***
Melihat kedua orang terkasihnya saling berpelukan, ada sebuah haru menyusup ke dalamnya. Mengusik ketenangan hati yang selalu terbangun kokoh. Senyum bahagia itu mengembang. Apa yang akan dia usahakan untuk masa depannya, tiadalah yang salah. Dia berharap, apa yang dia citakan mampu memenuhi apa yang diusahakan dan tentunya harapan semua orang akan Arzan.
Menunggu sekejap, Arzan tak ingin melewatkan momen itu. Sabar, Arzan menanti hingga bunda melepaskan dekapannya dan mengecup ubun-ubun Meesha sayang yang mencium tangannya takzim.
Tak berapa lama, langkah Meesha mendekat dan mengangsurkan sebuah paper bag. Dengan dahi berkerut bingung, Arzan menerimanya.
"Apa ini?"
"Cenderamata dariku. Minggu lalu, Mas Arzan pun memberikannya untukku, kini aku ingin membalasnya agar Mas Arzan sentiasa ingat keluarga di sini yang menanti kepulangan, Mas."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup untuk memberikan semangat untukku di sana."
"Sama-sama, Mas. Hati-hati dan jaga kesehatan, Mas selama di sana."
Ada rasa berbeda kala seorang perempuan dengan kepala tertunduk memaku lantai mengucapkannya. Ada sebuah denyut kecil, menyentak alam sadarnya. Bahwa apa yang dicitakannya belumlah terwujud sepenuhnya. Sebagian pun belum. Menghela napas pelan, Arzan menolehkan kepala ke arloji. Melirik sebentar lantas berpamitan. Sebuah keengganan menyusup mencoba merajai hatinya. Sayang, Arzan tak membiarkannya menggoyahkan apa yang sudah harus dia selesaikan. Langkahnya mantap menuju pintu boarding pass meninggalkan kembali orang-orang terkasihnya di tanah air.
***
Mata Meesha bersaput bening. Entah apa yang terjadi dengan dirinya, ada sebuah rasa kehilangan begitu kentara dalam dada. Seakan separuh jiwanya tercerabut meninggalkan akar-akar kokoh yang masih tertancap dan akan tumbuh kembali jika disirami. Namun, dia harus bagaimana menghadapinya jika pada kenyataannya, dia membutuhkan sesuatu yang lain bukan hanya sekadar air untuk menumbuhkan akar-akar itu lagi.
"Meesha," panggil bunda. "Sudah, Arzan akan baik-baik saja. Dia sudah terbiasa di sana."
Meesha hanya mengangguk, mencoba menghilangkan apa yang menggayuti hatinya.
"Mampir ke rumah ayah, ya. Bunda rindu padamu," pinta bunda dengan tangan yang menggenggam tangan Meesha penuh kehangatan. Tak menolak, Meesha pasrah saja digiring ke mobil ayah. Menikmati perjalanan menuju rumah Arzan.
Di sana, Meesha terpesona akan kemegahannya. Bukan! Rumah itu tidak seperti rumah modern kebanyakan, yang membuatnya berbeda adalah gaya bangunan itu. Memang modern, tapi ada corak-corak keislaman di sana. Meesha terpukau, rumah itu tidaklah besar, tapi cukup luas dengan halaman yang lumayan besar untuk bermain. Ada wahana permainan di sana. Meesha menebak itu untuk cucu bunda dan ayah.
"Ayo, masuk," ajak bunda menarik lengan Meesha masuk. Belum selesai mengagumi area luar, Meesha kembali harus dibuat terkesima oleh penataan ruang dalamnya. Nuansa islami begitu kental, sederhana, dan begitu penuh kehangatan. Soft blue, menjadi pilihan warna cat dindingnya. Memberikan suasana tenang. Semakin ke dalam, Meesha disuguhi berbagai foto dalam lis bermacam ukuran. Dimulai dari anak kecil hingga dewasa ada di sana.
"Ini foto-foto anak kami," tunjuk bunda pada salah satu pigura yang memuat dirinya dengan anak-anaknya. Ada satu keluarga kecil di belakangnya dengan satu balita di gendongan ayahnya. Di sampingnya ada sosok Arzan yang berdiri dengan gagah mengenakan setelan batik sama dengan keluarga lainnya. Di sampingnya lagi ada adik Arzan dan suami, adiknya sedang mengandung. Sedangkan ayah dan bunda duduk berdua di depan mereka, saling melempar senyum penuh kehangatan.
"Anak pertama Bunda di Jepang. Kemudian anak kedua, ikut dengan suaminya di Jakarta. Maklum, suaminya salah satu direktur di perusahaan obat ternama. Sedangkan adik terakhir Arzan, ikut suami di Solo. Sering menempuh perjalanan Jogja-Solo untuk mengunjungi Bunda. Arzan, tahu sendirilah. Masih betah melajang. Bunda ingin sekali melihatnya menimang putra. Tahu sendiri, adik-adiknya sudah menikah dan punya anak."
