Left The Right One

2.1K 57 1
                                    


“Aku tahu, semua telah salah dai awal. Kini, melangkahlah maju. Pergilah dari persimpangan menuju jalan akhirmu.”

*.*.*.

Arora duduk memeluk lutut di atas ranjangnya. Rasa takut terus menghantuinya. Entah bagaimana kabar Elvina setlah ia menbraknya. Malam itu, ia hilang akal dan nekat melakukan tindakan bodoh. Setelah tahu bahwa kecelakaan ayahnya hanya dimanipulasi oleh ayah Elvina, Arora marah dan suara untuk membunuh perempuan yang telah merebut segalanya dari hidupnya terus menggema.
Dari tadi, ketukan terdengar di pintu kamar disertai panggilan agar Arora keluar untuk ikut makan malam. Namun, Arora bergeming. Masih terus memeluk lutut erat, berharap gigil yang mendera segera meninggalkannya. Ia sangat takut jika Ethan tahu bahwa ia telah menabrak perempuan yang ia cintai. Kalau Ethan tahu, lelaki itu pasti akan meninggalkan Arora. Tidak. Arora sudah berjuang dan ia tidak mau usahanya sia-sia.
Suara ketukan terdengar lagi. Kali ini, suara yang memanggil berbeda dari sebelumnya. Suara lelaki yang sangat dikenal oleh Arora. Suara orang yang selalu mendukung dan mengobati segala luka di hatinya. Jojo—orang yang tidak pernah menjawab panggilannya selama berminggu-minggu—hingga ia bingung harus berkeluh kesah pada siapa.
Arora segera turun dari ranjang, lalu berlari kecil menuju pintu. Saat pintu terbuka, Jojo telah berdiri tepat di depan Arora. Mereka diam sejenak, saling memandang hingga Arora langsung memeluk lelaki itu. Tangisnya pecah kembali. Bisa ia rasakan tangan Jojo di punggungya mengelus pelan dan berbisik bahwa semua akan baik-baik saja karena ada dirinya di sisi Arora.
“Kamu dari mana aja? Aku hubungi terus, tapi kamu gak angkat-angkat,” keluh Arora dalam tangisnya. “Kamu tau kalau kamu satu-satunyayang mengerti aku, Jo. Aku butuh kamu, selalu.”
Jojo memilih diam. Tangannya yang tadi di punggung Arora naik ke rambut perempuan itu. Dielusnya lembut seakan ia menyentuh benda yang sangat rapuh. Ia sengaja menepi beberapa waktu untuk menata hatinya yang ternyata selama ini begitu mengiginkan Arora. Betapa perih di dalam sana setiap kali Arora mengungkapkan besar cintanya pada Ethan. Kalau saja bisa, ia ingin menggantikan tempat Ethan di hati Arora, sehingga ia bisa memberi bahagia yang layak didapatkan oleh perempuan itu. Namun, kenyataannya bagi Arora, ia hanya sekadar sahabat yang dibutuhkan.
“Aku salah, Jo. Tapi, aku mohon, jangan jauhi aku lagi!”
“Aku di sini, Ra. Aku gak akan ke mana-mana lagi.”
Jojo belajar banyak dari Arora, untuk berjuang mendapatkan hal yang diinginkan. Meski begitu, ia tidak akan mengambil langkah bodoh seperti yang dilakukan Arora. Ia akan berusaha pelan, sedikit demi sedikit untuk membasuh setiap milimeter luka Arora. Jika sampai nanti hati Arora tidak bisa berpaling padanya, maka yang akan ia lakukan adalah merelakan Arora selama perempuan itu bahagia. Seperti kata orang, tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan.
“Tente Adel bilang kamu belum makan dari siang. Dia sangat khawatir, aku juga,” terang Jojo. “Turun makan, ya.”
Arora menggeleng. Ia menunduk, kilas balik tentang penabrakan itu menari di ingatannya. Rintihan bahwa ia ketakutan lolos dari mulutnya.
“Takut kenapa?” Jojo meletakan kedua tangannya pelan di pipi Arora, mengangkat wajah perempuan itu agar mata mereka bisa bertemu.
Tidak ada jawaban. Air mata Arora yang sempat reda, menetes lagi. Isakan tertahan keluar dair bibirnya. Ia menatap Jojo sebentat, lalu menunduk lagi.
“Apa karena Ethan?”
Arora menggeleng. Ia lantas menempelkan kepalanya lagi di dada Jojo dan menangis di sana.
“Aku harus bagaimana, Jo?” rintih Arora yang tidak dimengerti oleh Jojo.
Suara panggilan mengalihkan kedua orang yang masih berpelukan itu, tampak Ethan yang sedang berdiri sambil menatap mereka tajam. Arora melepas peluknya. Ia berniat untuk menghampiri Ethan, tetapi lengannya ditahan oleh Jojo.
“Tetap di sampingku,” ujar Jojo.
*.*.*
Sepulang dari rumah sakit, Ethan dilanda kebingungan. Ia tentu saja tidak mau melepaskan Arora. Namun, ia juga tidak maujikaperempuan yang dicintainya itu tersandung kasus hukum. Nama Arora cukup besar karena prestasinya di dunia balet. Kalau sampai Elvina melapor, kerja keras Arora membangun sekolah baletnya akan sia-sia. Ethan tidak mau hal itu terjadi.
Sedari awal semua adalah kesalahannya. Ethan terlalu pengecut dan memilih memanfaatkan Elvina. Dirinyalah yang salah. Jika saja ia berani, maka semua tidak akan seperti ini. Kalaupun Arora menolak perasaannya, ia bisa berusaha. Ia kini tidak hanya melukai diri sendiri, tetapi juga Elvina—perempuan yang ia tahu sangat baik.
“Arora di mana, Ma?” tanya Ethan pada Adeline yang sedang beriri di samping tangga.
“Ada di atas, Jojo juga baru saja datang.”
Ethan sempat tersenyum pada Adeline sebelum menaiki tangga. Betapa hancur perasaannya yang memang sudah terluka parah setelah melihat Arora berada di pelukan lelaki lain. Keputusannya semakin jelas. Bercerai adalah jalan terbaik untuk mereka. Mungkin yang dibutuhkan Arora bukan dirinya.
“Arora,” panggilnya, menahan rasa yang seperti hujaman panah yang menusuk-nusuk di hatinya.
Bisa Ethan lihat tangan Jojo menahan Arora untuk melangkah. Ia tidak pernah percaya pada lelaki buaya seperti Jojo, tetapi jika dipikirkannya lagi, ia jauh lebih buruk.
“Bilang kalau bukan kamu yang menabrak Elvina!” sembur Ethan.
Arora terdiam. Ucapan Ethan justru direspon oleh Jojo yang menanyakan maksud perkataan itu. Namun, dengan tegas Ethan berkata bahwa ia tidak sedang berbicara dengan lelaki itu, ia ingin mendengar jawaban dari Arora.
“Jangan ngaco! Arora gak mungkin lakuin hal gila seperti itu,” bela Jojo, tetapi langsung dipatahkan oleh Arora sendiri. “Aku … aku memang menabrak Elvina.”
Tangan Jojo yang tadi ada di lengan Arora terlepas. Kepalanya seperti berputar. Ia tahu semua yang dilakukan oleh Arora, tetapi ia tidak menyangka perempuan yang namanya memenuhi hati Jojo akan sanggup melakukan hal jahat seperti itu.
Arora mendekat pada Ethan. Ia mnegulag lagi kalimat pengakuanya. Kali ini, ia bisa menatap Ethan, meski air mata masih membasahi pipinya.
“Kenapa, huh? Di mana perginya Arora yang melukai semut saja mustahil?”
Arora menunduk sebentar. Kepalanya mengulang pertanyaan yang sama. Ia berusaha keras untuk mencari di mana dirinya yang dulu bersembunyi. Diri itu sudah tidak ada lagi. Telah menguap bersama luka yang terus menyiksa. Sakit hati yang mendesaknya pergi, berganti dengan sosok yang kini ia sendiri takuti. Sosok diri yang tega melakukan hal apa pun untuk memuaskan keinginannya.
