Chapter 9-Perseteruan Kakak Adik

5.2K 256 14
                                    


Bak tersambar petir di panasnya mentari, Meesha terpaku. Dia menatap tak percaya pada Najwa.

"Kenapa kamu bilang gitu, Najwa?" Dada Meesha bergemuruh sedih. Siapa yang tak sedih jika adik kandungnya sendiri menyebutnya jahat sedangkan dia tak mengerti apa yang telah terjadi hingga Najwa menyebutnya jahat.

Hening menyelimuti keduanya untuk sejenak. Najwa yang sedang merangkai kata di kepalanya untuk menyadarkan kakaknya, dan Meesha dengan pikirannya yang tak mampu ditebak siapa pun.

"Semua ini gara-gara, Mbak." Najwa menatap Meesha tajam. Sorot kemarahan dan kebencian itu jelas terlihat.

"Mbak nggak paham maksud kamu, Dek. Tolong jelaskan! Di mana letak salah Mbak." Lembut, Meesha tak ingin memperkeruh suasana yang sudah tak nyaman sejak awal.

"Apa Mbak benar-benar nggak bisa move on dari Aa'?" tanya Najwa penuh dengan penekanan. Bahkan terdengar lebih tajam dari sebelumnya.

"Kenapa bahas Aa'?" Dahi Meesha berkerut bingung. Kalbunya bertanya, ada apa ini? Apa hubungannya dengan Aa'?

"Karena semua ini akarnya dari Mbak. Mbak yang terlalu mementingkan diri sendiri. Terlalu berkutat dengan rasa sakit Mbak, rasa sedih kehilangan yang terus Mbak pupuk. Bukan Mbak relakan atau ikhlaskan. Semua ucapan mbak itu omong kosong. Munafik!"

Meesha terdiam. Hatinya bak dihunjam sembilu sedalam-dalamnya, kemudian dihunus perlahan-lahan menciptakan calar dalam dan menganga. Sakit menderanya teramat keji. Bagaimana tidak? Adiknya mengungkapkan sebuah fakta begitu nyata tepat di hadapannya tanpa tedeng aling-aling.

Sejak tadi pagi, gelisah menggelayuti hati. Meesha hanya mampu berharap, jika kegelisahan hatinya tak berujung hal buruk. Namun, harapan tinggal harapan. Dimulai dari pagi tadi, rangkaian kegelisahannya mulai menampilkan kejadian-kejadian tak mengenakkan.

Saat dia sarapan, dia tak menemukan abi dan umi di meja makan. Hanya Najwa yang menemaninya dengan wajah cemberut seperti menahan emosi atau kekesalan. Satu pikiran positif dia tanamkan dalam benak, orang tuanya sibuk dan Najwa sedang ada masalah.

"Coba lihat abi sama umi. Mereka sedih lihat Mbak kayak gini. Usaha mereka sia-sia. Abi dan umi sudah sepuh, Mbak. Nggak mungkin mikirin Mbak terus-terusan. Aku juga butuh jodoh. Sampai kapan aku harus menunggu Mbak dikhitbah? Mana ada laki-laki yang mau mengkhitbah Mbak di usia mbak yang sudah mau masuk kepala tiga, 29 tahun. Ditambah dengan segala sikap Mbak itu."

"Usaha apa yang sia-sia, Dek?" tanya Meesha lirih. Pikirannya makin berkecamuk. Fakta keji yang didapatnya sekonyong-konyong membuat pening. Hatinya pun bak ditindih batu besar, membuatnya sesak.

"Arzan."

"Kenapa dengan Mas Arzan?" tanya Meesha dengan suara serak dan bergetar.

"Semalam, ayah Mas Arzan menelpon abi. Beliau bilang, kalau Mas Arzan mundur dari perjodohan ini."

Meesha terdiam di tempatnya. Jelas sekali dia shock. Dia belum diberitahu apa pun perihal ini. 'Inikah yang membuat Najwa marah?'

"Mbak terlalu egois hingga Mbak nggak mikirin perasaanku, abi, dan umi."

"Mbak nggak tahu masalah ini, Dek."

"Apa yang Mbak tahu! Hanya perasaan Mbak yang selalu Mbak jaga, tapi, pernahkah terpikir sebersit saja, Mbak." Najwa menghela napasnya berat. "Sebersit saja pikiran bertanya bagaimana rasa abi, umi, dan terutama aku."