"Sabar, Bunda." Meesha tak tahu harus berkomentar apa lagi. Ada kehangatan, kenyamanan menyusup dalam dada. Sebuah rasa lain yang kian menguat.
"Bukan denganmu pun sebenarnya Bunda tidak masalah, tapi alangkah berbahagianya hati Bunda jika memang kamu bisa menjadi menantu bunda."
Meesha tersipu. Melihat semburat merah muda di pipi Meesha. Bunda hanya mampu berdoa dalam hati, jika apa yang diinginkannya mampu terpenuhi.
"Yuk, masuk. Bunda mau nunjukin foto-foto anak Bunda. Bunda kangen cerita-cerita, anak-anak Bunda jauh."
Meesha mengangguk dan mengikuti ke mana saja langkah bunda. Meesha hanya mampu mendoakan kebahagiaan untuk bunda. Karena dia pun belum yakin seratus persen akan hatinya, akan keputusannya. Akhirnya, hari itu dihabiskannya di rumah Arzan. Mendengar seluruh cerita yang disampaikan bunda tanpa mengeluh, malah senang. Ada rasa yang lain di sana.
***
"Meesha," panggil Anita.
Tiga bulan telah berlalu sejak kepergian Arzan. Ada yang menghilang dari hatinya, tapi terganti oleh hal lain. Kehangatan keluarganya dan Arzan mengisi.
"Ada apa, Anita?" tanya Meesha menolehkan kepala menatapnya.
"Huh, keluar yuk. Aku nggak bisa di pesantren. Nggak biasa dengan suara-suara itu."
Meesha mengangguk paham. Ya, Anita berbeda keyakinan dengannya. Dia memaklumi jika Anita tak terbiasa dengan suasana pesantren. Namun cukup salut dengan sikapnya yang toleran. Mengikuti Anita yang menyeberang jalan menuju sebuah warung tenda tutup. Meesha mencoba menerka apa yang akan dibicarakan Anita. Jarang sekali Anita menemuinya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
"Aku bingung!" tembak Anita langsung begitu mendaratkan pantat di salah satu bangku di sana. Warung itu masih tutup karena akan buka pada siang hari pukul dua.
"Bingung kenapa?"
"Ya semua ini bikin aku nggak ngerti."
Meesha diam. Menanti apa yang akan dibicarakan sahabatnya.
"Aku dilamar, tapi orang yang melamarku malah pergi ke luar negeri untuk nyelesaiin urusannya. Lhah buat apa ngelamar kalau gitu," gerutu Nita.
"Sabar, mungkin memang dia ada yang harus diurus."
"Iya ngerti, tapi gimana gitu. Aku kan pusing juga mikirinnya."
"Pusingnya di mana?"
"Ah tahu deh. Eh, tunggu!" Anita mengambil tangan yang berpangku di atas meja, tangan Meesha. Melihatnya detail dan memekik bahagia. "Cincin dari mana? Cantik banget."
"Arzan."
"Tangan kanan? Kamu udah dilamar? Kapan nikah?" tanya Anita bertubi-tubi ingin tahu. Tingkat kekepoannya tengah melonjak tinggi.
"Empat bulan yang lalu."
"Lhoh, kok nggak cerita?" tuntut Anita.
"Aku minta maaf," sesal Meesha.
"Ah sudahlah. Sekarang ceritakan padaku."
"Satu bulan sebelum kepergian Mas Arzan, dia mengajakku ketemu di kafe biasa depan kantor. Dia memberikan proposal ta'aruf dan cincin ini."
"Bukannya ta'aruf itu hanya saling ngirim data pribadi ya? Nggak pakai cincin segala. Terus maksud cincin ini apa?"
"Mas Arzan memintaku untuk merenungkan apa yang menjadi keinginannya. Dia mengkhitbahku secara personal."
"Cincin ini?" potong Nita tak sabar.
"Aku diminta untuk memakainya di jari manis tangan kiri."
"Bedanya apa kalau di tangan kanan?"
"Aku menerima ta'aruf-nya."
"Udah gitu doang? Nggak ada cerita serius?"
"Iya."
"Ini kan di jari manis kanan, ya. Lha Arzan tahu?"
....
To be continue
1.047 words
Jumat, 28 September 2018
02.40 am
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Janji [Complete]
EspiritualArsyila Romeesa Farzana. Putri pemilik pondok pesantren ternama di Magelang. Meesa, begitu orang-orang memaggilnya. Ia menjalani kehidupannya secara teratur, tak pernah ia melanggar larangan yang ada. Monoton, kata teman-temannya. Hingga suatu hari...