"Izinkan aku menjadi matahari. Meski malam, sinarnya masih berada pada pada rembulan."
*.*.*.
Nana dan Arora duduk di kursi dengan meja panjang di depannya. Lampu sorot yang terarah pada panggung yang di atasnya ada anak perempuan yang sedang menari balet. Setiap lima menit, anak perempuan terus bergantian untuk tampil.
Setelah penampilan terakhir, Nana dan Arora berdiskusi ringan. Mereka membuka dokumen demi dokumen. Untuk kelas beasiswa, sekolah Arora hanya akan menerima 10 orang. Kelas itu hanya akan dijalankan sendiri oleh Nana, hingga belum bisa menerima banyak siswa. Itu sebabnya, mereka akan melakukan seleksi ketat berdasarkan potensi dan tingkat kebutuhan.
"Rika," sebut Nana, ia menyodorkan satu berkas yang berisi informasi tentang nama yang ia sebut. "Gerakannya belum stabil, tetapi aku suka mimiknya. Sangat pas."
Arora menatap gambar dengan latar merah. Wajah anak perempuan itu manis dengan senyum lebar. Ia setuju dengan Nana. Kelenturan tubuh untuk anak-anak masih mudah untuk dibentuk. Untuk melatih mimik dan keselarasan dengan musik, hal itu biasanya yang agak susah.
"Sinta, dia sangat bagus di semua aspek penilaian. Tapi, sepertinya dia tidak begitu membutuhkan beasiswa. Kedua orang tuanya bekerja di kantor pemerintahan." Nana berpindah pada calon murid yang lain.
Satu alis Arora terangkat, mencoba untuk menimbang. Dibandingkan dengan anak-anak lain yang masih berusia kisaran 8-10 tahun, usia Sinta sudah 12 tahun. Arora merasa anak itu merasa memiliki bakat.
"Kita akan tetap memasukkan Sinta di tahap wawancara. Kita harus tau alasan dia ingin beasiswa, padahal orang tuanya mampu."
Dari 50 peserta, hanya 30 yang lolos masuk untuk sesi wawancara. Kelas beasiswa itu memang ditujukan untuk anak-anak yang sudah memiliki dasar dalam balet. Sedangkan, beberapa pendaftar ada yang benar-benar tidak mengerti balet, bahkan gerakan yang paling sederhana.
"Wawancara dilaksanakan lusa nanti. Bu Sheila yang akan mewawancarai, kita hanya duduk dan menilai jawaban dari mereka," jelas Arora.
Dokumen-dokumen milik calon murid diambil oleh Nana. Mereka pun keluar dari ruang pertunjukan. Arora menuju ruangannya sendiri di ujung koridor lantai dua. Sementara Nana ke ruangan administrasi untuk menyimpan dokumen.
Langit mulai menggelap saat Arora mengintip di balik tirai. Ia lapar. Mungkin ia bisa makan malam dulu dengan beberapa rekan kerjanya sebelum pulang.
Arora meraih tasnya, kemudian mematikan sumber penerangan sebelum keluar. Ia lalu mendengkus kesal setelah mengingat bahwa mobilnya sedang di bengkel. Tadi, ia meminta Jojo untuk menjemput. Sudah disanggupi oleh lelaki itu. Namun, ternyata ada pekerjaan yang memaksa Jojo untuk pergi ke luar kota.
"Di bawah ada yang cariin," ungkap Nana yang menemui Arora sebelum turun tangga.
"Siapa?"
Nana hanya senyam-senyum sebagai respon.
"Ditanya siapa, kok malah senyum, aneh."
Nana menatap Arora lalu menggoda, "Siapa lagi, kalau bukan sopir idaman."
Arora mengernyit. Langkahnya dilanjutkan untuk segera turun. Ia mulai berpikir siapa sopir idaman yang dimaksud oleh Nana. Orang yang biasa menjemputnya adalah Jojo. Namun, bukannya lelaki itu sedang ke Medan.
Saat tiba di ruang tunggu yang berada tepat di depan pintu keluar, Arora menatap punggung lelaki yang sedang menyandarkan satu pundak di dinding kaca. Ia tahu lelaki itu, Ethan. Tidak pernah terlintas dalam benak Arora bahwa Ethan akan datang menjemputnya.
Ethan berbalik, lalu menyapa, "Hai, udah mau pulang?"
Arora hanya mengangguk. Ia meraih tangan Ethan yang tersodor untuknya. Di perjalanan, lelaki itu mulai menjelaskan bahwa Jojo menelponnya untuk menjemput Arora. Ia bahkan mengaku, tanpa ditelepon oleh Jojo pun, ia akan tetap menjemput perempuan yang ia gandeng.
"Aku ngerepotin, padahal kamu pasti capek habis kerja."
Ethan yang sedang menyetir menggeleng dan membalas, "Aku gak mungkin repot kalau itu kamu."
Senyum lebar menghiasi wajah Arora. Ia seperti akan terbang mendengar perkataan Ethan. Sampai kapan pun, ia tidak mungkin bisa lepas dari mantra cinta yang merajai dirinya. Tekad untuk menjadikan Ethan miliknya seorang menggebu dalam benaknya. Elvina harus segera ia singkirkan sepenuhnya.
Mobil Ethan berbelok pada salah satu restoran. Ia menjelaskan bahwa steik di tempat itu sangat enak. Sekali coba pasti akan ketagihan, katanya.
Mereka bergandengan lagi memasuki restoran yang di depan pintu masuk berjaga seorang lelaki yang langsung menanyakan reservasi. Mereka diantar masuk. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mata Arora menangkap seorang perempuan yang sedang duduk dengan tiga orang. Dua di antaranya sepertinya sudah berumur jauh di atas Elvina, sedangkan satu lelaki masih muda.
Arora tersenyum dan mengedipkan satu mata saat Elvina mengarahkan pandangan kepadanya. Ia langsung mengencangkan pegangan di lengan Ethan. Kepalanya ia sandarkan ke lengan lelaki itu untuk memancing Elvina.
Di luar dugaan, Ethan dengan tangan yang tidak digelayuti, mengelus rambut Arora lembut. Arora yakin Elvina pasti cemburu setengah mati melihatnya.
"Kamu udah lapar, ya?" Ethan bertanya, ia tidak menyadari bahwa Elvina juga ada di restoran itu.
"Iya, banget," jawab Arora, ia lalu menunjuk meja yang berada di balik salah satu pilar. "Kita di sini saja, ya."
Menurut Arora, tempat itu sangat aman. Ethan tidak akan melihat Elvina.
"Aku ke toilet dulu, ya," izin Arora saat mereka menunggu pesanan. Ia tidak ingin ke toilet, tetapi ia ingin mengikuti Elvina.
Di toilet itu ada beberapa orang. Sepertinya, Elvina sedang berada di bilik. Arora pun memutuskan untuk menunggu di westafel. Saat Elvina keluar dari bilik, Arora pun tinggal sendiri di westafel.
Dari cermin, bisa Arora lihat wajah marah perempuan di belakangnya. Ia menyeringai, lalu mengeringkan tangan dengan napkin yang tersedia.
"Hai, kita ketemu lagi," sapa Arora, berbalik menatap Elvina dengan ceria. Berbanding terbalik dengan raut Elvina yang tampak menahan emosi.
"Tidak usah sok baik," bentak Elvina. Ia sudah cukup menahan amarahnya.
"Santai aja, El. Aku ke sini cuma mau makan malam sama suami," balas Arora.
Kedua tangan Elvina mengepal. Rahangnya mengeras. Amarahnya telah sampai di ubun-ubun, tetapi ia tahan karena akalnya masih berjalan. Tanpa kata, ia berlalu tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu. Pintu toilet dibanting olehnya, hingga perempuan yang baru saja ingin masuk terlonjak kaget.
"Dia kenapa?" tanya perempuan yang kaget tadi pada Arora.
"Aku gak tau," jawab Arora, bahunya terangkat sedikit.
Sebelum kembali ke mejanya, Arora menatap lama pada meja Elvina yang kini hanya tersisa Elvina dan lelaki muda tadi. Sepertinya keberuntungan memang sedang berpihak padanya.
"Kenapa gak makan duluan?" tanya Arora, duduk di kursinya kembali.
"Makan bareng lebih enak."
Arora tidak berkomentar lagi. Ia mulai memotong daging di piringnya. Begitupun dengan Ethan.
Sesekali Arora memiringkan kepala untuk melihat Elvina. Ia menyeringai saat mendapati perempuan itu masih di sana.
"Ethan," lirih Arora.
Ethan yang mengunyah hanya mengangkat kedua alisnya.
"Aku sepertinya liat Elvina, deh," ungkap Arora.
Ethan terbatuk-batuk, lalu segera meraih segelas air putih yang disodorkan oleh Arora.
"Dia sempat liat aku. Aku jadi gak enak, kita samperin kali, ya."
*.*.*.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.