"Dia adalah Arzan Ryouta Zakwan, calon gagalmu itu."
Meesha terkejut bukan kepalang, sungguh, dia tak tahu akan fakta ini.
Umi terkekeh melihat reaksi Meesha.
"Kalau dia bukan santri, bagaimana dia bisa mengikuti acara ini, Umi?" tanya Meesha heran.
"Arzan mewakili pondok pesantren Al-Fatah, pondok pesantren milik Kyai Usman Ghofar. Nah, Kyai Usman adalah adik dari ayahnya."
"Jadi?"
"Arzan menerima pendidikan agama tanpa masuk pondok, dia benar-benar dididik dari dalam keluarga. Itu setahu Umi. Umi tahu dari bunda."
"Lalu pengetahuan agamanya yang luas?"
"Didikan orang tua, Nak."
Meesha mengangguk-angguk paham.
"Sebenarnya, Umi dan Abi, ingin membicarakan hal ini lagi. Bukan sebagai perjodohan, tapi memang Arzan mengkhitbahmu kembali. Di luar konteks perjodohan yang memang disepakati Abi dan ayah Arzan. Baik Abi maupun ayah, sudah ikhlas jika memang tidak bersatu dalam sebuah keluarga."
Meesha tercenung. Jadi, Arzan telah menemui kedua orang tuanya lagi. Mengembuskan napas pelan, Meesha berbalik menghadap umi. Umi menuntun Meesha untuk memasuki ruang kerja yang di mana Abi telah menunggu di sana.
Meesha dalam kebimbangan yang begitu kentara. Rautnya tak tergambar, siapa pun tak mampu membaca apa yang menjadi pikirannya sekarang.
"Meesha," panggil abi pelan.
"Ya, Abi?"
"Sudah diceritakan Umi?"
Meesha mengangguk membenarkan. Dia pun segera duduk di samping umi yang kini tengah memangku sebuah buku.
"Bagaimana pendapatmu?"
Meesha menggeleng. Dia sendiri tak tahu harus berbuat apa.
"Boleh Abi berikan sumbang saran?"
"Silakan, Abi."
"Jika memang kamu belum menemukan jalan atau jawaban apa pun, cobalah untuk diam dahulu. Merenung, dalam perenungan. Biasanya kita akan lebih peka dan sensitif. Dari kedua hal ini, kamu akan bisa menyimpulkan tanda-tanda Allah yang begitu halusnya hingga tak mampu kauraba."
"Tapi, Abi." Meesha mencoba mengatakan keraguannya.
"Arzan memberikan waktu padamu seluas-luasnya sebelum dia menemukan dan memiliki jodohnya sendiri. Jodoh tiada yang tahu, 'kan?" ungkap abi diplomatis.
"Ya, Abi."
"Abi tidak memaksa. Ini murni harus dari kalian berdua. Najwa sudah memberikan restunya. Cobalah bicara pada Najwa jika itu memang menjadi salah satu dari sekian alasan yang bisa mempertimbangkan jawabanmu kelak. Jangan sampai, apa yang akan mengubah kehidupanmu di masa mendatang tidak kamu pikirkan baik-baik. Arzan pria potensial, di luar itu, kamu tahu seperti apa dia."
"Umi baru ingat, Arzan sempat pamitan kemari sebelum pergi. Katanya minggu depan mau kembali ke Jepang. Masa berlaku pekerjaannya sudah habis ya?" Senyum umi mengembang, tiada raut yang memberatkan akan sesuatu hal di sana.
"Mas Arzan tidak membicarakan keberangkatannya dengan Meesha, Umi," beber Meesha. "Mas Arzan hanya bicara soal khitbah dan rencana kembali ke Jepang tanpa kepastian kapan berangkatnya." Meesha menunduk. Pikirannya simpang siur berseliweran. Begitu banyak hal yang harus benar-benar dia pikirkan.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Jangan sampai membebani langkahmu. Bawa enjoy, kata anak muda sekarang."
Meesha mengangguk akan perkataan abi. Tanpa siapa pun ketahui, walaupun sudah diberitahu seperti itu, semua itu tetap tak menenangkan pikirannya. Meesha memutuskan untuk pamit. Dia keluar dari ruang ayahnya, meninggalkan kedua orang tuanya di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
EspiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...