"Senja itu membawaku kembali pada masa di saat dulu senyum menyelimuti.”
*.*.*.
Sudah sebulan, rasa sakit dan kosong itu masih kerap menyapa. Tidak. Ia tidak pernah pergi sepenuhnya. Hari-hari hanya terus berlalu dan meninggalkan Arora sendiri dalam bilik derita. Kehilangan, kata orang itu wajar setelah pertemuan. Namun, bagi Arora, hal itu seperti mati.
Ayahnya adalah lelaki yang sangat ia cintai. Lelaki yang selalu menciptakan senyum di wajahnya. Cinta pertama yang menyapa hatinya. Aliran bahagia di setiap langkahnya. Kini, lelaki dengan senyum secerah mentari pagi itu telah pergi.
“Arora sayang, ayo, Papa antar ke sekolah!”
Tidak ada ajakan itu lagi di setiap pagi Arora. Tangan besar yang selalu menggenggam jemarinya telah terkubur bersama asa yang tidak sempat tergapai. Cita-cita yang ia impkan seperti sia-sia tanpa orang yang selalu mendukungnya.
“Arora.”
Arora yang menunduk, langsung mengangkat kepala, lalu menoleh ke samping. Di sana ada Jojo dan Ethan. Ethan yang tersenyum dan Jojo yang menjulurkna lidah ke arahnya.
“Aku sama Jojo mau main di taman, kamu mau ikut?” tawar Ethan
Arora hanya menggeleng. Ia beringsut turun begitu melihat Jojo yang membongkar lemarinya. Anak lelaki itu meraih rok leotard berwarna merah muda.
“Jangan sentuh barang-barangku!” pekik Arora. Anak perempuan itu mempercepat langkah dan segera menarik roknya dari Jojo. Ia lalu menoleh saat pundaknya di tepuk pelan. Senyum di wajah Ethan membuatnya terpaku lama.
“Kamu habis nangis lagi, ya?” tanya Ethan.
Pertanyaaan itu tidak menadapatkan jawaban. Namun, mata sembab Arora tidak bisa bohong.
“Kalau kamu sedih terus, Papa kamu di surga juga ikut sedih. Kamu gak sendiri, aku pasti selalu jaga kamu,” ucap Ethan.
Saat Ethan sibuk menghibur Arora, Jojo juga sibuk dengan aksesoris Arora. Ia memasang bando pita di kepalanya. Bolak-balik membuka pintu lemari, mengambil beberapa barang, lalu dibawa ke dalam kamar mandi. Saat ia keluar, Arora dan Ethan sedang ada di balkon. Ia pun segera menghamiri kedua temannya itu sambil cengengesan.
“Hai, aku udah cantik, ’kan?” Jojo meletakkan kedua tangan di pipi. Matanya berkedip-kedip bermaksud untuk menggoda.
Mulut Arora membuka lebar begitu melihat Jojo. Lelaki itu mengenakan gaun Minnie Mouse miliknya dengan bando pita. Tidak lupa tas jinjing kecil Arora juga di sampirkan di lengan.
“Jojo!” pekik Arora. “Jangan pakai barang-barangku!”
Tidak peduli pada teriakan Arora, Jojo langsung menjulurkan lidah ke arah anak perempuan itu. Ia lantas berlari saat mulai dikejar oleh Arora. Tawanya memenuhi kamar, sesekali melempar ejekan pada anak perempuan yang terus mengejarnya. Ia kini melompat-lompat di atas ranjang Arora, melempar boneka pada Arora yang melakukan hal yang sama.
“Gak kena,” ejek Jojo saat lemparan Arora meleset.
Masih mengenakan pakaian dan aksesoris Arora, Jojo melompat dari ranjang. Gaun yang ia kenakan agak mengganggu, hampir terjatuh kalau saja ia tidak berhasil menyeimbagkan tubuh. Arora juga mengejarnya, berteriak memintanya untuk berhenti. Anak perempuan itu mengancam akan memukul kepala Jojo jika tidak berhenti.
“Aduh, jangan lari-lari di tangga!” Mbok Sri panik begitu melihat ketiga anak berlari menuruni tangga. Ia seperti kehilangan kata-kata kala melihat tampilan Jojo. Namun, tersenyum saat melihat Arora yang berlari sekuat tenaga. Setidaknya, anak majikannya itu tidak mengurung diri lagi.
“Kamu pasti iri, aku lebih cantik, ’kan?” ejek Jojo, ia berlindung di belakang Mbok Sri.
“Cantik apaan? Yang ada kamu kayak banci kaleng.” Arora balik mengejek. Ia berusaha meraih pakaian Jojo.
Baju Jojo sudah ditarik oleh Arora. Untungnya, tenaga anak lelaki itu lebih kuat hingga bisa lolos. Jojo segera berlari keluar dan masih dikejar oleh Arora. Sementara itu, Ethan ikut mengekori mereka. Ia sudah berteriak berkali-kali agar kedua temannya berhenti. Nihil. Keduanya terus saling mengejar, bahkan sampai keluar pagar.
Jojo memelankan larinya sambil melepas gaun yang ia kenakan. Di lemparnya asal gaun itu bersamaaan dengan teriakan Arora. Jojo terkekeh sambil memanjat tembok pagar putih yang lebih tinggi darinya. Dari balik tembok, ia menjulurkan lidah lagi pada Arora.
“Aku menang, aku menang.” Jojo kegirangan.
Sebal karena tingkah Jojo, Arora melempar gaun yang tadi dipungutnya pada Ethan. Ia meminta agar salah satu gaun kesayangannya itu dijaga oleh Ethan. Susah payah, ia berusaha untuk ikut memanjat. Namun, tenaganya tidak sekuat Jojo.
“Ra, untuk apa manjat, di sana gerbang masuknya.” Ethan yang baru saja sampai di samping tembok menunjuk ke arah gerbang hitam.
“Iya, juga, ya. Aku lupa,” ungkap Arora. Ia berniat untuk lari lagi agar bisa segera memukul Jojo, tetapi tangannya di tahan oleh Ethan.
“Jangan lari-lari, nanti jatuh! Lagian, Jojo ada di dalam, nanti aku bantu pukul.”
Arora menurut. Ia jalan berdampingan dengan Ethan sambil berpegangan tangan. Genggaman Ethan tidak seperti genggaman ayahnya, tetapi ia juga merasa aman.
“Cie, yang pegangan tangan!” ejek Jojo, cengengesan lagi. Ia sedang memanjat di salah satu pohon mangga.
Mereka memang sering berkunjung ke rumah kosong itu, hanya untuk bermain di pekarangan luas di depannya, ada rerumputan dan banyak pohon untuk memanjat. Rumah itu adalah milik salah satu kerabat ibu Jojo yang ditinggal begitu saja karena pemiliknya menetap di luar negeri dan tidak pulang lagi. Namun, oleh Jojo dipelintir bahwa pemiliknya mati karena hantu. Di sana, mereka sering bermain ayunan atau sekadar berlarian saja.
Rumah Ethan memilik taman yang luas, tetapi ibunya sering marah saat mereka bermain di sana. Kadang Jojo berceletuk bahwa ibu Ethan lebih sayang bunganya daripada anak sendiri. Untungnya, Ethan tidak pernah menggubris perkataan Jojo.
“Turun kamu!” panggil Arora.
Tiba-tiba, dari atas Arora beterbangan kelopak merah. Ia melihat Jojo yang mengeluaran kelopak itu dari saku celananya. Arora meraih satu kleopak yang sudah hancur. Bagimana tidak hancur, kelopak mawar segar itu dijejalkan masuk begitu saja di saku Jojo.
“Selamat datang kembali!” teriak Jojo, terus menebar kelopak di udara. Setelah habis, ia pun turun dari pohon.
“Kamu suka?” tanya Ethan. “Aku dan Jojo berhasil membawa kamu ke taman lagi. Kita bisa main-main lagi.”
“Terima kasih,” ucap Arora pada Ethan.
“Cuma sama Ethan? Padahal, aku loh yang berperan penting,” protes Jojo.
“Kamu nyebelin,” rutuk Arora. “Oh, iya, mawar ini kamu ambil dari mana? Jangan bilang dari taman Tante Tista?”
“Paling, Ethan yang kena marah,” seloroh Jojo.
Mata Ethan membesar. Ia memang menyetujui rencana Jojo, tetapi tidak menyangka anak nakal itu berani mencabut bunga ibunya. Bisa ia bayangkan bagaimana ibunya akan mengamuk begitu melihat bunganya hancur.
“Aku gak suruh ambil bunga Mama, Jo!” Ethan mulai marah.
“Tapi, lihat. Arora jadi senyum, ’kan? Tante Tista pasti mengerti, kok,” jelas Jojo. “Kecuali, Tante Tista memang lebih sayang bunga daripada kamu,” tambahnya.
“Sudah, nanti aku yang bilang sama Tante Tista.” Arora memutuskan.
“Sudah aman, kamu biasa aja natapnya,” sinis Jojo pada Ethan.
*.*.*.
Hai, aku lanjut menulis ini sampai tamat, ya. Mohon dukungannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist (Completed)
RomanceBagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan menjadi Odile. Ia harus memiliki Ethan, walau dengan tipu muslihat.