“Dia sudah mati,” sebut Arora.
Ethan menempatkan kedua tangannya di pundak Arora. “Kenapa, Ra? Apa yang terjadi sama kamu, kalau ada apa-apa kamu harusnya cerita.”
Senyum getir tersungging di bibir Arora. “Apa kalau aku cerita kamu bisa bantu, huh? Kalau aku minta kamu tinggalin Elvina, kamu mau?”
"Aku mau, Ra. Kalau saja kamu minta sejak awal. Aku bisa melakukan semua yang kamu mau. Tapi, semua sudah percuma. Mungkin kita memang tidak diciptakan untuk bersama," ucap Ethan dalam hati.
“Kamu kelewatan, Ra. Aku ga kenal kamu dan gak mau lihat kamu lagi.”
Sakit. Kata-kata yang Ethan ucapkan seperti pedang yang menyayat dirnya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa melukai Arora tanpa menghancurkan dirnya sebelumnya?
“Ma-maksud kamu apa?” Suara Arora bergetar.
“Tidak perlu tunggu setahun, aku akan mengurus perceraian kita secepatnya.” Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Ethan sebelum berpaling dan meninggalkan Arora yang mematung.
Sesak di dada Ethan semakin menyiksa. Ia menuruni anak tangga sangat cepat agar bisa segera keluar dari rumah itu. Air mata sudah mendesak di pelupuknya dan ia tidak mau menampakkan kesedihannya. Adeline yang masih berdiri di samping tangga bertanya tentang hal yang terjadi di lantai atas, tetapi dihiraukan oleh Ethan. Ia melangkah cepat, tidak peduli pada suara yang memanggil.
Sementara itu, Arora masih terdiam di tempat. Otaknya mencoba mencerna perkataan Ethan. Tidak. Otaknya mengerti dengan baik, tetapi ada bagian dari dirnya yang terus menyangkal. Ia berbalik pada Jojo dengan senyum dan air mata yang terus menetes.
“Ethan tadi bercanda, kan?” tanyanya pada Jojo.
Jojo seperti kehabisan kata-kata. Ia hanya berdiri dengan mulut sedikit terbuka.
Tidak mendapatkan respon, Arora segera berlari untuk mengejar Ethan. Ia berteriak memanggil nama Ethan. Lelaki itu baru saja akan keluar. Arora yakin ia mendengar panggilannya, tetapi ia tidak berbalik sama sekali. Ibunya yang mencoba menahan dihempasnya. Ia berlari semakin cepat saat medengar suara mesin mobil Ethan, ia tidak mau berpisah dari Ethan. Saat akan turun dari anak tangga yang memisahkan teras dan pelatan yang biasa digunakan memarkir  mobil, Arora tersandung hingga tersungkur. Perih karena terjatuh bukan apa-apa dibandingkan sakit di hatinya saat melihat mobil Ethan melaju tidak peduli.
“Arora!” pekik Adeline, ia segera menolong Arora untuk bangkit.
Jojo yang sudah ikut turun menggantikan tempat Adeline. Ia mengangkat Arora yang sesegukan. Amarah di hatinya tidak tertahan. Ia tahu bawa hal yang dilakukan oleh Arora memang salah, tetapi apa Ethan tahu kalau penyebab segalanya adalah dirinya.
“Ethan ninggalin aku, Jo,” lirih Arora saat ia sudah diletakkan di atas ranjang. Mereka hanya berdua karena Adeline sedang turun untuk mengambil air hangat untuk mengompres kaki Arora yang terkilir.
“Cukup, Ra. Berhenti memikirkan Ethan yang gak pernah peduli sama perasaan kamu. Ada aku, aku yang akan selalu ada untuk kamu.”
“Aku sayang sama Ethan, kamu tahu, kan.”
“Aku juga sayang sama kamu, Ra. Tapi, kamu gak tau, kan? Kamu sibuk mengejar Ethan, sampai lupa kalau ada aku yang juga sangat sayang sama kamu. Aku yang juga ingin kamu selalu ada di sisiku.”
*.*.*.

The Antagonist  (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang