. Elvina juga tahu alasan hingga ia melakukan janji palsu di hadapan Tuhan.
"Tapi, bagaimana kalau ternyata Arora punya rasa sama kamu?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Elvina tidak pantas dibubuhi tanda tanya. Menurut Ethan, hal itu justru merupakan tuduhan tidak berdasar yang dilayangkan oleh Elvina pada Arora.
"Apa itu masuk akal, El? Arora jelas-jelas setuju dengan perjanjian kita sejak awal. Dia juga tidak mau menikah denganku. Dia melakukan semua demi kita. Kalau dia mau egois, dia bisa memiliku tanpa perjanjian itu!" papar Ethan, suaranya keras dan ditekan di beberapa kata.
Elvina masih berusaha untuk membela diri. Ia beralasan bahwa segala hal bisa terjadi, termasuk Arora yang tiba-tiba berubah pikiran dan menjadi cinta pada Ethan. Bukankah hati itu tidak bisa diatur.
Muak dengan ucapan Elvina, Ethan berdiri. Tatapannya tajam tertuju pada perempuan yang masih duduk di sofa.
"Jadi, benar, kamu menyuruh Elvina pergi tiap kali kamu datang ke apartemenku?"
Tidak mengerti pada hal yang dikatakan oleh Ethan, Elvina pun hanya melongok. Kemudian bertanya maksud perkataan lelaki itu.
"Gak usah pura-pura, kamu sengaja mengusir Arora karena gak mau dia ganggu kita, iya, kan?"
"Aku gak sepicik itu, Ethan!" Elvina telah habis kesabaran. Dari tadi, ia tidak diacuhkan oleh Ethan, kini ia harus mendapatkan tuduhan yang sama sekali tidak ia lakukan. "Coba kamu tanya ulang sama Arora, bisa aja dia bohong karena mau kita berantem kayak gini?"
Ethan menggeram, "Jangan pernah bicara seakan Arora adalah perempuan jahat!"
Wajah Elvina memerah. Matanya mulai digenangi oleh air mata. Ia tidak menyangka bisa mendengar suara ancaman dari Ethan. Jika dipikir lagi, sepertinya ia sudah jatuh dalam perangkap Arora.
"Aku kenal Arora sejak kecil, El. Dia tidak pernah berbohong sekali pun."
"Jadi, kamu nuduh aku yang berbohong?"
"Kamu terlalu cemburu, El. Tidak ada yang perlu kamu cemburui dari Arora."
Elvina membuang wajah. Ia mengulum bibirnya, menahan isakan yang mendesak. Sekian tahun mereka bersama, Ethan tidak pernah menyakiti hatinya. Namun, hanya karena Arora, lelaki itu menuduhnya dengan sangat kejam.
"Bagaimana kalau memang Arora suka sama kamu?"
Ethan mengusap wajahnya berkali-kali. Ingin ia berteriak bahwa Arora tidak mungkin menyukainya. Bagi perempuan itu, ia hanya sahabat baik. Tidak akan ada rasa yang lebih dari sahabat, kecuali saudara, dalam diri mereka.
"Kalo saja Arora suka sama aku, kita gak mungkin ada!" tegas Ethan.
Hati Elvina seperti disambar petir di siang bolong. Ia tahu bahwa Ethan sangat peduli pada Arora, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa kedudukan perempuan itu lebih tinggi darinya di dalam hidup Ethan. Ia teringat pada ucapan Arora saat di cafe seminggu yang lalu.
Benar, dalam hal apa pun, Ethan akan selalu memihak pada Arora.
"Aku gak mau bahas ini lagi, El. Bagaimana pun, Arora sekarang istriku."
"Bagaimana dengan aku?"
"Cukup, El! Aku gak mau kita bahas hal ini lagi."
Elvina menelan semua kata yang ingin ia ucapkan. Kalau saja bisa ia ingin membentak seperti yang dilakukan oleh Ethan.
"Aku ada kerjaan, aku pulang dulu," pamit Ethan, tanpa menatap Elvina.
Rasa kosong mendera hati Elvina. Seperti Ethan benar-benar telah meninggalkannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan, selain menatap punggung kekasihnya menjauh.
Bagi Ethan, Arora adalah segalanya. Perempuan itu memiliki separuh hatinya, meski bukan asmara antara kekasih. Ia mengenalnya luar dan dalam. Berbohong adalah sesuatu yang tidak mungkin Arora lakukan.
Jika dibandingkan dengan Elvina, kedekatannya dengan Arora jauh lebih kuat. Meski, Elvina adalah perempuan yang baik, tetapi mungkin saja kecemburuan telah membutakan akal sehatnya.
Ethan mengeratkan pegangan pada setir mobil. Setelah membuat Arora terjebak dalam pernikahan palsu, Arora juga harus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Elvina. Sungguh, ia semakin merasa bersalah.
*.*.*.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.