"Najwa ...."

"Aku cinta Mas Arzan, Mbak!"

"Kamu cinta Mas Arzan?" tanya Meesha terbata. Yang awalnya dia mengira adiknya hanya sebatas kagum, kini dia dibuat melongo tak percaya.

"Iya, cinta pada pandangan pertama." Najwa menunduk menyembunyikan rona merahnya. Dia tersipu malu telah keceplosan mengungkapkan isi hatinya. Nasi sudah menjadi bubur, toh dia maupun kakaknya tak akan bisa bersanding dengan Arzan. Karena Arzan telah menentukan pilihannya untuk tak memilih.

"Mbak kira kamu hanya sebatas kagum."

Najwa memalingkan wajahnya keluar kafe. Matanya menangkap sebuah siluet laki-laki yang begitu familiar. Dia ikuti terus pergerakan laki-laki itu. Bahkan dia tak menyadari jika Meesha mencoba berbicara dengannya.

"Nanti Mbak coba bicarakan sama Mas Arzan dulu, ya. Tenangin diri kamu dulu."

"Apa yang mau dibicarakan Mbak? Mas Arzan laki-laki berprinsip. Sudah memutuskan untuk tidak memilih salah satu di antara kita, takut menyakiti kita."

Meesha terdiam. Dia belum yakin ini adalah langkah yang tepat. Mereka membisu. Hingga pintu kafe itu terbuka menampakkan wajah Arzan yang celingukan mencari seseorang. Najwa yang melihatnya begitu terpesona. Netranya memaku setiap gerik Arzan.

Arzan melangkah masuk. Dia mengayunkan langkah ke arah kiri. Sedikit terkejut mendapati Meesha dan Najwa di sana tapi dia tak mengacuhkan begitu saja keberadaan mereka.

Najwa berbinar senang kala melihat Arzan berjalan ke arah mejanya. Begitu Arzan sudah mendekat, bibirnya mengulas senyum manis. Raut wajah yang semula berbinar bahagia itu, kini melindap. Arzan melewati mejanya begitu saja. Meninggalkan aroma khas parfumnya, kesturi.

Meesha terus saja memperhatikan Najwa hingga dia menghela napas saat tahu apa yang terjadi dengan Najwa. "Dek ... Mbak akan bicarakan ini dengan abi dan umi terlebih dahulu."

"Huh?" Najwa memperhatikan kakaknya lagi.

"Mbak nggak bisa berbuat banyak soal perjodohan ini. Tapi, Mbak juga punya rasa. Mbak nggak tega jika Mas Arzan harus Mbak duakan."

"Mbak 'kan emang sudah nggak waras. Terlalu tergila-gila ma Aa'. Orangnya aja sudah almarhum. Lima tahun lalu malah. Seribu hari juga udah lewat, tapi sampai sekarang Mbak nggak mau move on. Apa itu namanya kalau bukan gila? Di luar sana masih banyak yang berharap jodoh, Mbak malah nggak mau."

"Mbak juga pengen move on, Dek!"

"Apa buktinya Mbak? Nyatanya cincin itu masih melingkar manis di jari manis, Mbak. Foto-foto Aa'." Tajam, pedas, dan nyata. Meesha tak mampu mengelak lagi. "Hati Mbak terkunci rapat."

"Itu ...."

"Itu apa, Mbak? Kenang-kenangan? Omong kosong, Mbak!"

Najwa memukul meja pelan. Tangannya terkepal erat di sana. Dia empaskan punggung ke sandaran kursi dengan kasar. Diaturnya napas yang sedikit menderu. Begitu napasnya mulai teratur, Najwa beranjak meninggalkan Meesha tanpa pamit.

Meesha terpaku di tempatnya. Matanya bersaput cairan bening. Dia kini sadar, ini salahnya. Dia edarkan pandangan ke sekeliling, mengalihkan rasa dalam dada yang tak keruan. Hingga, netranya menatap punggung Arzan. Arzan yang tengah duduk dengan seorang wanita berhijab.

"Siapa dia?" gumam Meesha.

To Be Continued

932 words
Saturday, 05 Mei 2018
06.07 am

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang