***
"Ana," panggil Arzan dengan posisi berbaring menghadap Meesha. Meesha yang merasa malu karena Arzan yang bertelanjang dada hanya bisa menyembunyikan debar jantungnya. Dia pun malu karena untuk pertama kalinya melepaskan hijab dan berhadapan dengan laki-laki.
"Ya, Mas."
"Kamu ingin tinggal di mana? Mas ada beberapa pilihan rumah, Mas tidak memaksa harus menempati salah satunya." Arzan bertanya dengan senyum yang masih bertengger di bibirnya.
"Bolehkah jika Ana ingin tinggal bersama Ayah dan Bunda?"
"Kenapa?"
"Ana tahu, Ana adalah seorang istri yang harus mengikuti ke mana saja suami Ana pergi dan menetap. Tetapi Ana juga paham, meski Mas sudah menikah, rida ibu tetap nomor satu untuk Mas. Untuk itu, Ana ingin membahagiakan Bunda dengan tetap tinggal di sana, tidak ingin menjauhkan Mas dengan keluarga."
Arzan yang mendengarnya paham, dia telah tepat memilih istri. Dia pun akan lebih tenang saat istrinya berkumpul bersama keluarga, sewaktu-waktu dia sibuk dan tidak berada di sisinya, ada keluarga yang siap menopang.
"Kapan Ana ingin pindah? Tidak perlu membawa baju, dan lain sebagainya. Bawa saja seperlunya. Nanti beli baju baru saja, jadi kalau Ana pulang ke sini tidak perlu bawa baju."
Meesha mengangguk. Entah kenapa, di dekat Arzan, Meesha merasakan ketenangan yang luar biasa.
=====
Sudah tiga bulan Meesha tinggal di rumah mertuanya. Setiap akhir pekan, dua minggu sekali Meesha dan Arzan akan menginap di rumah Meesha atau pondok pesantren. Tiga bulan menjadi masa penjajakan untuk Arzan dan Meesha. Banyak hal baru dan sifat baru yang diketahui masing-masing.
Namun, sejauh mengenal Arzan, Meesha cukup kagum dan menambah rasa cintanya semakin dalam karena sifat-sifat Arzan yang ternyata tidak pernah marah, lembut, dan tegas secara bersamaan. Tidak pernah menegur dengan keras, selalu menegur penuh kehati-hatian membuat Meesha begitu dihargai. Apa pun yang dimasak Meesha selalu dihabiskan dan apa pun pendapat Meesha selalu dipertimbangkan.
"Meesha," panggil Bunda dari arah depan, halaman.
Meesha yang mendengarnya segera beranjak ke depan dan meletakkan majalah yang tengah dibacanya. Rumah mertua sudah selayaknya rumah sendiri bagi Meesha karena Ayah dan Bunda yang tidak pernah membedakan perlakuannya. Bahkan Najwa pun kerap menginap karena kasih sayang yang diberikan mertuanya sama besar seperti anak-anaknya sendiri.
"Ya, Bun?" Meesha mendekat dan memperhatikan perempuan yang berdiri di hadapan Bunda.
"Ini Riska, katanya sekretaris Arzan. Katanya ada berkas Arzan yang tertinggal dan dia minta untuk diambilkan," jelas Bunda.
Meesha yang mendengarnya mengernyit dan mengangguk mengerti. Sementara Meesha menuju kamar dan mengambil berkas, sebuah kesadaran menyentaknya. Selama ini, Arzan begitu menjaga pergaulannya. Mungkinkah ....
Untuk mengurangi prasangkanya, Meesha menelepon Arzan.
"Assalamualaikum," salam Arzan
"Waalaikumsalam, Mas."
"Ada apa, Sayang?"
"Mas, di bawah ada perempuan bernama Riska. Katanya dia sekretaris Mas yang Mas suruh ambil berkas di rumah."
"Tidak, Mas tidak punya sekretaris perempuan. Jangan berikan apa pun padanya, Sayang. Sekretaris Mas hanya Zen, partner-mu dulu."
Meesha mengangguk paham dan mengobrol sebentar sebelum beralih mengambil map kosong dan mengisinya dengan kertas kosong pula sehingga terlihat tebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
SpiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...