"Udara pagi itu sejuk, aku duduk bersandar dalam kehangatan."
*.*.*.
Elvina dan teman lelakinya masih di meja yang sama. Mereka tampak sedang mengobrol. Ethan terus melahap makanannya seakan tidak peduli. Kenyataannya ia memang tidak peduli lagi. Senyum perempuan di depannya kini lebih dari cukup.
Dalam hati Arora kegirangan. Umpan demi umpan berhasil disambar. Ia tinggal menunggu waktu untuk menarik menarik kailnya. Ia menatap Ethan dengan rasa bersalah, mengaku menyesal memberitahu lelaki itu.
"Ini yang aku gak suka, kamu gak salah apa-apa." Ethan menggenggam jemari Arora yang ada di atas meja.
Respon Ethan yang sudah ditebak oleh Arora. Ia tahu betul lelaki itu, apa pun yang terjadi selalu membelanya.
"Ya udah, ayo kita pulang!" ajak Ethan. Tangannya terarah pada Arora untuk menggandeng perempuan itu.
Mereka melangkah sambil berbincang, membahas kegiatan yang akan mereka lakukan setelah sampai di rumah. Ethan mengusulkan untuk menonton film horor. Ia mengaku sudah lama tidak menonton.
"Kapan-kapan kita ke bioskop, ya. Terakhir pergi waktu kita masih SMA, kan?" usul Ethan lagi.
Senyum ceria menghias wajah kedua orang yang saling bergandengan keluar dari restoran. Tidak melirik sedikit pun pada perempuan yang sedang menyaksikan mereka dari jauh.
Mobil Ethan melaju meninggalkan pekarangan restoran itu. Letaknya yang tidak jauh dari gedung apartemen membuat mereka bisa sampai cepat. Tidak ada pembahasan tentang Elvina sedikit pun.
Saat berjalan menuju unit Ethan, mereka hanya sibuk memperdebatkan film yang akan mereka putar. Ethan bersikeras ingin film horor atau misteri, sedangkan Arora ingin film yang ringan-ringan saja, seperti komedi.
"Kamu pasti suka, deh," bujuk Ethan, mereka berada di dalam lift.
"Gak, mending kita nonton Action yang berdarah-darah daripada yang ada setannya." Arora terus menolak. Ia juga mengaku tidak bisa tidur setelah menonton adegan berhantu. "Aku bisa bayangin tirai jadi kuntilanak. Ih, serem."
Tidak ada gunanya menolak. Nyatanya, televisi telah mempertontonkan adegan di mana hantu dengan seragam biarawati muncul. Wajahnya hancur, hingga sangat menakutkan.
Kedua kaki Arora naik di atas sofa. Ia meringkuk, menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik punggung Ethan. Ia sempat menjerit ketakutan saat musik berdentum kencang dan wajah si hantu muncul pada layar datar di depannya.
Tawa Ethan menggema karena melihat Arora yang ketakutan. Film itu baru setengah pemutaran, dan perempuan itu sudah menggigil di belakangnya.
"Gak mau!" pekik Arora, saat ia dipaksa Ethan untuk menjauh.
Menikmati kejahilannya terhadap Arora, Ethan berdiri. Ia berkata akan ke toilet sebentar. Tidak ingin ditinggal sendirian di ruangan yang remang, karena lampu tadi dimatikan, Arora mengikuti lelaki yang masuk ke kamarnya.
"Kamu gak mau ikut ke dalam sekalian?" Ethan lalu senyam-senyum sendiri, sebelum masuk ke dalam toilet. Ia sengaja berlama-lama di dalam sana, meski Arora terus memanggil-manggilnya.
Pintu toilet dibuka oleh Ethan. Senyumnya seakan abadi di wajahnya berkat raut Arora. Perempuan itu memeluk diri sendiri sambil memejamkan mata erat. Ia tidak tahu ternyata bertingkah jahil sangat menyenangkan, pantas saja Jojo ketagihan.
"Kamu sengaja, kan?" rengek Arora, tangannya melingkar di lengan Ethan.
Kasihan melihat Arora yang tersiksa, Ethan pun memutuskan untuk menyalakan penerangan kembali. Televisi ia matikan. Ia tidak pernah melihat Arora setakut itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.